BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalau mau disebut bahwa pada masa Nabi Muhammad saw sudah ada Negara dan pemerintahan Islam, maka pandangan demikian tertuju pada masa beliau berada di kota Yastrib, kota ini kemudian berganti nama menjadi “Madinah al nabi” dan popular dengan sebutan Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama : arah sistem itu terkenal dengan Negara Madinah. Kajian terhadap Negara dan pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan pendekatan. Normatif Islam yang menekankan pada pelaksanaan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah nabi yang mengisayaratkan adanya praktek pemerintahan yang dilakukan nabi dalam rangka Siyasah syar’iyyah. Kedua, pendekatan dekriptif- histories yang mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan Nabi di bidang tugas-tugas Negara dan pemerintahan, hal ini dilihat dari sudut teori-teori politik dan ketatanegaraan.
Terbentuknya Negara Madinah akubat dari perkembangan penganut Islam menjelma menjadi kelompok social dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai wilayah kekuasaan dan berdaulat. Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok social penekan terhadap kelompok mayoritas kala itu yang berada di bawah kekuasaan aritokrasi Quraisy, yang masyarakatnya homogen, tetapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan umarnya mengalami perubahan besar. Di kala itu mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu nagara. Suatu Negara yang dapat kekuasaannya di akhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain Madinah Nabi bukan lagi hanya mempnyai sifat rasul, tetapi juga sifat kepala Negara juga.[1] DB. Mc Donald juga menyatakan “disini, Madinah. Telah terbentuk Negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undang Islam.[2] Dalam Negara Madinah itu, kata Thomas W. Arnald dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan kepala Negara. Fazlurrahman,[3] tokoh neo-modernisme Islam, juga membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir nabi itu mmerupakan suatu Negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat muslim.[4]
Pada tahun 621 dan 622 M, Nabi berturut-turut mendapatkan dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang arab (suku Aus dan Khazraj). Kota yang menyatakan diri masuk Islam, peristiwa ini mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang arab Mekkah musuh Islam. Karena di samping mereka menerima Islam sebagai agama mereka, juga mereka membaiat Nabi. Dalam bai’at di tahun 621 M, dikenal dengan Bai’at Al-Aqobah pertama. Mereka berikrar bahwa mereka tidak menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati Rasulullah dalam segala hal yang benar, sedangkan pada Bai’at tahun 622 M, dikenal dengan Bia’at Aqobah kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka. Nabi juga dalam kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk perdamaian.[5]
Langkah berikutnya yang dilakukan oleh sang Nabi adalah menata kehidupan politik komunitas-komunitas di Madinah, sebab dengan hijrahnya kaum muslimin Mekkah ke kota itu. Masyarakatnya semakin bercorak heterogen dalam hal etnis dan keyakinan. Yaitu komunitas arab muslim yahudi dan komunitas arab paganis. Untuk itu Nabi menempuh dua cara, pertama, menata intern kehidupan kaum muslimin. Yaitu mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan kaum anshar secara efektif.[6]
Persaudaraan ini bukan diperkuat oleh hubungan darah dan kabilah, melainkan atas dasar ikatan agama (Iman), inilah awal terbentuknya komunitas Islam untuk pertama kali, yang menurut Hitti, merupakan “suatu miniature dunia Islam”[7] kedua, Nabi mempersyaratkan antara kaum muslimin dan kaum yahudi bersama sekutu-sekutunya, melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan Piagam Madinah.
Setelah Rasulullah wafat, maka tongkat estafet kepemimpinan dalam Islam digantikan oleh empat orang sahabtanya, yang dimulai dari Abu Bakar al-Shiddiq, ke khalifah Ali yang lebih dikenal dengan khalifa’ al-Rasyidun.
Pemerintah politik masa khulafar rosyidin di masa Abu Bakar, Umar ,Usman , dan Ali sudah pasti berbeda setiap memegang ke pimpinannya, pada masa Khulafar Rasydin prinsip musyawarah , persaman rebeyasan berpendapat menjadi realisasi dari penerapan ajaran al- quran dan sunah rasul. pemahaman dan penafsiran terhadap pemerintahan Khulafar Rasyidin , pasca dan sekarang sangat berkaitan sehingga sistem pemerintahan yang telah di bentuk dari masa ke masa berkembang menjadi seperti sekarang. Sistem pemerintahan yang di itikan oleh pendahuluannya yang dapat menambah wawasan pembaca tentang pemerintahan yang pernah di praktikan dan di terapkan dalam dunia islam hingga saat ini. Bagaimana awal terbentuknya khilafah dalam islam dan perkembangannya, makalah ini mencoba untuk membahasnya secara sederhana tentang hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud khalifah al-Rasyidun?
2. Bagaimana pembentukan dan perkembangan khilafah dalam Islam?
3. Bagaiamana system pemerintahan yang di jalankan dalam pemrintahan khalifah al-Rasyidun?
BAB II
PEMBAHASAN
A. al-Khulafa’ al-Rasyidun
Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka mengangkat seorang khalifah setelah beliau SAW wafat, yang dibai'at dengan bai'at syar'iy untuk memerintahkan kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Menegakkan syari'at Allah, dan berjihad bersama kaum muslimin melawan musuh-musuh Allah.
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya)." para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi SAW menjawab, "penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin." (HR. MUSLIM) Rasulullah SAW berwasiat kepada kaum muslimin, agar jangan sampai ada masa tanpa adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi, dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin berupaya mengangkat khalifah yang baru, meskipun hal itu berakibat pada kematian.
Sabda Rasulullah SAW : "Barang siapa mati dan dipundaknya tidak membai'at Seorang imam (khalifah), maka matinya (seperti) mati (dalam keadaan) jahiliyyah."
Rasulullah SAW juga bersabda : "Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi Kekacauan." (HR. Thabarani), sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan (kepada kita) untuk taat kepada khalifah. Allah berfirman
Rasulullah SAW juga bersabda : "Jika kalian menyaksikan seorang khalifah, hendaklah kalian taat, walaupun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya jika tidak ada khalifah, maka akan terjadi Kekacauan." (HR. Thabarani), sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan (kepada kita) untuk taat kepada khalifah. Allah berfirman
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. an-Nisa: 59)
Kaum muslimin telah menjaga wasiat Rasulullah SAW tersebut sepanjang 13 abad. Selama interval waktu itu, kaum muslimin tidak pernah menyaksikan suatu kehidupan tanpa ada (dipimpin) seorang khalifah yang mengatur urusan-urusan mereka. Ketika seorang khalifah meninggal atau diganti, ahlul halli wal 'aqdi segera mencari, memilih, dan menentukan pengganti khalifah terdahulu. Hal ini terus berlangsung pada masa-masa islam (saat itu). Setiap masa, kaum muslimin senantiasa menyaksikan bai'at kepada khalifah atas dasar taat. Ini dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga periode para Khalifah dari Dinasti 'Utsmaniyyah.
Kaum muslimin mengetahui bahwa khalifah pertama dalam sejarah Islam adalah Abu Bakar ra, akan tetapi mayoritas kaum muslimin saat ini, tidak mengetaui bahwa Sultan 'Abdul Majid II adalah khalifah terakhir yang dimiliki oleh umat Islam, pada masa lenyapnya Daulah Khilafah Islamiyyah akibat ulah Musthafa Kamal yang menghancurkan sistem kilafah dan meruntuhnya Dinasti 'Utsmaniyyah. Fenomena initerjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H.
Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah Islam di bawah institusi Khilafah Islamiah pernah dipimpin oleh 104 khalifah. Mereka (para khalifah) terdiri dari 5 orang khalifah dari khulafaur raasyidin, 14 khalifah dari dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti 'Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11 orang khalifah. Dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke kairo, yang dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khalifah berpindah kepada Bani 'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah. Umat masih mengetahui nama-nama para khulafaur rasyidin dibandingkan dengan yang lain. Walaupun mereka juga tidak lupa dengan Khalifah 'Umar bin 'Abd al-'Aziz, Harun al-rasyid, Sultan 'Abdul Majid, serta khalifah-khalifah yang masyur dikenal dalam sejarah.[8]
Dalam hal ini yang dimaksud Khalifah Ar-Rasyidah atau Khulafa'ur Rasyidin adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam Sunni, sebagai pengganti Muhammad, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semuanya adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi ciri-ciri kekhalifahan selanjutnya.
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi Muhammad tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau, yang ditolak oleh kalangan Syi'ah. Menurut Syi'ah, Muhammad sudah jelas menunjuk pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib sesuai dengan Hadits Ghadir Khum.
1. Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2. 'Umar bin khaththab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3. 'Utsman bin 'Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
B. Khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab
Pemerintahan Abu Bakar (11-13H), yang memilik nama asli Abdus Syams, pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah merupakan awal terbentuknya khalifah pertama dalam Islam, ia sebut lembaga pengganti kenabian dalam memelihara urusan-urusan agama dan mengatur urusan dunia untuk meneruskan kepemerintahan Negara Madinah yang terbentuk pada masa nabi sebagai telah diuaraikan. Pengangkatannya untuk memangku jabatan tersebut, merupakan hasil kesepakatan antara kaum anshar dan kaum muhajirin dalam musyawarah mereka di Tsaqifah Bani Saidah.[10] Musyawarah itu sendiri diprakarsai oleh kaum anshar yang secara spontan mereka ini menunjukkan mereka lebih memiliki kesadaran politik daripada kaum muhajirin untuk memikirkan siapa pengganti rasul dalam memimpin umat Islam.
Dalam pertemuan itu mereka menemui kesulitan bahkan hampir terjadi perpecahan di antara dua kaum diatas. Kesulitan atau persoalan yang timbul adalah siapa yang akan menggantikan beliau “ apa syaratnya ? dan bagaimana mekanisme pemilihannya ? ini tentu saja disebabkan Rasul tidak pernah memberi petunjuk yang jelas tentang masalah pemerintahan, semua hidupnya bahkan beliau tidak menunjuk seorangpun untuk menjadi penggantinya. Demikian pula Al-Qur’an tidak memberi petunjuk secara tegas tentang pembentukan pemerintahan itu yang harus diikuti kaum muslimin.
Dalam pertemuan itu, sebelum tokoh-tokoh muhajirin. Golongan Khozraj telah sepakat mencalonkan Saad bin Ubadah pemimpin suku Khazraj. Untuk menjadi pengganti Rasul dalam pemerintahan. Tapi segolongan suku Aus belum memberi persetujuan atas pencalonan itu.
Melihat situasi yang tegang dan bisa mengancam keutuhan umat. Abu Ubadah mengajak kaum Anshar agar bersikap dingin dan toleran. Ia mengatakan “ wahai kaum anshar sesungguhnya kamu adalah orang-orang pertama yang memberi pertolongan maka janganlah pula kamu menjadi orang pertama yang merusak” kemudian Basyir bin Saad Abi An-Nu’man bin Basyir salah satu seorang pemimpin suku Khazraj berdiri seraya berkata “ wahai orang-orang anshar demi allah sesungguhnya kita paling utama dalam memerangi kaum musyrik dan membela agama ini kita tidak menghendakinya kecuali atas ridho allah dan ketaatan kita kepada Nabi kita, maka tidaklah tepat kita memperpanjang masalah ini”.
Dari pemaparan fakta histories di atas tergambar bahwa pertemuan politik atau forum musyawarah itu berlangsung hangat terbuka dan demokratis. Dalam hubungan ini DB McDonald berkomentar bahwa forum musyawarah tersebut dapat disebut sebagai “forum politik” di mana di dalamnya terjadi diskusi dan dialog yang sesuai dengan cara-cara modern.
Pemilihan Abu Bakar tersebut, bahkan didasarkan pada sistem keturunan, atau karena senioritasnya dan pengaruhnya. Tapi karena beliau mempunyai kapasitas pemahaman tertinggi berakhlak mulia, dermawan dan paling dulu masuk Islam serta dipercaya oleh Nabi.
Pada tahun pertama jabatan Abu Bakar kepemimpinannya langsung diuji. Ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam sendiri, ancaman itu datang menghancurkan bangunan struktur Islam dan tatanan kehidupan umar Islam oleh Nabi dengan susah payah karena tidak lama setelah Nabi wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, muncul sekelompok umat Islam di berbagai daerah menentang kepemimpinannya.
Faktor keberhasilan Abu Bakar yang lain membangun pranata social di bidang politik dan pertahanan keamanan keberhasilan tersebut tidak pula lepas dari sikap keterbukaan beliau yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh sahabat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil kepurusan melalui forum musyawarah sebagai lembaga-lembaga legislatif. Hal ini mendorong para sahabat khususnya dan pada umumnya berpartisipasi aktif untuk melaksanakan berbagai keputusan yang dibuat.
Sedangkan tugas-tugas eksekutif ia dilegislasikan kepada para sahabat baik untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di madinah maupun pemerintahan di daerah untuk menjalankan tugas pemerintahan di Madinah ia mengangkat Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai katib (sekretaris), dan Abu Ubadah sebagai bendaharawan, mengurusi baitul maal. Di samping tugas kemiliteran : mengangkat panglima-panglima perang sebagai disebut di atas, untuk tugas yudikatif ia mengangkat Umar bin Khattab sebagai hakim agung.
Adapun unsur pemerintahan dinas kota Madinah khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi. Dan tiap propinsi menugaskan seorang Amir atau wali (setingkat jabatan gubernur) 1) Itab bin Asid untuk Mekkah, Amir yang diangkat dimasa Nabi. 2) Usman bin Abi Al-Ash Amir untuk Thaif, amir yang diangkat dimasa Nabi. 3) Al-Muhajir bin Abi Umayyah, amir untuk San’a. 4) Ziyad bin Labid, amir untuk Hadramaut. 5) Ya’la bin Umayyah, amir untuk Zubaid dan untuk rima’. 6) Muadz bin Jabal amir untuk Janad. 7) Jarir bin Abdillah untuk Najran. 8) Abdullah bin Tsur amir untuk Jaray. 9) Al Ala’ bin al-Hadrami amir untuk Bahrain dan Umuh Irah dan Syam (Syiria). Dipercayakan kepada para pemimpin militer sebagai Wulaat Al-Amri. Para amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin agama (sebagai imam dalam shalat). Menetapkan hukum dan melaksanakan Undang-Undang. Artinya seorang amir di samping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelaksanaan tugas kepolisian.[11] Namun demikian kepada setiap amir, diberi hak untuk mengangkat pembantu-pembantunya seperti katib, amil dan lain-lain sebagainya.
Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya.[12] Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalonkan Umar menjadi khalifah kedua. Faktor utama adalah kehawatirannya akan berulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan, bila ia tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya pada saat itu antara kaum anshar dan kaum muhajirin sebagai golongan-golongan yang berhak menjadi khalifah.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in.
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh khalifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut,d ari segi tata negara, menunjukkan bahwa ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara islam. Hal ini seperti juga berliku di zaman modern ini di mana seorang kepala negara atau presiden juga sekaligus sebagai pangima tertinggi angkatan bersenjata.
Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata social ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat.untuk kemaslahatan rakyat ini ia mengolah zakat, infak,sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan Negara ini di bagikan untuk kesejahteraan tentara, bagi para pegawai Negara,dan kepada rakyat yang berhak menerima sesuai ketentuan al-quran
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan" nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar Radhiallahu‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulullah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Dari penunjukkan Umar sebagai penggantinya, ada hal yang perlu dicatat:
1. Bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar tidak meninggalkan azas musyawarah.ia lebih ulu mengadakan konsultasi untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin.
2. Abu Bakar tidak menunjuk salah seorang putranya atau kerabatnya melainkan memilih seseorang yang disegani oleh rakyat karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
3. Pengukuhan Umar sebagai khalifah sepeniggal Abu Bakar berjalan baik dalam suatu bai’at umum dan terbuka tanpa ada pertentangan dikalangan kaum muslimin sehingga opsesi Abu Bakar untuk mempertahankan keutuhan umat Islam dengan cara penunjukkan itu terjamin.
Ketika Abu Bakar merasakan sakitnya semakin berat, ia mengumpulkan para sahabat besar dan menunjuk Umar bin Khattab sebagai Khalifah. Para sahabat setuju dan Abu Bakar meninggalkan surat wasiat yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.sebagai mana Abu Bakar, Umar bin khattab pun di bai’at dihadapan umat muslimin.bagian dari pidatonya adalah:
“Aku telah dipilih jadi khalifah.kerendahan hati abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat diantara kamu dan juga lebih mampu memikul urusan kamu yang penting-penting.aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama seperti beliau. Andaikata aku atau ada orang yang lebih kuat daripada aku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini”
Begitu pula terasa pemilihan Umar bin Khattab hampir tidak menimbulkan perbedaan, mengingat pertimbangan-pertimbangan, yaitu bahwa untuk menghadapi sejubel persoalan umat Islam pasca Abu Bakar, maka dibutuhkan kepemimpinan seorang yang tegas dan berwibawa. Tak lain Umar lah orangnya.[13]
Catatan histories menorehkan bahwa Umar bin Khattab, panji-panji Islam kian berkibar bahkan dengan adanya perluasan ke wilayah-wilayah seperti juga dilakukan oleh Abu Bakar kekuatan Islam kian terasa. Di samping itu dari segi pemerintahan ada berbagai kebijakan Umar yang dinilai sangat brilian, salah satunya adalah desentralisasi administrasi Negara, untuk itu Muhammad Thair Azhary.[14] Menyatakan dalam bukunya bahwa Umar-lah khalifah Islam yang melakukan desentralisasi administrasi Negara itu dan bahkan Negara Islam Madinah mengalami masa kejayaannya pada masa khalifah kedua ini. Sistem otonomi yang diterapkan ini tentunya juga menuntut perubahan sistem kinerja pemerintahan di wilayah-wilayah bagian, untuk itu tak jarang jika ditemukan terjadi semacam pengembangan struktur pemerintahan yang pada generasi sebelumnya tidak ditemukan.
Namun tragedi yang tak diinginkan terjadi, yaitu buntut dari pemberontakan yang juga kerap terjadi adalah tewanya khalifah Umar sendiri. Yang di tenggarai dibunuh oleh Abu Lu’luah.[15]
C. Usman Bin Affan Dan Ali Bin Abi Thalib
Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, muncul dua nama yang bersaing ketat yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keputusan terakhir diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf sebagai ketua Dewan yang kemudian menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah.
Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi khlifah ketiga Negara madinah ,ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidato itu usman mengingatkan beberapa hal yang penting:
1. agar umat islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
2. agar umat islam terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan
3. agar umat islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu;
4. sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah al-quran dan sunnah rasul;
5. di samping ia akan meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan membuat hal baru yag akan membawa kepada kebajikan
6. umat islamboleh mengkririknya bila ia menyimpang dari ketentuan hokum
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah usman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya kekuasaan wilayah madinadibagi menjadi 10 propinsi:
1. Nafi’bin al-haris al-khuza’i,amir wilayah mekkah;
2. Sufyan bin Abdullah al-tsaqqfi,amir wilayah thaif
3. Ya’la bin Munabbih Halif BaniNauful bin Abd Manaf,amir wilayah Shan’a
4. Abdullah bin Abi Rabiah ,amir wilayah a-janad;
5. Usman bin Abi al-ashal-Tsaqafi,Amir wilayah Bahrain;
6. Al-Mughirah bin Syu’bah al-tsaqi, Amir wilayah Kufah;
7. Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari,Amir wilayah Basrah;
8. Muawiyah bin Abi Sufyan ,Amir wilayah Damaskus
9. Umar bin Sa’ad ,Amir wilayah Himsh;dan
10. Amr bin al-Ash al-Sahami, Amir wilayah mesir.
Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh Dewan Penasehat Syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Prestsai tertinggi masa pemerintahan Usman sebagai hasil majlis syura adalah menyusun al-quran standar , yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan al-quran,s eperti yang dikenal sekarang.naskah salinan al-quran tersebut disimpan dirumah istri nabi kemudian naskah salinannya atas persetujuan para sahabat dikirim ke beberapa daerah.
Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Untuk mengisi baitul mal diperoleh dari alfarz, usyri, usyur, zakat dan jizya.
Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’. Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru.
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya.ia di bai’at di tengah-tengah kematian usman, pertentangan dan kekacauandan kebingungan umat islam Madinah.sebab kaum pemberontak yang membunuh Usman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
1. Tetap berpegang teguh kepada al-quran dan sunnah rasul
2. Taat dan bertaqwa kepada allah serta mengabdi kepada negara dan sesame manusia
3. Saling memelihara kehormatan di antara sesame muslim dan umat lain
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum,dan
5. Taat dan patuh kepada pemerintah.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman.namun Ameer Ali menyatakan:…ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan.ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah,serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Harus diakui ada beberapa kasus dan peristiwa pada masa khalifah Usman dan Ali yang tidak menyenangka.tapi perlu dicatat secara umum mengenai beberapa hal yang dicontohkan oleh khulafa al-Rasyidin dalam memimpin Negara Madinah. Pertama, mengenai pengangkatan empat orang sahabat Nabi terkemuka itu menjadi Khalifah dipilih dan di angkat dengan cara yang berbeda. 1) Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Karena Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar dibalai pertemuan TsaqifahBani Syaidah. 2) Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan kemudian memberitahukan kepada umat islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukan itu tidak karena ada hubungan keluarga antara khalifah yang mencalonkan dan calon yang di tunjuk. Cara ini terjadi pada penunjukan Umar oleh khalifah Abu Bakar. 3) Pemilihan team atau Majelis Syura yang di bentuk khalifah. Anggota tem bertugas memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Cara ini terjadi pada Usman melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar yang beranggotakan enam orang. 4) Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang membunuh usman.Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih oleh kaum pemberontak dan umat Islam Madinah. Kedua, Pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin tidak mempunyai konstitusi yang dibuat secara khusus sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang nya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul ditambah dengan hasil ijtihad khalifah dan keputusan Majelis Syura dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul yang tidak ada penjelasannya dalam nash syariat. Ketiga, Pemerintahan khulafa al-Rasyidin juga tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap khalifah. Mereka tetap memegang jabatan itu selama berpegang kepada syariat islam. Keempat, dalampenyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah khulafa al-Rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaanbagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip keadilan social dan kesejahteraan rakyat. Kelima,dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah adalah Al-Qur’an dan Sunnah rasul, hasil ijtihad penguasa, dan hasil keputusan Majelis Syura. Karenanya corak Negara Madinah pada periode Khulafa al-Rasyidin tidak jauh berbeda daripada zamanRasulullah.
Di samping perluasan wilayah dan perbaikan ketatanegaraan. Madinah kebijakan dua khalifah terakhir dari khulafa ar- Rasyidun ini juga sangatlah terasa, termasuk di dalamnya pembinaan kehidupan masyarakat yang boleh dikata lebih plural dari semua pemerintahan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib misalnya, yang menurut Mujar Ibnu Syarif tak jauh beda dengan perlakuan Umar bin Khattab terhadap kaum minoritas, dalam hal ini adalah kaum non-muslim, termasuk dalam pengurusan Jizyah- terhadap kaum dzimmiyah (ahl al-dzimmah) terkait denang kasus pembunuhan seorang ahl al-dzimmah oleh seorang muslim. Setelah terbukti bahwa si muslim bersalah, maka Ali bin Abi Thalib tun tidak segan untuk menjatuhkan hukuman qishass kepada si muslim. Namun sebelum pelaksanaan eksekusi qishash terlaksana, pihak korban mengampuni kesalahan Muslim itu, maka setelah mempertimbangkan kemungkinan munculnya pemaafan itu, maka akhirnya memutuskan hukum diyat kepada si pembunuh
Bidang pemerintahan banyak terjadi kekusutan sejarah, luka sejarah yang seharusnya tidak terjadi, yaitu keterpecahan kaum muslim atas kebijakan politik Utsman yang dinilai KKN dengan memilih para sanak kerabatnya sebagai pejabat Negara. Begitu pula dengan Ali bin Abi Thalib yang sebenanya tidak terkait dengan kebijaknnya, melainkan meluasnya pemberontakan yang menjadi pemicu atas keterpecahan umat Islam itu sendiri- berakhir dengan sejumlah peperangan melawan pemerintah- dalam hal ini Ali sendiri dan akhirnya ia terbunuh dalam sebuah insiden pembunuhan.
Namun terlepas dari titik hitam sejarah pemerintahan Islam itu. Dua kholifah ini tak jauh beda dengan para pendahulunya. Seorang pemimpin yang adil dan bernafaskan ajaran yang tidak lain adalah peninggalan Rasulullah SAW. Yang secara global dapat dirumuskan bahwa sejak masa Nabi hingga Ali bin Abi Thalib banyak bentuk pengembangan dalam dunia pemerintahan Islam, baik secara struktural maupn yuridis dan perluasan wilayah. Akhirnya menutup ulasan waktu itu adalah NOMOKRASI, disamping dalam bentuk republic yang sangat kental dengan konsep demokrasi musyawarahnya. Kendati ada secuil perbedaan antara kepemimpinan proses keterpilihan masing-masing. Dan legalitas kepemimpinannya. Yang dalam hal ini Nabi adalah teratas, mengingat wahyu selalu menyertai beliau.[16]
Epilog
Banyak kesimpulan yang bisa ditarik dari kajian analitis-historis ini, yaitu bahwa kehidupan bernegara secara Islami telah terwujudkan sejak masa Nabi. Tepatnya terhitung setelah peristiwa hijrah ke Madinah. Dimana tercipta suatu tatanan kahidupan bermasyarakat yang damai di tengah-tengah pluralitas suku, agama dan keyakinan. Keberadaan bai’atai al-Aqabah (pertama dan kedua) menjadi saksi atas kehidupan bermasyarakat yang kini dikenang sebagai “masyarakat madani”
Kelangsungan kehidupan Negara Madinah tak pupus, kendati peletak batu pertamanya, Nabi Muhammad, sudah wafat. Tugas dan jabatan yang ditinggalkan oleh beliau segera diisi oleh keempat sahabat terdekat beliau yang dipilih secara demokratis melalui majelis syura (lembaga permusyawaratan) yang kesemuanya bukan hanya menjadi pengganti tapi penerus dan yang mengembangkan ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Begitu indah mengenang kejayaan Islam dimasa lampu, aroma harum yang selalu menjadi impian seluruh bangsa terus tercium hingga kini. Dunia membicarakan Musyarakat Madani, suatu peninggalan paling berharga dari Negara Madinah.
Akhirnya kami mengharap para pembaca untuk memberikan kritik dan saran atas uraian yang sangat mini untuk mencakup periode awal pemerintahan Islam. Semoga bermanfaat, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
· al-Din al- Rayis, Muhammad Dhiya’, al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957)
· Fazlurrahman, The Islam Concept, dalam Jhon J. Donohue and L. Esposito (ed), Islam transistion ; muslim perspective, (New york: Oxpord University Press, 1982)
· Hisyam, Ibnu, Sirat al-Nabawiyah, Jilid I, (Mathba’ah Muhammad Ali Shabit, tt)
· http://bit.ly/kaskus-support, Khalifah Islam [Sejarah KeKhalifahan Islam] (di unduh pada tanggal 06 -10-2010)
· Ishaq, Ibnu, Sirat Rasul Allah, terjemahan Inggris oleh A. Guilaume, the life of Muhammad, (Karachi: Oxpord University Press, 1970)
· Ibrahim, Hasan, Tarikh Al-Islam, Jilid I, (Kairo:Al-Maktabah Al-nahdloh Al-Mishriyah, 1979)
· Ibnu Syarif, Mujar, Hak-Hak Politik Ninoritas Non Muslim Dalam Komunitas Islam, (Bandung : Angkasa, 2003)
· K. Hitti, Philip, Capital Cities Of Arab Islam, (Minneapolis: University of Mineesota,1973)
· Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta : UI- press, 1986)
· Thair Azhary, Muhammad, Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung : Angkasa,2003), hal. 42
· Tim penyusun Texbook sejarah dan kebudayaan islam, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Jakarta,Departemen agama, 1981/1982)
· W Arnold, Thomas, the caliphate, (London : Routladge And Leegan Paul Paul LTD, 1965),
· www.google.com, praktek-bernegara-di-masa-nabi-dan-khulafaurrasyidin, (di unduh pada tanggal 06 -10-2010)
[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta : UI- press, 1986), h. 92
[2] Seperti dikutip oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), h. 15.
[3] Thomas W Arnold, the caliphate, (London : Routladge And Leegan Paul Paul LTD, 1965), h. 30.
[4] Fazlurrahman, The Islam Concept, dalam Jhon J. Donohue and L. Esposito (ed), Islam transistion ; muslim perspective, (New york: Oxpord University Press, 1982), h. 261
[5] Ibnu Ishqa, Sirat Rasul Allah, terjemahan Inggris oleh A. Guilaume, the life of Muhammad, (Karachi: Oxpord University Press, 1970), h. 198-204. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam, Jilid I,(Kairo:Al-Maktabah Al-nahdloh Al—Mishriyah, 1979), h. 95-97.
[6] Ibnu Hisyam, Sirat al-Nabawiyah, Jilid I, (Mathba’ah Muhammad Ali Shabit, tt), h. 303-304.
[7] Philip K. Hitti, Capital Cities Of Arab Islam, (Minneapolis: University of Mineesota,1973), h. 35.
[10] Tsaqifah Bani Saidah adalah balai pertemuan di madinah seperti Dar al nadwah di mekkah, balai pertemuan orang quraisy sudah kebiasaan kaum anshar berkumpul dib alai itu untuk mamusyawarahkan masalah-masalah umum, sebagaimana kebiasaan kaum quraiys berkumpul di Daar Al Nadwah, Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rayis, Op. Cit, h. 25.
[11] Ibid, hal. 97-98
[12] Ibid, hal. 100-103
[14] Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung : Angkasa,2003), hal. 42
[15] Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Ninoritas Non Muslim Dalam Komunitas Islam, (Bandung : Angkasa, 2003), hal. 42
[16] www.google.com, praktek-bernegara-di-masa-nabi-dan-khulafaurrasyidin, di unduh pada tanggal 06 -10-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar