SUNNAH, HADITH, KHABAR DAN ATHAR
1. Pengertian HADITH
HADITH menurut bahasa berarti sesuatu yang baru lawan kata dari sesuatu yang lama.bisa juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, ahli HADITH dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian HADITH. Bahkan di kalangan ulama HADITH sendiri ada beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan HADITH, adalah : "Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama HADITH menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli HADITH yang lain merumuskan pengertian HADITH dengan : "Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan. Kasamaan tersebut ialah HADITH dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi HADITH. Ada yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen HADITH, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk HADITH, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya. Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan HADITH : "Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi HADITH baik dari ahli HADITH maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya.
Pengertian as-Sunnah
Pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa adalah Jalan, sperti sabda Nabi : "Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah ahli HADITH ialah :segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan HADITH, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah HADITH. Ulama ahli HADITH merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut : "Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata HADITH. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Pengertian al-Khabar dan al-Athar
a) Pengertian Khabar
Selain istilah HADITH dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Athar. Khabar menurut lughat, adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan HADITH. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah HADITH sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut HADITH. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa HADITH lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap HADITH dapat dikatkanan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan HADITH.
Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan HADITH dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa HADITH lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada HADITH, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan HADITH khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
b) Pengertian Athar
Athar menurut lughat ialah bekas sesuatu, atau sisa sesuatu, juga berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan HADITH. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli HADITH mengatakan bahwa Athar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut sebagian ulama , Athar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
4. Perbedaan HADITH dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Athar
Keempat istilah yaitu HADITH, Sunnah, Khabar, dan Athar, menurut jumhur ulama HADITH dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa HADITH disebut juga dengan sunnah, khabar atau athar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan HADITH, khabar dan athar. Maka HADITH Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga HADITH Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Athar Shahih.
Berdasar penjelasan mengenai HADITH, Sunnah, Khabar, dan Athar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara HADITH dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, sebagai berikut :
(a) HADITH dan Sunnah : HADITH terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) HADITH dan Khabar : Sebagian ulama HADITH berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., HADITH sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Athar".
(c) HADITH dan Athar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Athar sama artinya dengan khabar dan HADITH. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Athar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in
B. Hadis pada Masa Rasulullah s.a.w.
Keberadaan Hadith sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi.Dan adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama sekali yang berkaitan denga keagamaan. Orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan dan ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah. Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Para sahabat tidak sekedar mengisahkan kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang didapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i. Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum agama. Dan sepulang mereka ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah , sedangkan sahabat yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan Hal ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabisendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Setelah melihat perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa
Di samping itu Nabi juga khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
C. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang amsih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan seperti ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan al-Mughirah tersebut
Kasus dia atas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan hadis miliknya.‘Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis..Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.
Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis, pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh UmarGerakan pengetatan periwaytan hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat berkembang dengan baik.
Tetapi implikasi negatif dari gerakan pengetatan hadis itu mengakibatkan banyak hal.
Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudia aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”
Kedua, terbukanya peluang pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Keempat, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya.
Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis. Begitu juga dengan kegiatan khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab, yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dari beberapa sumber , dapat diterangkan bahwa dua khalifah terakhir- sebagaimana dua khalifah sebelumnya- melakukan pula gerakan pengetatan hadis. Walaupun tidak seketat dan seradikal apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar maupun Umar. Sikap sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini mungkin disebabkan oleh pribadi dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar , dan juga karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga menyulitkan adanya kontrol yang ketat terhadap kegiatan periwayatan hadis. Secara pribadi Utsman jauh lebih sedikit meriwayatkan hadis, dibanding dengan tiga khalifah yang lain. Sedangkan Ali dalam meriwayatkan hadis, disamping lisan juga tertulis). Sebagaimana telah diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis hadis diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang tulisan hadisnya terkumpul dalam shahifah Ali.
Beberapa sahabat Nabi selain Khulafa’ al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap hati-hati mereka baik dalam menerima atau meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut :
Anas bin Malik berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini menunjukan bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.
Pada periode sahabat ini telah muncul tradisi kritik terhadap hadis yang dibawa oleh sesama sahabat. Tradisi kritik hadis ini untuk menjaga otentisitas hadis dan agar hadis tidak mudah untuk dipalsukan, baik secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu :”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain Dalam kasus lain, Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis “Barangsiapa junub hingga subuh, maka puasanya tidak berguna”. Setelah berita itu sampai kepada ‘Aisyah, ia menolak hadis tersebut seraya mengatakan bahwa ketika Nabi berpuasa, ia mandi jinabat setelah masuk waktu Subuh, kemudian Shalat dan berpuasa mendengar kritik itu Abu Hurairah menyerah dan mengatakan bahwa ‘Aisyah lebih mengetahui persoalan ini, dan mengatakan bahwa ia tidak mendengar langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat lain
Penulisan resmi hadis dalam kitab hadis, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abd Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya. Dengan demikian, penulisan hadis yang dilakukan oleh perorangan sebelum adanya perintah Umar tidak dikategorikan kepada lingkup pengertian kodifikasi. Namun, untuk melihat sejarah perkembangan hadis dari waktu ke waktu, akan dipaparkan mulai zaman Nabi sampai tadwin. Hal ini dianggap perlu sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadis secara periodik. Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode..
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan. Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan al-Qur’an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada al-Qur’an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan. Pada masa ini, para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan.
Periode kedua adalah zaman kuhulafa rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat. Usaha para sahabat dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik uamt Islam secara internal sudah mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan periwayatan hadis dengan dua cara: lafzdi dan ma’nawi.
Periode ketiga adalah penyebaran hadis ke berbagai wilayah yang berlangsung papa masa sahabat kecil dan tabi’in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam, Irak, Mesir, Persia, Samarkhand, Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para pemimpin atau menjadi guru pengajar di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa’id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi’ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha’i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi. Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd. Aziz (717-720M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayyah yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadis seperti dikutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib:“Perhatikanlah atau periksalah hadis-hadis Rasulullah saw, kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama; dan janganlah engkau terima kecuali hadis Rasulullah saw.”
Latarbelakang Umar bin Abd. Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadis adalah bercampur baurnya hadis sahih dengan hadis palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadis, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd. Al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah. Di samping lahirnya para ulama hadis, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab karya para ulama, baik berupa ijma’i, al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi’i, al-Musnaf karya al-Auzi, dan al-Muawaththa’ karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Kitab-kitab hadis terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in, atau hadis marfu’, mauquf, dan maqthu’ di samping juga hadis palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada masa ini para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian, yaitu dengan cara memisahkan hadis marfu’ dari hadis maqthu’. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis yang sudah terseleksi, seperti kitab Sahih, Kitab Sunan, dan Kitab Musnad. Kitab Sahih adalah kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis sahih dan hadis-hadis yang tidak terlalu lemah (dha’if). Adapun kitab Musnad adalah kitab hadis yang mengoleksi segala macam hadis tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), juga tidak menerangkan derajat hadis. Pada periode ini tersusun enam kitab hadis l yang disebut Kutub al-Sitah, yaitu:
- Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H)
- Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim (204-262 H)
- Al-Sunan Abu Dawud Karya Abu Dawud (202-275 H)
- Al-Sunan Karya al-Tirmidzi (200-279 H)
- Al-Sunan Karya al-Nasa’i (215-302 H)
- Al-Sunan Karya Ibnu Majah (207-273 H)
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadis pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadis yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami’. Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadis sebelumnya. Kitab mustakhrij ialah kitan hadis yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadis tersebut. Kitab athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matas hadis, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrik ialah kitab yang memuat hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduanya. Kitab Jami’ ialah kitab yang memuat hadis yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadis. Ulama para periode ini mulai mensistemasi hadis menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab mustakhrij dengan cara membagi-bagi hadis menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.
Al-Muwatta atau Muwatta Malik merupakan kitab hadits dan fiqih yang disusun oleh Imam Malik bin Anas, merupakan salah satu dari Kutubut Tis'ah (sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni). Kitab ini terdiri dari dua bagian:
- Perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad (juga dikenal sebagai sunnah). Riwayat perkataan dan perbuatan Nabi disebut hadits.
- Pendapat dan keputusan resmi sahabat Nabi, penerus mereka, dan beberapa ulama kemudian.
Imam Malik (nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al-Ashbahi) dilahirkan tahun 93 H dan wafat tahun 179 H. Ia banyak tinggal di Madinah, kota tempat kediaman Nabi. Ia ulama Islam yang terkenal, dan pendiri mazhab Maliki. Ia dikenal mempunyai lebih dari seribu murid. Selama kehidupannya, Imam Malik senantiasa memperbarui Muwaththa beliau, sehingga kitab ini mencerminkan pembelajaran dan pengetahuan beliau selama lebih dari empat puluh tahun. Kitab ini mengandung seribuan hadits. Penting diketahui bahwa Imam Malik tidak menulis semua riwayat dari Nabi.
Biografi Singkat Al-Imam Malik ra.
1. Nama dan Nasabnya
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al Harits Al Ashbahiy Al Humairiy. Nasabnya berakhir pada Ya'rib bin Yasyjub bin Qaththan. Datuknya yg juga bernama Malik bin Anas termasuk seorang tabi'in besar dan salah satu yg ikut memikul Khalifah Utsman ke kuburnya. Datuk kepada datuknya, Anas, adalah seorang sahabat agung, yg selalu mengikuti Rasulullah SAW dalam semua peperangan kecuali perang Badar.
Ibunya bernama Al Aliyah binti Syariek Al Asadiyah. Namun, ada juga yg mengatakan ibunya adalah Thulaihah, bekas budak Ubaidullah bin Ma'mar.
Ibunya bernama Al Aliyah binti Syariek Al Asadiyah. Namun, ada juga yg mengatakan ibunya adalah Thulaihah, bekas budak Ubaidullah bin Ma'mar.
2. Kelahiran Dan Dibesarkan: Imam Malik lahir di Madinah Al Munawaroh pada tahun 95 H. Disana beliau menulis kitabnya Al-Muwaththo'. Beliau menimba ilmu dari 100 orang guru lebih. Beliau hidup selama 84 tahun, wafat pada tahun 179 H dan dimakamkan di Baqie. Beliau meriwayatkan hadis dari sejumlah besar Tabi'ien dan Tabi'ut Tabi'ien, diantaranya : Nafi' bekas budak Ibn Umar, Ibn Syihab Az Zuhri, Abu Az Zanad, Abdurrahman bin Al Qasim, Ayyub As Sakhtiyani, Yahya bin Sa'id Al Anshari, Aisyah binti Sa'ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Aslam, Humaid Ath Thawiel, dan Hisyam bin Urwah. Sebaliknya, tidak sedikit guru2nya yg meriwayatkan hadis dari beliau sesudah itu, seperti Az Zuhri dan Yahya bin Sa'id Al Anshari. Cukup banyak perawi yg meriwayatkan hadis dari beliau. Al Hafidh Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi menulis sebuah kitab tentang para perawi yg meriwayatkan dari Imam Malik. Dalam kitab tersebut, Al Baghdadi menyebutkan hampir 1000 orang perawi. Diantara tokoh2 yg meriwayatkan hadis dari beliau : Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin AL Mubarak, Abdurrahman Al Auza'i, Abu Hanifah, Asy Syafi'i, dll.
3. Kedudukannya: Para Imam dan Ulama yg berkomentar tentang Imam Malik ra.:
a. Asy Syafi'i : Apabila ulama disebut, maka Malik adalah bintangnya.
b. Ibn Mu'in : Malik termasuk hujjah Allah atas makhluk Nya.
c. Yahya bin Sa'id Al Qaththan : Malik adalah amirul mukminin dalam bidang hadis.
d. Ibn Hibban : Malik adalah orang pertama yg memilih para tokoh ahli fiqh di Madinah, menghindari orang yg tidak dapat dipercaya, tidak meriwayatkan kecuali yg shahih, dan hanya menceritakan dari orang yg terpercaya (thiqoh). Ada sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Tirmidzi, yg bebunyi: "Nyaris orang-orang memukul perut unta untuk mencari ilmu, tapi ternyata mereka tidak menemukan seorang pun yg lebih alim dari orang alim Madinah" (hadis ini hasan menurut Tirmidzi) Ibn Unayah bilang orang alim madinah tersebut adalah Malik. Imam Malik menulis kitab Al-Muwwaththo' selama 40 tahun. Selama kurun waktu tersebut, kitab itu ditunjukkan ke sekitar 75 orang ulama fiqh Madinah. Asy Syafi'i berkomentar tentang Al Muwwaththo' :"Di muka bumi ini, tidak ada satu kitab pun - sesudah Kitab Allah - yg lebih shahih daripada kitab Malik. Al Muwwaththo' memuat 6000 hadis musnad (sanad bersambung sampai ke Nabi SAW/ Marfu'), 222 hadis mursal (sanad hanya sampai sahabat), 613 hadis mauquf (sanad hanya sampai tabi'ien), dan 285 makalah Tabi'ien. Wallaahu a'lam bishshowab (Ditulis ulang dari kata pengantar kitab Al-Muwwaththo' edisi terjemahan) Fatwa dan nasihatbesar dari beliau agar berpegang teguh pada Sunnah Nabi antara lain : " Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah." " Siapapun boleh diambil dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi shallalhu'alaihi wasallam sendiri." - Ketika ditanya tentang Allah bersemayam di 'arsy beliau menjelaskan " Al-Istiwau makluumun, wakaifiyatu majhuulun, wal imanu bihi waajibun, wa sualu 'anhu bid'atun. (Al-Istiwa adalah maklum maknanya. Adapun kaifiyahnya tidak dikenali. Mengimaninya adalah wajib dan Mempertanyakannya adalah bid'ah)Beliau termasuk bahagian dari sanad-sanad emas HADIT Imam Bukhari selain Imam Nafi'.
IMAM SYAFI Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: yang akrab dipanggil Imam Syafi'i adalah seorang mufti besar Sunni dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad. Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Qaul Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib,
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dua tahun dari kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,”
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal : “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan yang lain.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Dan yang lain.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Imam Ahmad bin Hanbal
Musnad al-Kabir atau lebih dikenal degan Musnad Ahmad adalah salah satu dari sembilan kitab hadits (kutubuttis'ah) yang dijadikan rujukan utama umat Islam Sunni. Kitab ini disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Musnad ini terbagi menjadi beberapa musnad besar yang terdiri dari beberapa musnad sahabat atau hadits sahabat. Musnad sahabat atau hadits sahabat ini kemudian memuat beberapa hadits. Di antara kutubuttis'ah, kitab ini merupakan kitab dengan jumlah hadits terbanyak.
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karena itu ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan. Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli HADITH, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya. Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) HADITH, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’” Perhatian beliau saat itu tertuju kepada keinginan mengambil HADITH dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang beliau mengambil HADITH adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis HADITH pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil HADITH dari syaikh-syaikh HADITH kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil HADITH dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu HADITH lebih. Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan yang lain. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil HADITH dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah HADITH. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan HADITH, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni HADITH, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) HADITH, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain. Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari HADITH. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi Imam Ahmad tetap menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang HADITH dan perawi-perawinya. Jika ada HADITH shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya. Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.” Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan HADITH kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan HADITH kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.. Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk. Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun. Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkan dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan teman-temanya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu. Dan setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat. Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang.Ahirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, dan tidak bisa keluar bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah pun tidak bisa. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli HADITH untuk menyampaikan HADITH tentang sifat-sifat Allah. Maka orang-orang pun bergembira dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.”
Shahih Bukhari merupakan kitab (buku) koleksi hadits yang disusun oleh Imam Bukhari (nama lengkap: Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja'fai) yang hidup antara 194 hingga 256 hijriah. Koleksi hadits ini di kalangan muslim Sunni adalah salah satu dari yang terbaik karena Bukhari menggunakan kriteria yang sangat ketat dalam menyeleksi hadits. Ia menghabiskan waktu 16 tahun untuk menyusun koleksi ini dan menghasilkan 2.602 hadits dalam kitabnya (9.802 dengan perulangan).
Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Beliau diberi nama Muhammad oleh ayah beliau, Ismail bin Ibrahim. Yang sering menggunakan nama asli beliau ini adalah Imam Turmudzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan Turmudzi. Sedangkan kunyah beliau adalah Abu Abdullah. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; beliau dikenal sebagai al-Bukhari. Dengan demikian nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan Madinah, dimana dikedua kota suci itu dia mengikuti kuliah para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Penelitian Haditsnya
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Shahih Muslim
Al-Jami' atau biasa di kenal dengan Kitab Shahih Muslim merupakan kitab (buku) koleksi hadits yang disusun oleh Imam Muslim (nama lengkap: Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi) yang hidup antara 202 hingga 261 hijriah. Ia merupakan murid dari Imam Bukhari.
Koleksi hadits ini di kalangan umat muslim adalah koleksi terbaik kedua setelah Shahih Bukhari. Dari sekitar 300.000 hadits yang ia kumpulkan hanya sekitar 4000 yang telah diteliti selama hidupnya dan dapat diterima keasliannya.
Shahih Muslim terbagi menjadi beberapa kitab dimana tiap kitab terdiri dari beberapa bab. Judul bab tersebut menunjukkan fiqih Imam Muslim terhadap hadits-hadits yang termuat di dalamnya. Shahih Bukhari bersama dengan kitab Shahih Muslim disebut sebagai ash-Shahihain (Dua Kitab Shahih rujukan utama). Dalam menyusun kitab Shahihnya, Imam Muslim tidak memberikan nomor. Di kemudian hari ditambahkan nomor pada Shahih Muslim untuk memudahkan perujukan hadits
Imam Muslim
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah Beliau juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima Hadits dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadits ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli Hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara lainnya.
Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H, di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam usia 55 tahun.
Cara penulisan Shahih Muslim
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits mu'an'an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadis yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadis dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan - sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Ia juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya kesahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi daripada kesahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Shahih Ibn Khuzaimah
Al-Mukhtasar min al-Musnad al-Sahih, dalam Sahih Ibn Khuzaymah pendek, adalah satu kumpulan hadis oleh Ibn Khuzaymah Muatan-muatan Antara pungutan-pungutan Sahih setelah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, Kitab ini dianggap terlalu bersamaan dengan Sahih Ibn Hibbaan dan Sahih Abi 'Awana.
Nama Beliau adalah Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah dilahirkan di Nishabur satu tahun sebelum Ibn Jarir al-Tabari dan hidup satu tahun lebih lama dari dia . Di Nishabur, dia belajar dari banyak Ulama, termasuk Ishaq Ibn Rahwayh (wafat 238 AH), muhaddith Khorasan pada waktu itu. Al-Hakim mencatat bahwa Ibn Khuzaymah menulis lebih dari 140 kitab-kitab Kecil. Antara lain :
* Kitāb al-Tawḥīd wa-ithbāt ṣifāt al-Rabb ʻazza wa-jall (کتاب التوحيد وإثبات صفات الرب عز وجل): "Buku Itu merupakan Penegasan Sifat-sifat Allah
* Shaʼn al-duʻāʼ wa-tafsīr al-adʻīyah al-maʼthūrah (شأن الدعاء وتفسير الأدعية المأثورة
Sunan Abu Dawud merupakan kitab hadits yang disusun oleh Imam Abu Dawud, merupakan salah satu dari Kutubut Tis'ah (sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni).
Sunan Abu Dawud terbagi menjadi beberapa kitab dimana tiap kitab terdiri dari beberapa bab. Beberapa judul bab menunjukkan fiqih Imam Abu Dawud terhadap hadits-hadits yang termuat di dalamnya.
Abu Dawud
Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud.
Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, beliau bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ulumul hadith juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana beliau dapat menyaksikan wafat Imam Muslim, sebagaimana yang beliau katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur. Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan beliau menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari hadits.
Guru
Kemudian beliau mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Dia langsung berguru selama bertahun-tahun. Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.
Murid
Demikian pula murid-murid beliau cukup banyak antara lain, yaitu:
- Imam Turmudzi
- Imam Nasa'i
- Abu Ubaid Al Ajury
- Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau).
- Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari beliau).
- Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih.
- Isma`il bin Muhammad Ash Shofar.
- Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau).
- Zakariya bin Yahya As Saajy.
- Abu Bakr Ibnu Abi Dunya.
- Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh wal Mansukh dari beliau).
- Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory (perawi sunsn dari beliau).
- Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi sunan dari beliau).
- Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y (perawi sunan dari beliau).
- Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy Al Bashry (perawi kitab Al Qadar dari beliau).
Penyusunan Sunan Abu Dawud
Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas umat Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai oleh beliau sendiri, dan sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau, di antaranya Imam Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A'raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.
Beliau adalah imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashroh tempat berkembangnya aliran Qadariyah, demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan terhadap Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang di dalamnya terdapat bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji'ah dan Mu'tazilah.
Beliau wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan janazahnya disholatkan oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
Sunan atturmudzi
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi.
Imam Tirmidzi
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; “ Imam Bukhari wafat tidak meninggalkan murid yang lebih pandai di Khurasan selain Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal keluasan ilmunya dan hafalannya."
Perkembangan dan lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam lawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."
Pandangan para kritikus hadits
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmizi ke dalam kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Sunan An Nasaai/Al-Sunan al-Sughra
Kitab As-Sunan as-Sughra yang dikenal sebagai Sunan an-Nasa'i atau Al-Mujtaba ialah salah satu dari enam kitab hadis utama Ahli Sunah Waljamaah, yang telah dikumpulkan oleh Imam al-Nasa'i. Ahli Sunah Waljamaah menganggap kitab ini sebagai kitab ketiga paling kuat dalam enam kitab hadis utama mereka
Kitab al-Sunan al-Sughra ini mempunyai sekitar 5270 hadis (termasuk yang Mukarrar, yiaitu, riwayat yang berulang) yang dipilih al-Nasa'i dari karya utamanya al-Sunan al-Kubra. Bagaimanapun, kitab pertamanya ini turut memasukkan hadis hasan di samping hadis sahih
Al-Nasā'ī (214 – 303 /. 829 – 915), nama lengkapnya ialah Aḥmad ibn Shu`ayb ibn Alī ibn Sīnān Abū `Abd ar-Raḥmān al-Nasā'ī, adalah salah satu pengumpul hadis terkemuka dan penulis satu dari enam Kitab Sunan yang diakui oleh Umat Islam, Sunan al-Sughra, atau "Al-Mujtaba", dipilih dari "As-Sunan al-Kubra". Serta 15 buku lain.
Dia dilahirkan di Nasā (sebuah kota di Khorasan) kira-kira 829 (214 H), Dia berada Mesir untuk sementara waktu, dan kemudian di Damascus. Dia meninggal di 915 (303 H), dibunuh oleh suporter-suporter Umayyads setelah berbicara dengan bebas terhadap mereka. Tempat pemakaman terakhirnya tidak diketahui mungkin di Mekah atau Ramalah (Palestina).
al-Nasa'i meninggal dunia dan termasuk satu kematian yang fkejam dalam memuji Ali dan mengumumkan Mu'awiya di Damascus, yang kemudian dalam genggaman Ali yang menentang demam didorong oleh Umayyads. Ibn Khallikan dalam Wafayatnya al-ayan, rekaman kejadian yang membunuh al-Nasa'i: "Abd al-Rahman Ahmad corong tampung 'Ali corong tampung corong tampung Shu'ayb 'Ali corong tampung Sinan corong tampung Bahr al-Nasa'i, sarjana hadis utama usia dan penulisnya satu Sunan, atau kumpulan hadiths, adalah satu penduduk Old Cairo, di mana kota pekerjaan-pekerjaannya memperoleh ke dalam peredaran, dan di mana dia juga sudah banyak murid."
Muhammad ibn Ishaq al-Isfahani memberikan rekening berikut ini kematiannya: “Saya mendengar orang-orang tua kita dalam Old Cairo menghubungkan yang Abu 'Abd al-Rahman [al-Nasa'i] meninggalkan Mesir ke arah akhir hidupnya dan pergi ke Damaskus, di mana dia telah diminta apa dia ingat Mu'awiyah dan apa hadiths dia tahu mengenai jasa-jasa yang pangeran; untuk yang mana dia membuat jawaban ini: 'Ia tidak kemudian cukup untuk Mu'awiyah untuk masuk (ke dalam keputusan Allah) pada satu tempat berpijak sama dengan lainnya? Haruskah dia bahkan menjadi dipuji di atas mereka dengan jasa-jasa khusus?!'"
"Tetapi beberapa menghubungkan yang jawabannya adalah: 'Saya tidak tahu hadis apa pun "mengenai" dia spesial "jasa" tetapi ini: "Mei Tuhan belum pernah mengenyangkan kamu perut!'""Sekarang sarjana ini adalah seorang pembela untuk hak-hak khalif 'Ali: jadi orang-orang mulai menyerang dia pada sisi, juga tidak mereka menghentikan hingga mereka mendorong dia dari mesjid. (Dalam satu lagi laporan ia dikatakan bahwa mereka menabrak dia pada biji dan menapak dia dalam kaki.) Dia kemudian melahirkan kepada Ramla, di mana dia kedaluwarsa.” Akan tetapi, sarjana hadis memasukkan 29 narrations pada ahli Mu'awiyyah dalam Sunannya. Tigabelas dari mana tidak ditemukan dalam yang lain Six Books.[2] Ini menunjukkan bahwa dia tidak dilawan kepada Mu'awiyyah, ketika beberapa boleh menganggap. Seandainya dia, dia akan menghindari pencantuman apa pun Hadith diceritakan oleh Mu'awiyah biar bagaimanapun. Bin 'Asakir rekaman bahwa bila Imâm al-Nasâ'i telah diminta tentang Mu'awiyyah, dia menjawab: "Islam seperti sebuah rumah dengan satu pintu.
Sunan Ibn Majah : adalah salah satu dari Kitab kumpulan Hadith dan termasuk salah satu dari Kutub tis’ah, dikumpulkan oleh Ibn Majahdan memuat lebih dari 4,000 hadis terdiri dari beberap kitab dan bab, Ibn Majah dilahirkan di sebuah kota di Qazwin. Umat islam menganggap kumpulan ini sebagai kitab keenam Kutub sitta. Namun posisi ini tidak diselesaikan hingga abad ke-14 atau kemudian. Sebagian Ulama seperti al-Nawawi (d. 676 / 1277) dan Ibn Khaldun (d. 808 / 1405) mengeluarkan Sunan Ibn Majah dari buku-buku yang diberlakukan secara umum sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain, dan menggantinya dengan Muwattho’ Malik atau dengan Sunan al-Darimi.
Nama beliau adalah Abū ʻAbdillāh Muḥammad ibn Yazīd Ibn Mājah al-Rabʻī al-Qazwīnī, (824 / 209 M—887 / 273) biasa dikenal sebagai sebutan Ibn Mājah, adalah termasuk ulama Hadith priode pertengahan. Dia mengumpulkan terakhir dari enam Kutub sitta,
Ibn Mājah dilahirkan di Qazwin, sekarang termasuk salah satu Propinsi di Iran, dalam 824 M / 209 H dalam sebuah keluarga yang kebanyakan adalah bekas budak yang dimerdekakan (mawla) dan Rabīʻah Mājah adalah julukan ayahnya, dan tidak ada dari kakek ataupun ibunya yangmmiliki sebutan dengan itu.
Dia pergi meninggalkan kota kediamannya untuk menjelajahi dunia Islam mengunjungi Irak, Makkah, Levant dan Mesir. Dia belajar dari Abū Bakr ibn Abī Shaybah, Muḥammad ibn ʻAbdillāh ibn Numayr, Jubārah ibn al-Mughallis, Ibrāhīm ibn al-Mundhir al-Ḥizāmī, ʻAbdullāh ibn Muʻāwiyah, Hishām ibn ʻAmmār, Muḥammad ibn Rumḥ, Dāwūd ibn Rashīd dan yang lainnya dari masa mereka. Abū Yaʻlā al-Khalīlī memuji Ibn Mājah sebagai "dapat dipercaya (thiqah), terkemuka, bersetuju, satu otoritas keagamaan, menguasai pengetahuan dan kemampuan untuk menghafalkan Menurut al-Dhahabī, Ibn Mājah meninggal pada kira-kira 19 Februari, 887 CE / dengan delapan hari tersisa bulan ini Ramadan, 273 Hatau, menurut al-Kattānī, baik pada 887 / 273 atau 889 / 275. Dia meninggal di Qazwin.
Al-Dhahabī menyebutkan berikut inibeberapa karya Ibn Mājah:
* Sunan Ibn Mājah: satu dari enam Kutub sitta
* Kitāb al-Tafsīr: sebuah buku Tafsir Al Qur'an
* Kitāb al-Tārīkh: sebuah buku sejarah
Sunan Ibn Majah terdiri dari 1,500 baba dan kira-kira 4,000 hadis. Stelah menyelesaikanya, dia membacanya kepada Abū Zurʻah, ahli hadis waktunya, yang mengomentari.
Sunan al-Darimi : atau Musnad al-Darimi ditulis oleh `Abdullah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181H–255H) adalah termasuk salah satu dari Kutub Tis’ah yang menjadi pedoman Umat Islamsebagaimana Al-Muwattha’ dan Musnad Imam Ahmad. Walaupun tidak disusun sebagaimana Musnad ataupun Kitab-Kitab Sunan.
Al Darimi wafatnya tidak diketahui secara pasti tetapi rupanya setelah 293 H. Sesudah itu ia memberikan kepada:
* `Abdullah ibn Ahmad ibn Hamawiya al-Sarkhasi (293–381 H)
* `Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muzaffar al-Dawudi "Jamal al-Islam" (374–467 H)
* Abu'l-Waqt `Abd al-Awwal ibn `Isa ibn Shu`ayb al-Sijizzi (458–553 H
Imam Baihaqi nama lengkapnya adalah Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi (bahasa Arab: أبو بكر أحمد بن الحسين بن علي بن عبدالله البيهقي), Beliau adalah seorang ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadist, dan salah seorang tokoh utama dalam mazhab Syafi'i.
Imam Baihaqi dilahirkan di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naysabur di Persia (sekarang provinsi Khorasan, Iran) pada tahun 994. Ia mempelajari hadist dan mendalami fiqh mazhab Syafi'i, dan dalam hal akidah mengikuti mazhab Asy'ari. Dalam pencarian ilmunya, ia mendatangi para ulama di Baghdad, Kufah, dan Mekkah, sebelum akhirnya kembali lagi ke Baihaq.
Pengajaran
Imam Baihaqi kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi penyebar fiqh mazhab Syafi'i. Imam al-Haramain al-Juwaini berkomentar tentang pemahaman Imam Baihaqi terhadap mazhab Syafi'i:
"Tidak ada pengikut mazhab Syafi'i yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi'i."
Sedangkan Imam adz-Dzahabi pernah berkata mengenai keluasan ilmunya, bahwa kalau Al-Baihaqi menghendaki, maka ia mampu membuat mazhab sendiri karena keluasan ilmu dan pemahamannya akan masalah-masalah khilafiyah.
Al-Mustadrak alaa al-Sahihain adalah termasuk salah satu kitab Hadith yang ditulis oleh Hakim al-Nishaburi pada . 405H.
Dia menulisnya dalam tahun 393 H (1002–1003 M), ketika dia berumur 72 tahun. Ia mengumpulkan lebih dari 9045 hadis dan menuntut semua hadis di dalamnya menurut ketentuan-ketentuan salah satu Sahih Bukhari atau sahih Muslim atau keduanya
Akan tetapi hal itu tidak diterima oleh sejumlah Ulama terkemuka kemudian sebagian Ulama seperti Al-Dhahabidan Ulama Madzhab Shafi'i abad ke-14 membuat satu Kitab yang disingkat menjadi kumpulan Hadith dan diberi nama “Talkhis al-Mustadrak” di mana mereka mengomentari tentang kesahihanya. Sebagaimana telah menjadi kebiasaan para Ulama.
Dhahabi juga telah menulis bahwa al Mustadrak mengumpulkan banyak hadîth yang menyesuaikan dalam ketentuan kesahihan keduanya (Al-Bukhârî dan Muslim) serta sejumlah hadîth yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan salah satu dari Kitab-kitab Sunan.
Nama lengkap Beliau :Abu Abd-Allah Muhammad ibn Abd-Allah al-Hakim al-Nishaburi (. 403 H)
Mu’jam Imam Tabrani
* Al-Mu'jam Al-Kabir - diterbitkan dalam 25 jilid berisi 7800 halaman
* Al-Mu'jam Al-Awsat
* Al-Mu'jam As-Saghir
Imam Tabrani
alangkah lebih bermanfaat insyaalah seandainya menyertakan maroji' dari rangkuman tersebut
BalasHapus