Sabtu, 26 Maret 2011

KLASIFIKASI TAFSIR ALQUR AN Suatu Upaya Telaah ulang terhadap Madzahib al- Tafsir

 

Bismillahirrahmanirrahim

PENDAHULUAN

Latar belakang dan Rumusan masalah
Kajian terhadap al-Qur’an - yang sejak diturunkan tidak pernah berubah hingga saat ini dan tidak akan berubah - sesungguhya dapat dilakukan dengan melihat berbagai objek, mulai dari aspek sejarah kodifikasinya, qiraahnya, asbab nuzulnya sampai pada perkembangan penafsirannya. Dan Kajian terhadap sisi  penafsiran nampaknya justru yang sangat mengalami perkembangan cukup signifikan. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti.  Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam  pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas, jelas dan mutawatir serta  konteks yang tidak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir, dan hal ini pulalah yang menarik untuk di klasifikasikan.
Jika kita dapat mencermati,  dari suatu generasi kepada generasi berikutnya penafsiran al-Qur’an memiliki corak dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis di mana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik  yang terjadi ketika mufassir melakukan kajian dan penafsiran terhadap Alqur an juga ikut mewarnai  penafsirannya. Di samping itu memang cakupan makna yang terkandung dalam al-Qur’an memang sangat luas,  begitu pula perbedaan dan corak penafsiran juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir. Al-Qur’an  memang merupakan kitab yang  mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga adanya pluralitas penafsiran al-Qur’an adalah sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Bahkan Penafsiran   dapat diibaratkan sebuah “organisme” yang selalu tumbuh dan berkembang. Ia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring dan senafas dengan kemajuan tantangan yang dihadapi  manusia.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian, Fungsi Dan Tujuan
Berbicara tentang Madzahib al- Tafsir yang  berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam mengklasifikasikanya. Sehingga pengertian sistematik dari klasifikasi Tafsir pun banyak perbedaan, akan tetapi secara umum pengertian klasifikasi Tafsir  adalah merupakan  pengenalan yang secara ilmiah mempelajari tentang  macam-macam dan keanekaragaman Tafsir Alqur an serta hubungan satu penafsiran dengan yang lain antara aneka corak Tafsir yang ada. Sehingga Al Qur’an yang dalam memori kolektif  kaum  muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, yang merupakan  “ petunjuk bagi seluruh umat manusia”  dan memberikan  “penjelasan atas segala sesuatu” akan menjadikan tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasan Alqur an.
Sedangkan fungsi dan tujuan dari klasifikasi tersebut adalah antara lain berguna untuk: Pengenalan, Pengkajian, Penggolongan, pengkajian  hubungan antara  keanekaragaman Tafsir Alqur an. Pengklasifikasian corak penafsiran tersebut yang kemudian disebut oleh para ahli dengan istilah mazhab-mazhab tafsir (Madzahib al-Tafsir). Namun demikian, walaupun  dilatarbelakangi oleh keterbatasan pengetahuan serta minimnya buku-buku yang membahas tentang Madzahib al-Tafsir,  apalagi kajian yang mencoba mengelaborasi aspek –aspek  ilmu yang lain, maka dalam makalah ini kami ingin  mencoba memberi sedikit penjelasan tentang apa itu Madzahib al-Tafsir.

B.     Munculnya Madzahib al-Tafsir
Secara Bahasa , istilah Madzahib al-Tafsir merupakan susunan kalimat  yang terdiri dari dua kata; Madzahib dan al-Tafsir. Kata maszahib merupakan bentuk jamak (plural) dari kata madzhab yang dapat berarti;  aliran, pendapat, atau teori. Sedangkan secara terminologi, maszhab biasa didefinisikan sebagai hasil ijtihad atau pemikiran, penafsiran  para ulama yang kemudian dikumpulkan dan dinisbatkan kepada tokohnya, atau kecenderungannya atau masa periodesasinya. Adapun kata tafsir secara bahasa merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari فسر  يفسر  تفسيرا yang berarti pemahaman, penjelasan dan perincian . bigrtu juga Tafsir bisa pula berarti al-ibanah (menjelaskan), al-kasyf (menyingkapkan), dan al-idh-har (menampakkan) makna atau pengertian yang tersembunyi.  [1]
Dari tinjauan makna secara bahasa tersebut, maka Madzahib al-Tafsir secara istilah dapat diartikan sebagai suatu hasil pemahaman manusia ( mufassir) terhadap al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan   tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir, dan dimaksudkan untuk memperjelas  suatu makna teks ayat-ayat al-Qur’an. Sudah berang tentu ketika al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu, misalnya pendekatan filsafat (التقريب الفلسفي) ,  maka akan melahirkan penafsiran yang bercorak filosofis. Jika al-Qur’an ditafsirkan menggunakan pendekatan sufistik (التقريب التصوفي), maka akan menghasilkan tafsir yang kental warna sufistiknya. Dan begitu pula jika pendekatannya menggunakan analisis gender, maka bias patriarkhinya relatif minimal dan nuansa kesetaraan gendernya akan lebih mengemuka. Dari keragaman dan munculnya kecenderungan penafsiran ini akhirnya melahirkan suatu istilah yang oleh para ulama  kemudian dikenal dengan Madzahib al-Tafsir (aliran-aliran tafsir atau mazab-mazab dalam penafsiran al-Qur’an)
Tentang Madzahib al-Tafsir sendiri, memang banyak para mufassir yang tidak mendefinisikan secara eksplisit apa atau bagaimana definisinya, namun dengan melihat tema-tema pembahasan yang ada di dalamnya, tampak bahwa Madzahib al-Tafsir sebenarnya merupakan aliran-aliran, mazhab-mazhab, kecenderungan-kecenderungan  yang dipilih seorang mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an, meskipun mungkin para mufassir dulu tidak pernah menamakan tafsirnya dengan aliran-aliran atau mazhab tertentu.  Pemberian lebel mazhab tertentu terhadap penafsiran itu dilakukan oleh para peneliti atau ulama berikutnya.
Munculnya Madzahib al-Tafsir, sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, sebab setiap generasi ingin selalu  “mengkonsumsi” dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai  legitimasi bagi  tindakan dan perilakunya. Dan hal ini ternyata juga terjadi dalam tradisi umat selain Islam. Benar kiranya apabila ada orang berpendapata n bahwa setiap orang akan mencari sistem teologinya di dalam kitab sucinya dan masing-masing orang akan mendapatkan pandangan tertentu dari yang ia cari.  Sebagaimana  setiap aliran pemikiran yang muncul dalam sejarah umat Islam selalu cenderung  untuk mencari legitimasi dan justifikasi dari kitab suci al-Qur’an.  Sebab dengan begitu, maka pemikiran tersebut akan mendapat posisi yang kuat di hati para pengikutnya dalam sistem keberagamaan.[2]
Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Di samping itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufassir untuk memahami al-Qur’an sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni, sehingga meskipun objek kajiannya tunggal misalnya, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam. Ia merupakan keniscayaan sejarah bahkan pluralitas penafsiran al-Qur’an menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Qur’an. Ini artinya al-Qur’an telah memberikan dan “merestui” bagi tumbuh suburnya pluralisme dalam penafsiran itu sendiri.  Apalagi  pluralitas memang merupakan sunnatullah dan hampir dalam  setiap lini kehidupan, termasuk dalam pemikiran Fikih, Kalam,  Tasawuf,  Tafsir   terdapat aliran-aliran atau mazab-mazab bervariasi.[3]
Berbicara tentang mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam mengklasifikasikanya. Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga  menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya.  Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi,  fiqhi, ‘ilmi,  adabi ijtimai’. ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang periode mitologis,  ideologis, dan ilmiah. Dan ada pula yang melihat dari sisi metode serta rujukan penafsiranya sehingga lahirlah Tafsir Riwah, Tafsir Diroyah, Tafsir Isyari dan lain sebagainya.

C.     Objek dan metode Madzahib al-Tafsir
Madzahib al-Tafsir sebenarnya juga dapat disebut sebagai sejarah tafsir  sehingga dapat pula dipandang sebagai disiplin keilmuan tersendiri, dengan demikian ia harus mempunyai objek kajian tersendiri, sebagaimana halnya ilmu-ilmu yang lain.   Dalam perspektif para Ulama , suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu,  jika ia memiliki objek kajian tersendiri dan mempunyai epistemologi yang jelas, sehingga dapat diferifikasi dan difalsifikasi secara jelas. Ilmu itu berbeda dengan pengetahuan. Ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang sistematis.  Yang berarti pula Madzahib al-Tafsir dapat disebut pula dengan ilmu sejarah mazhab-mazhab tafsir, dan  ia mempunyai objek kajian tertentu dan metode tersendiri dalam merumuskan sistem pengethuannya.
Adapun objek kajiannya, dapat dipetakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah bidang penyelidikan sebuah ilmu yang bersangkutan.  Sehingga objek material dari kajian Madzahib al-Tafsir  adalah data-data sejarah yang berupa anekamacam tafsir dan sejarah penulisnya  yang sudah muncul sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kemudian Muhammad Husain al-Zahabi ketika mengkaji persoalan Madzahib al-Tafsir, member nama  karyanya dengan sebutan al-Tafsir wal Mufassirun (التفسير والمفسرون ( Adapun objek formal adalah sudut dari mana sebuah ilmu pengetahuan memandang  objek material. Objek meterial yang satu dan sama bisa dipelajari  oleh pelbagai ilmu pengetahuan yang masing-masing  memandang objek  itu dari sudut yang berlainan. Maka dalam hal ini dapat dikatakanbahwa objek formal dari kajian Madzahib al-Tafsir sesuatu yang menjadi titik tekan dari kajian Madzahib al-Tafsir itu sendiri, yakni kecenderungan,  corak, aliran-aliran, pendekatan-pendekatan penafsiran yang muncul sejak al-Qur’an itu ditafsirkan dan dikonsumsi oleh para mufassir dan umat Islam secara umum.  [4]   
Dengan demikian dalam mengkaji Madzahib al-Tafsir seseorang dapat melakukan dengan menggunkan  metode pendekatan sejarah (التقريب التاريخي),  terutama dalam hal klasifikasi dan pemetaan terhadap mazhab-mazhab tafsir yang berkembang  selama ini.  Yang salah satu ciri dalam pendekatan sejarah adalah melacak akar-akar historisnya, mengapa terjadi penafsiran yang demikian, dan mencoba mensistematisasikan berdasarkan kronologi waktunya, maupun kecenderungan dan karakteristik dari masing-masing aliran tafsir yang muncul. Selain itu, seseorang dapat pula mengkajianya dengan pendekatan filosofis, yang lebih menitikberatkan aspek subsatnsi pemikirannya dan struktur fundamental dari berbagai penafsiran yang ada.[5]

D.    Signifikansi  Madzahib al-Tafsir
Lahirnya metode-metode tafsir, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman  Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan  mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta  mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an  turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an  secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat  itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan  penjelasan secara global [ijmal]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan  tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau  kata di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,[6]
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس مانزل اليهم ولعلهم يتفكرون.
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Kajian terhadap Madzahib al-Tafsir tentu memiliki signifikansi yang sangat banyak, terutama bagi para mahasiswa, peminat studi al-Qur’an dan umat Islam secara umum. Mengkaji Madzahib al-Tafsir adalah mengkaji sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir itu sediri, bagaimana seseorang memahami dan  menafsirkan al-Qur’an.  Betapa pentingnya umat Islam untuk mengetahui sejarah, apalagi sejarah yang terkait dengan bagaimana generasi masa lalu hingga sekarang mengkaji dan memahami al-Qur’an. Dengan mengkaji Madzahib al-Tafsir kita akan banyak memperoleh informasi tentang berbegai ragam, corak dan kecenderungan para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Adapun signifkansi dari belajar Madzahib al-Tafsir antara lain:
1. Untuk membuka horison dan menumbukan sikap toleran terhadap berebgai corak penafsiran. Seseorang yang tekun dan serius dalam mengkaji Madzahib al-Tafsir akan cenderung menjadi orang yang terbuka dan luas wawasannya, karena ia lebih banyak tahu tentang berbagai corak  penafsiran yang berkembang selama ini. Hal ini akan melahirkan kesadaran akan perlunya membuka pikiran dan penafsiran. Dari situ maka akan muncul sikap tasamuh (toleransi)  yang tinggi terhadap adanya berbagai varian dalam penafsiran sepanjang penafsiran tersebut memang didukung oleh argumentasi-argumentasi yang kuat.
2. Untuk mengembangkan dan menyadarkan adanya pluralitas penafsiran
Sebagaimana kita maklum bersama bahwa isu pluralisme sekarang menjadi sangat popular, dan semua orang sesungguhnya terlibat di dalamnya. Hanya saja ada yang menyadari, ada pula yang tidak. Kajian terhadap berbagai aliran  dan pemikiran mengenai penafsiran al-Qur’an akan semakin menyadarkan betapa pentingnya orang memahami pluralitas tersebut sebagai sunnatullah dan kenyataan hidup. Orang yang menyadari akan adanya pluralitas, niscaya tidak akan mengklaim bahwa dirinyalah sebagai satu-satunya pemengang otoritas kebenaran. Adanya klaim kebenaran (truth claim), cenderung menyebabkan seseorang menjadi esklusif dan tidak terbuka menerima kritik atau memahami pemikiran di luar dirinya.
Dalam kajian madzahibut tafsir, seseorang akan melihat betapa banyaknya ragam penafsiran orang dalam memahami al-Qur’an yang selama ini diklaim sebagai kebenaran mutlak. Padahal yang namanya “penafsiran al-Qur’an” dengan “al-Qur’annya”  sendiri  itu berbeda. Al-Qur’an pada dataran ilahiah memang mutlak kebenarannya, tetapi penafsiran terhadap al-Qura’n adalah relatif dan nisbi. Kalau ternyata, penafsiran itu  relatif sifatnya,  mengapa kemudian oleh sebagian orang, penafsiran itu cenderung dibekukan dan dibakukan bahkan disakralkan ?
3. Menghindarkan sikap Taqdis al-Afkar
Pentingnya studi Madzahib al-Tafsir adalah untuk menghindarkan sikap تقديس الافكار الدينية (pensakralan pemikiran keagamaan), termasuk di dalamnya adalah penafsiran orang tentang al-Qur’an. Sikap semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika seseorang telah mampu melihat secara kritis-filosofis. Sebab betapun baiknya sebuah penafsiran, ia tetap relatif kebenarannya. Oleh karenanya, terdapat sebagaian dari mufassir yang menolak  model penafsiran al-Qur’an yang terkungkung baik oleh tradisi tertentu tertentu.  Bahwa al-Qur’an itu mempunyai sakralitas memang benar, karena ia berasal dari Allah yang maha Mutlak. Namun begitu al-Qur’an dipahami dan ia direfleksikan oleh pikiran manusia, seungguhnya ia tidak sakral lagi. Artinya ia menjadi sebuah pemikiran yang bersifat relatif  dan tidak perlu disakralkan, hingga nyaris tidak boleh dikritik. Sebagai sebuah ilmu, ia tidak perlu dijadikan ideologi yang mengungkung kita dari keinginan untuk mengembangkan menjadi lebih baik. Dari sinilah maka akan muncul tradisi untuk mengkritik secar konstruktif terhadap produk-produk pemikiran tafsir yang dianggap kurang relefan dengan situasi zamannya. Karena dia menjadi sadar bahwa tafsir selalu dipengaruhi oleh semangat zamannya. Maka kemudian muncul upaya mengkaji al-Qur’an secara produktif, sehingga  al-Qur’an terus selalu ditafsirkan karena hal ini merupakan konsekswensi logis dari sebuah keyakinan bahwa al-Qur’an selalu shalih li kulli zaman wa makan.  Dan secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui beberapa cara atau metode, antara lain yaitu: [7]
a.       Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsiran dalam bentuk Tafsir seperti ini terfokus pada صحيح المنقول (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah menurut banyak Ulama yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :
-          Tafsir At-Tobary جامع البيان في تأويل أى القران
-          Tafsir Ibnu Katsir تفسير القران العظيم  
-          Tafsir Al-Baghowy معالم التنزيل
-          Tafsir Imam As-Suyutyالدر المنثور في التفسير بالمأثور 
-          Tafsir Syinqithy  : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
b.      Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).
Para Ulama membagi Tafsir Bir-ra’yi (Diroyah)  menjadi dua bagian, yaitu:
الرأي المحمودة-    (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) yaitu dengan adanya beberapa syarat diantaranya:
-  Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
- Penafsirannya tidak berseberangan dengan penafsiran bil ma’tsur, sehingga seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta segenap perangkat-perangkatnya.
Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
-          Tafsir Al-Qurtuby الجامع لأحكام القران
-          Tafsir Al-Jalalain تفسير الجلالين (Jalaluddin al Mahally dan Jalaluddin Assayuthi)
-          Tafsir Al-Baidhowy أنوارالتنزيل و أسرار التأويل
الرأي المذمومة- (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sejalan dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Sebagaimana juga banyak dilakukan oleh banyak orang yang mentafsiri al qur an pada  priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
-          Tafsir syiah “Dua belas” sepertiمرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني  
jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
-          Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي   
c.       Tafsir Isyari
Tafsir Isyari ini merupakan imbangn dari Tafsir Bathini. Walaupun keduanya sebagai hasil produk ahli Tafsir, yang menggolongkan dirinya pada aliran Tasawwuf. Sebab itulah kedua corak penafsiran ini mempunyai segi-segi kemiripan. Corak penafsiran ini berusaha mengungkapkan makna Al Quran yang tersirat saja, dengan mengabaikan sama sekali maknanya yang tersurat. Tafsir Isyari disamping mengarahkan sasaran penafsirannya pada pengungkapan makna ayat-ayat al Quran yang tersirat juga berusaha menelusuri daya cakup makna Al Quran, yang tersusun dari maknanya yang tersurat. Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyikap isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari. Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun. Ada beberapa contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :
- تفسير التستري atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (W.283 H) Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli dzahir.
-غرائب الفران وغرائب الفرقان- atau tafsir al-Naisaburi. Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
روح المعاني للالوسي- Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
-Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (w.238 H / 1240 M). yang dijuluki dengan Syeikh Akbar.
حقائق التفسير- karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (w.412 H).[8]

E.     Kelebihan dan Kelemahan Madzahib al-Tafsir
Sudah barang tentu setiap klasifikasi dan pemetaan memiliki kelebihan dan kelemahan, sekaligus mempunyai karakteristik dan kecenderungan tertentu yang berbeda antara satu dengan lainnya.Dalam hal ini, kami cenderung mengikuti pandangan yang mengklasifikasikan dan memetakan Madzahib al-Tafsir berdasarkan periodesasi dan rujukanya sekaligus sedikit banyak memadukan dengan pemetaan Madzahib al-Tafsir yang berdasarkan perkembangan pemikiran manusia, sehingga batasan waktu tersebut tidaklah terlalu kaku,  dan ini merupakan konsekwensi logis dari upaya memadukan dua teori tersebut.  kami menyadari bahwa pemetaan seperti ini memiliki kelemahan sekaligus kelebihan.  Kelemahannya barangkali adalah adanya standar ganda yang dipakai dalam pengkategorisasian, namun kelebihannya adalah justru kategorisasi seperti ini mampu menjembatani problem pemetaan mazhab-mazhab tafsir yang tidak dapat dilakukan oleh yang berdasarkan kategorsiasi kronologi waktu maupun kecenderungan. Terlepas dari kelebihan dan keklurangan tersebut, klasifikasi dan pemetaan seperti hal tersebut tetap perlu sehingga Madzahibut Tafsir  menjadi relatif lebih jelas untuk dipotret.[9]
Demikian juga termasuk kelebihan Madzahib al-Tafsir antara lain  untuk menghindari sikap miopi dalam memandang sebuah permasalahan. Ketika ayat-ayat yang membahas satu tema dikumpulkan, maka konsumen tafsir akan lebih mampu memiliki wawasan yang cukup komprehensif tentang sebuah tema. Dengan demikian, besar kemungkinan konsumen tersebut tidak kemudian memahami satu tema berdasarkan satu atau beberapa  ayat tertentu. Hal ini akan berefek langsung pada tingginya peminat karya tafsir yang demikian. Seperti Tafsir Riwayah misalnya di samping menggunakan pendekatan ar-riwayah (atsar), corak tafsir ini menggunakan pula interpretasi akal, sehingga dapat dikatakan bahwa corak tafsir ini menggabungkan pendekatan bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi dengan sangat hati-hati. Praktis dan fleksibel. Demikian juga Tafsir sastra-sosial bersifat praktis dan aplikatif, dalam arti bisa langsung diterapkan dalam kehidupan. Sedangkan fleksibilitas yang dimaksud di sini adalah Tafsir yang lebih membumi dan mampu menjawab permasalahan yang muncul. Sehingga  kehadiran corak dan karya tafsir semacam ini cukup berperan dalam meneguhkan bahwa Al-Qur’an shahih likulli zaman wa makan. Keberadaan tafsir sosial khususnya yang kontemporer yang terdiri dari beberapa tema menjadikan karya tafsir  sebagai sebuah ensiklopedi yang bisa diandalkan. Sehingga ketika seseorang menghadapi sebuah permasalahan, ia tinggal merujuk pada tafsir sosial dan mendapatkan pemecahan serta wawasan yang komprehensif mengenai masalah yang tengah dihadapi dengan eksplorasi yang memadai, sebagaimana tafsir sastra-sosial memberikan ruang yang besar bagi mufassir untuk menyisipkan data maupun analisis apapun yang ada hubungannya dengan tema yang dibahas. Ia bisa menyertakan asbabun nuzul, tinjauan hukum sosial, analisis bahasa, alasan pemilihan diksi, dan lain sebagainya.
Termasuk pula kekurangan dari Madzahib al-Tafsir antara lain munculnya asumsi bahwa suatu ayat dimiliki oleh satu katagori tertentu. Walapun kekurangan ini senyatanya sangat relatif dan kondisional. Bagi mereka yang hanya bisa menangkap satu muatan tema dalam satu ayat, maka hal ini cukup ‘bertanggungjawab’ pada keadaan yang demikian. Namun bagi mereka yang bisa menangkap ada banyak dimensi cahaya dari ‘permata’ Al-Qur’an, maka asumsi yang demikian senyatanya tereduksi dengan sendirinya. Klasifikasi ayat dalam sebuah katagori bisa jadi memunculkan kurangnya minat untuk menemukan hal-hal yang sebelumnya masih belum tereksplorasi. Yang demikian cenderung bersifat temporal, relatif, dan lokalistik. Hal ini jualah yang barangkali mendorong anak bangsa kita untuk menghasilkan karya tafsir yang lebih meng-Indonesia, sehingga bisa langsung diterapkan. Meski sekali lagi, heterogenitas tetap tidak bisa dihilangkan dalam keragaman masyarakat Indonesia. Temporal di sini erat kaitannya dengan dinamika masyarakat yang mengalami perubahan cukup masif. Misalnya saja, jika pada beberapa dekade yang lalu belum ada bir sehingga tidak termasuk dalam katagori minuman yang memabukkan, maka dewasa ini bir pun harus dimasukkan dalam katagori tersebut. Minimnya eksplorasi terhadap ayat-ayat yang membahas ritual kegamaan dan hukum. Tafsir sastra-sosial ini lebih memberikan eksplorasi yang jelas dan lengkap terhadap permasalahan sosial.[10]


PENUTUP
Tulisan ini barangkali akan lebih manis dengan kutipan Quraish yang mengatakan bahwa kita, khususnya insan akademis memiliki semacam fardu kifayah untuk membumikan Al-Qur’an dan menjadikannya mampu menyentuh realitas kehidupan. Ya, dunia tafsir memang dunia yang dinamis dan tidak akan mencapai istilah final. Manusia akan terus berubah dalam dinamika yang tidak pernah surut. Sedang Al-Qur’an harus tetap menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan ‘pengatur’ kehidupan manusia. Sebab itulah, jika kita tidak mau terbawa arus, maka kita harus mencipta arus tersebut dengan karya dan kreativitias kita.
Dalam setiap disiplin keilmuan mulai dari ilmu Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Fiqh, Tasawuf, Nahwu-Saraf, Balagah, Tafsir,  dan lain sebagainya selalu ada yang namanya aliran atau mazhab.  Munculnya madzahib al-tafsir yang notebenenya merupakan aliran-aliran dalam penafsiran al-Qur’an sesunguhnya merupakan salah satu bentuk pluralitas dalam memahami al-Qur’an yang disebabkan oleh adanya dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas. Menkaji madzahib al-tafsir secara baik akan menjadikan kita lebih dewasa dalam mensikapi   perbedaan-perbedaan penafsiran yang ada, sehingga kita tidak perlu “memonumenkan” suatu penafsiran, apalagi memutlakkan kebenaran dari hasil penafsiran seseorang, sebab yang mutlak  dan absolut sesungguhnya hanya Tuhan. Apapun hasil penafsiran adalah relatif dan nisbi kebenarannya, sehingga jika kita memutlakkan yang nisbi, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan “syirk” pemikiran, dan itu sangat berbahaya. Sebab bisa jadi seseorang lalu serampangan menuduh orang lain sebagai kafir atau murtad,  bahkan ingin membunuhnya,  hanya gara-gara berbeda penafsirannya dengan kita.
AL-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah swt kepda Nabi Muhammad saw, sebagai petunjuk umat manusia dari kegelapan dan menunjukkan kepada jalan yang lurus. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an. Lahirnya madzahibut tafsir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, sebab tiap generasi ingin selalu “mengkonsumsi” dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan perilakunya. Apalagi para mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural dan situasi politik dimana ia tinggal. Di samping itu, perbedaan kecenderungan dan disiplin ilmu yang dimilki masing-masing dari para mufassir sangat berpengaruh terhadap hasil penafsiran, implikasinya memunculkan pluralitas penafsiran al-Qur’an, dimana pluralitas itu justru menunjukkan asanya kekayaan khazanah pemikiran umat Islam. والعلم عند الله وهو الهادي الى سبيل الرشاد



Daftar Pustaka :

-          Amal, Taufiq Adnan,  Rakonstruksi  Sejarah al-Qur’an,, Yogyakarta FKBA, 2001.
-           Ma’luf, Louis.  al-Munjid fi al-Lugat al-Arabiyyah. Beirut;
-          Amin, Ahmad.  Zuha al-Islam. Juz  I & II Mesir:  Lajnah  al-Ta’lif wa al-Tarjamah   wa al-Nasyr 1935.
-          Al-Qattan, Manna’. Mabahis fi Ulum al-Qur’an,  tt: Mansyurat al-Ashr al-Hadith 1973.

-          Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah

-            Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azim. Manahil al-Irfan  fi ‘Ulum al-Qur’an.  Juz II. Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby.  t.th.

-          Al-Salih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an. Beirut:  Dar ilm li al-Malayin, t.th. Ash-Shidieqy, TM   Hasbi . Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

-          Al-Muhtasib. 1973. Ittijah al-Tafsir fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah  Aqly Taufiqy, Ittijah Ilmy. Beirut: Dar al-Fikir

-          Nashruddin Baidan. Ibid. hlm. 9.272     Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008

-          Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323



[1]  Amal, Taufiq Adnan,  Rakonstruksi  Sejarah al-Qur’an,, Yogyakarta FKBA, 2001.
    Ma’luf, Louis.  al-Munjid fi al-Lugat al-Arabiyyah. Beirut;

[2]   Al-Qattan, Manna’. Mabahis fi Ulum al-Qur’an,  tt: Mansyurat al-Ashr al-Hadith 1973
[3]  Amin, Ahmad.  Zuha al-Islam. Juz  I & II Mesir:  Lajnah  al-Ta’lif wa al-Tarjamah   wa al-Nasyr 1935.
[4]  Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah
     Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azim. Manahil al-Irfan  fi ‘Ulum al-Qur’an.  Juz II. Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby.  t.th.
[5]  Al-Salih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an. Beirut:  Dar ilm li al-Malayin, t.th. Ash-Shidieqy, TM   Hasbi . Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

[6]  Al-Muhtasib. 1973. Ittijah al-Tafsir fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah  Aqly Taufiqy, Ittijah Ilmy. Beirut: Dar al-Fikir
[7]  Nashruddin Baidan. Ibid. hlm. 9.272     Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008
[8] Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. Manaahil al-Irfan  fi ‘Ulum al-Qur’an.  Juz II. Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby. 
   Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323
[9]  Al-Qattan, Manna’. Mabahis fi Ulum al-Qur’an,  tt: Mansyurat al-Ashr al-Hadith 1973.

[10]   Al-Muhtasib. 1973. Ittijah al-Tafsir fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah  Aqly Taufiqy, Ittijah Ilmy. Beirut: Dar al-Fikir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar