مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
PENDAHULUAN
bismillahirrahmanirrahim
Al-Quran merupakan kitab suci terakhir dari agama - agama samawi yang berfungsi sebagai penutup, pelengkap, dan sekaligus korektor terhadap kitab-kitab suci yang dibawa oleh para rasul sebelum Nabi Muhammad terutama taurat dan injil. Sebagai penutup, maka tidak mungkin ada kitab suci lagi setelah Al Qur an sebagaimana tidak mungkin ada Rasul dan Nabi setelah Nabi Muhammad. Sebagai pelengkap, ia membawa beberapa syariah dan informasi baru yang tidak termuat dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Sebagai korektor, ia mengungkap serta mengoreksi penyimpangan dan kesalahan yang dilakukan umat-umat terdahulu terhadap kitab-kitab suci mereka. Oleh karena itu, al-Quran mengandung banyak hal yang secara tidak langsung menuntut mereka yang ingin memahami kandungan dan menafsirkannya untuk menguasai aneka ragam disiplin ilmu.
Pada saat Nabi masih hidup, umat Islam hanya bergantung pada petunjuk dan penafsiran Beliau dalam memahami kandungan al-Quran, karena menurut keyakinan Ahli Sunnah sunnah beliau merupakan tafsir terhadap al-Quran. Tetapi semenjak setelah beliau wafat hingga sekarang, umat Islam dari generasi ke generasi membutuhkan beberapa disiplin ilmu agar bisa memahami dan menafsirkan al-Quran dengan benar atau paling tidak mendekati kebenaran begitu juga setiap generasi membutuhkan beberapa hal yang tidak sama dengan kebutuhan generasi lainnya. Ini disebabkan oleh rentang waktu antara generasi tersebut dengan zaman Nabi disamping tuntutan zaman di mana mereka hidup.
Memahami al-Quran bagi seorang mukmin adalah suatu hal yang penting dalam rangka memahami ajaran-ajaran yang ter-kandung di dalamnya dengan tujuan agar manusia secara ke-seluruhan dan muslim pada khususnya akan menjadi manusia yang bahagia di dunia dan di kahirat kelak. Kitab suci al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab sehingga untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci tersebut diturunkan dalam segala aspeknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang digunakan maupun dalam hal lainya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami al-Quran secara utuh dan menyeluruh sehingga memberikan penjelasan terhadap beberapa aspek yang menyangkut qaidah tafsir, pengertian dan beberapa qaidah yang menyangkut dengan penafsiran al-Quran. Demikian juga karena serangan terhadap Al-Quran selalu dilakukan oleh para orientalis. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran.[1]
Namun demikian kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan berkembang dari dan di berbagai Lembaga Islam di sejumlah kota besar di Indonesia. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa “Al-Quran bukan lagi sebagai wahyu suci dari Allah Subhânahu wa Ta‘âla kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melainkan merupakan produk budaya (muntâj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid dengan metode tafsir hermeneutikanya, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah misalnya mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Apalagi Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum yang makin digemari oleh masyarakat dan banyak Lembaga Islam.”[2]
Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Endar Riyadi mengenai keharusan melakukan interpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang selama ini dipandang dan melahirkan cara pandang yang membenci, intoleran dan tidak ramah terhadap orang-lain-agama sebagai salah satu diantara tiga agenda pokok dalam rangka menampilkan kembali wajah agama (Islam) yang ramah, toleran, dan inklusif.[3]
Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya
LATAR BELAKANG
Perlunya al-Qur’an itu ditafsirkan karena pada hakekatnya al-Qur’an merupakan kalam Allah dan substansi dari al-Qur’an itu sendiri masih bersifat global sehingga belum adanya terlihat spesifikasi yang lebih jelas. Jika kita memaknai Al-Qur’an apa adanya niscaya kita akan mengalami kesulitan dalam memahaminya seperti dalam Surah Al baqarah: 184 وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين ... apabila diartikan apa adanya maka akan berarti “Dan bagi orang-orang yang mampu melakukan puasa wajib membayar Fidyah…” Oleh karena itu para ulama menyepakati perlu adanya suatu kaedah dalam menafsirkan al-Qur’an agar kita dengan mudah memaknai serta memahami substansi dan kandungan-kandungan ayat dari kalam Allah tersebut.
Adapun keharusan seseorang dapat menafsirkan al-Qur’an antara lain adalah harus mampu menguasai ilmu alat yaitu tentang bahasa arab misalnya nahwu, sorof, asbabun Nuzul secara menyeluruh, mantiq dan balagoh yakni tentang sastra arab, majas-majas dan harus mengetahui nasikh-mansukh yaitu hubungan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an. Jika syarat-syarat tersebut telah di penuhi niscaya akan dengan mudah mengetahui makna-makna yang belum di spesifikasikan sebelumnya dalam al-Qur’an.
TAFSIR DAN MUFASSIR
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi dari disiplin Ilmu yang lain, baik itu berupa teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”. Sebagaimana disebutkan dalam Alqur an:
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.
Selain itu, kata tafsir juga dapat diartikan (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[4]
Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi yang saling melengkapi antara satu definisi dengan lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân sebagaimana dikutip Ar-Rumy mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه
“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”[5]
Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد.
“Ilmu yang membahas maksud Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[6]
Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany, yaitu :
علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”
Kemudian Az-Zarqanymenjelaskan sebagai berikut:
Maksud kata ilmu adalah pengetahuan yang terkonsep. Abdul Hakim menjelaskan secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir termasuk konsepsi (tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep makna lafal-lafal Al-Quran. Ilmu tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi kebanyakan termasuk pengetahuan secara lafal. Ada juga Ulama yang berpendapat bahwa tafsir termasuk legalisasi (tashdîqât) karena mencakup hukum atas lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna terkait yang disebutkan dalam tafsir.”
Dengan perkataan lain, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran. Sehingga dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal Al-Quran dari segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya ilmu qira’ah yang membahas keadaan Al-Quran dari segi pengaturan lafal dan cara membacanya. Demikian juga ilmu mengenai tulisan /rasm ‘Uthmany yang membahas keadaan Al-Quran dari segi cara menuliskan lafal-lafalnya.Tidak termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi apakah ia makhluk atau bukan makhluk karena hal ini termasuk pembahasan dari ilmu kalam. Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi diharamkan untuk membacanya bagi orang yang junub dan yang semisal karena ini termasuk pembahasan dari ilmu fikih.
Perkataan “berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”, adalah untuk menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu tentang tafsir ketidaktahuan terhadap makna mutasyabihat dan ketidaktahuan terhadap maksud Allah dalam sebuah peristiwa atau perkara.[7]
Demikianlah beberapa definisi tafsir yang dikemukakan para ulama. Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang:
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya terhadap manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.” [8]
SYARAT-SYARAT MUFASSIR
Dari penjelasan mengenai definisi tafsir di atas, kita mengetahui bahwa menafsirkan Al-Quran merupakan perbuatan dan amanah yang berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Sebagaicontoh : dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
Dan syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.[9] Dalam makalah ini hanya akan dibahas syarat-syarat yang pertama yaitu :
Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
Kemudian Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan tersebut yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat yang berkaitan dengan metode. Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[10]
Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Arab karena dengan Bahasa Arab seorang mufassir dapat mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek yang dibahs.
Bahkan karena urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Imam Mujahid mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغة العرب.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
3. Sharraf karena dengannya binâ’ dan shîghah suatu kata dapat diketahui dan difahami.
4. Isytiqâq karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.
5. Al-Ma‘âni karena dengan ilmu tersebut seseorang dapat mengetahui kekhususan tarkîb suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6. Al-Bayân karena dengan ilmu tersebut seseorag dapat mengetahui kekhususan tarkîb suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7. Al-Badî‘ karena dengan ilmu tersebut seseorag dapat mengetahui kekhususan tarkîb suatu kalimat dari segi keindahannya.
Ketiga ilmu di atas (Al-Ma‘âni Al-Bayân Al-Badî‘ ) dikenal dengan sebutan ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki pengetahuan terhadap keindahan bahasa Al-Quran.
8. Ilmu qirâ’ah karena dengan ilmu tersebut seseorag dapat mengetahui cara melafalkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9. Ushûluddîn yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah.
10. Ushul fikih karena dengan ilmu tersebut seseorag dapat mengetahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
11. Asbâbun Nuzûl –apabila pada ayat yang ada sebab diturunkanya- karena dengan ilmu tersebut seseorag dapat mengetahui dan memahami maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya secara pasti) dari ayat lainnya.
13. Fikih./Ushul Fiq
14. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15. Ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang Allah anugerahkan kepada seseorang terutama orang yang mengamalkan ilmunya sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”
Dalam hal ini Imam Ibn Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Sebagai contoh dari syarat yang pertama yaitu bahasa Arab dan seluruh aspeknya adalah karena Al-Qur’an pada dasarnya diturunkan sesuai aturan-aturan yang terdapat dalam bahasa Arab. Jika seseorang tidak memiliki pengetahuan tentang gambaran umum dari aturan-aturan bahasa Arab, maka niscaya ia tidak akan mampu menguasai makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Misalnya firman Allah:
لِلّـَذِيْـن يُـؤْ لُـوْنَ مِـنْ نَسَـآئِهـِمْ تَـرَبُّـصُ اَرْبَـعَةِ اَشْـهُرٍفَـاِنْ فَـاءُۤوْافَـاِنَّ اللَّـهَ غَفُـوْرٌرَّحِيْـمٌ سورة البقرة :٢٢٦
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqoroh : 226),lalu bagaimana seseorang akan dapat mentafsiri Ayat tersebut tanpa mengerti arti bahasa “ila’, tarabbus dan faa a”? Imam Malik berkata: “Seseorang yang tidak mengerti bahasa Arab yang datang kepadaku untuk menafsirkan Al-Qur’an, niscaya akan kuminta dia mencabut perkataannya”. Karena itu bila lafazh dan arti bahasa tidak selaras maka berarti tidak benar, hal ini banyak terjadi, sebagaimana penafsiran sebagian tentang firman Allah:
مَـرَجَ البَحْـرَيْـنِ يَلْتَقِـيَانِ yang dimaksud dengan keduanya (bahraani) ialah “Ali dan Fatimah”.
Serta sebagaimana penafsiran Fir’aun dengan Qalb (hati) dalam firman Allah:
اِذْهَـبْ اِلَىٰ فِـرْعَـوْنَ اِنَّـهُ طَـغٰى yang dimaksud dengan Fir’aun disini ialah hati manusia yang keras. Imam Al-Qurthuby mengatakan penafsiran semacam ini kadangkala dipergunakan oleh sekelompok ahli penasihat memang dalam tujuan yang benar serta dengan maksud memperindah ucapan dan menghibur para pendengar padahal sebenarnya dilarang karena memutar-balikkan bahasa yang ketentuannya tidak boleh. Dan inilah salah satu dari dua segi larangan dalam menafsirkan secara ro’yu.[11]
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqoroh : 226),lalu bagaimana seseorang akan dapat mentafsiri Ayat tersebut tanpa mengerti arti bahasa “ila’, tarabbus dan faa a”? Imam Malik berkata: “Seseorang yang tidak mengerti bahasa Arab yang datang kepadaku untuk menafsirkan Al-Qur’an, niscaya akan kuminta dia mencabut perkataannya”. Karena itu bila lafazh dan arti bahasa tidak selaras maka berarti tidak benar, hal ini banyak terjadi, sebagaimana penafsiran sebagian tentang firman Allah:
مَـرَجَ البَحْـرَيْـنِ يَلْتَقِـيَانِ yang dimaksud dengan keduanya (bahraani) ialah “Ali dan Fatimah”.
Serta sebagaimana penafsiran Fir’aun dengan Qalb (hati) dalam firman Allah:
اِذْهَـبْ اِلَىٰ فِـرْعَـوْنَ اِنَّـهُ طَـغٰى yang dimaksud dengan Fir’aun disini ialah hati manusia yang keras. Imam Al-Qurthuby mengatakan penafsiran semacam ini kadangkala dipergunakan oleh sekelompok ahli penasihat memang dalam tujuan yang benar serta dengan maksud memperindah ucapan dan menghibur para pendengar padahal sebenarnya dilarang karena memutar-balikkan bahasa yang ketentuannya tidak boleh. Dan inilah salah satu dari dua segi larangan dalam menafsirkan secara ro’yu.[11]
Demikianlah mengetahui dan memahami Ilmu nahwu menjadi sangat penting bagi seorang akan menafsiri Alqur an karena makna bisa berubah dan berbeda kadang sangat jauh lantaran hanya dengan perbedaan harakat. Sebagai contoh Firman Allah
اِنَّـمَايَخْشَـىى اللهَ مِـنْ عِبَـادِهِ اْلعُلَـمَاء Dengan harakat nasab (bunyi “a”) pada “ha” lafazh Allah dan merafa’kan (bunyi “u”) pada lafazh ulama adalah benar, karena pengertian ayat tersebut adalah: “Hamba-hamba Allah yang takut pada-Nya ialah ulama bukan yang lain”, seseorang yang tambah pengetahuannya tentang Allah niscaya akan bertambah sifat kekhawatiran dan takut kepada-Nya. Andaikata dibalik, dalam arti “ha” jalalah didhamahkan dan “hamzah” pada ulama dinasabkan maka akan rusaklah pengertiannya.
اِنَّـمَايَخْشَـىى اللهَ مِـنْ عِبَـادِهِ اْلعُلَـمَاء Dengan harakat nasab (bunyi “a”) pada “ha” lafazh Allah dan merafa’kan (bunyi “u”) pada lafazh ulama adalah benar, karena pengertian ayat tersebut adalah: “Hamba-hamba Allah yang takut pada-Nya ialah ulama bukan yang lain”, seseorang yang tambah pengetahuannya tentang Allah niscaya akan bertambah sifat kekhawatiran dan takut kepada-Nya. Andaikata dibalik, dalam arti “ha” jalalah didhamahkan dan “hamzah” pada ulama dinasabkan maka akan rusaklah pengertiannya.
Demikian hanlnya dengan Pengetahuan tentang ilmu sharaf dan etimologi adalah menjadi sangat penting juga bagi seorang mufassir sehingga tidak ngawur dalam penafsiranya. Begitu pula Ilmu Ma’any, bayan dan badi’ adalah sangat diperlukan bagi orang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an karena ia harus menjaga bentuk kemu’jizatan yang memang dimiliki Alqur an. Contohnya : firman Allah
وَاُشْـرِبُـوْافِى قُلُـوْبِهِـمُ اْلعِجْـل Maksudnya اُشْـرِبُـوْا حُـبَّ اْلعِجْـل dengan membuang “mudhaf”.
وَاُشْـرِبُـوْافِى قُلُـوْبِهِـمُ اْلعِجْـل Maksudnya اُشْـرِبُـوْا حُـبَّ اْلعِجْـل dengan membuang “mudhaf”.
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa contoh tentang Isti’arah, kinayah (sindiran) dan majaz, tidak boleh tidak dalam memahaminya harus mengetahui ilmu bayan dan badi’. Misalnya firman Allah tentang perahu Nabi Nuh :
تَجْـرِىْ بِـاَعْيُنِنَـا” maksudnya “بِحْفِظِـنَاوَرِعَـايَتِنَـا (dengan pemeliharaan dan penjagaan kami
Pembahasan di atas mengantarkan kita pada sebuah pertanyaan: apakah dampak bila salah satu ilmu di atas tidak terpenuhi pada diri penafsir? Tentu saja bisa berdampak sangat fatal sehingga menurunkan kualitas tafsirnya. Kita ambil contoh urgensi dari sebagian ilmu-ilmu tersebut, yaitu penguasaan terhadap asbāb al-nuzūl (sebab-sebab turunnya ayat) dan nāsikh mansūkh. Contoh pertama bagi urgensi asbāb al-nuzūl, ‘Uthmān ibn Madh’ūn dan ‘Amru ibn Ma’diyakrib berpendapat bahwa meminum khamr hukumnya boleh dengan dalih ayat 93 surat al-Ma`idah
ليس على الذين امنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا اذا ما اتقوا وامنوا وعملوا الصالحات Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, niscaya mereka tidak akan berpendapat begitu, karena ayat tersebut turun pada saat khamr diharamkan orang-orang bertanya-tanya, “Bagaimana dengan mereka yang berperang di jalan Allah dan meninggal, sementara mereka meminum khamr yang mana ia merupakan perbuatan keji” Lalu turunlah ayat tersebut.
Contoh kedua, problem penerjemahan dan penafsiran ayat 26 surat al-Nur. الخبيثات للخبيثين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات ....Terjemahan al-Quran edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh CV. al-Shifa` Semarang dengan judul al-Quran dan Terjemahnya kurang tepat dalam menerjemahkan ayat tersebut dengan dua alasan sehingga sangat berpeluang salah dalam menafsirkan dan memahaminya. Ayat ini turun pada saat kejadian al-Ifk atas orang-orang munafik yang menfitnah istri-istri Rasulullah Saw. Ayat tersebut berkata kepada mereka, “Perbuatan-perbuatan tercela milik orang-orang tercela dan perbuatan-perbuatan baik milik orang-orang baik.” Kedua, ayat-ayat sebelum ayat ini mencela orang-orang munafik yang berkata-kata keji dan memfitnah ‘Ᾱ`isyah, maka turunlah ayat ini sebagai informasi pamungkas tentang orang-orang munafik tersebut yang berkata-kata keji. [12]
Kemudian pada konsep nāsikh dan mansūkh, kita bisa mengambil contoh hukum rajam yang tidak termaktub di satu ayat pun dalam al-Quran. Orang yang hanya berpatokan pada ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Quran terutama pada ayat 2 surat al-Nur tidak akan mendapatkan hukum rajam bagi laki-laki atau wanita yangmelakukan zina muḥṣhan. Padahal hukum rajam ada dalam Islam tetapi ayat tentang itu telah dimansukh secara bacaan dalam deretan ayat al-Quran tetapi hukumnya tetap berlaku, sebagaimana sebuah riwayat Imam Bukhary
في صحيحه6/2503 حديث 6441 حدثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان عن الزهري عن عبيد الله عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال عمر – رضي الله عنه - لقد خشيت أن يطول بالناس زمان حتى يقول قائل لا نجد الرجم في كتاب الله فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله ألا وإن الرجم حق على من زنى وقد أحصن إذا قامت البينة أو كان الحبل أو الاعتراف قال سفيان كذا حفظت ألا وقد رجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده،
Fakta ini menunjukkan pentingnya seorang penafsir menguasai ilmu-ilmu di atas guna menghasilkan penafsiran yang benar. Menurut Imam Ibnu Jarir al-Ṭabarī, ciri-ciri para penafsir, yang paling mendekati kebenaran dan paling bagus tafsirnya adalah: mereka yang paling jelas argumentasi atas penafsiranya dan paling benar penalarannya terhadap ilmu yang diutarakannya dari segi arti kalimat dengan cara mencocokkannya dengan syi’ir, amthāl, dan bahasa Arab, dan pendapat ulama salaf seperti sahabat, tabi’in, dan para ulama. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwasanya penafsiran seseorang sangat bergantung pada kualitas ilmu, kecondongan, dan keyakinannya. Inilah alasan mengapa penafsiran itu bersifat relatif dan tidak kebal kritik. Dengan kata lain, ketika penalaran manusia yang relatif dicurahkan pada al-Quran yang bersifat absolut, maka hasilnya relatif karena adanya pengaruh unsur-unsur manusiawi di dalamnya. Tidak seorang pun berhak mengklaim penafsirannya adalah kata-kata Allah, karena ia lebih pada hasil olah otaknya yang serba terbatas.[13]
Itulah beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan menafsiri Alqur an(secara mandiri). Sebagaimana seorang mufassir kontemporer,[14], ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia saat ini agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer.
3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir juga harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”[15] Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Dan Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’yu sebatas yang diperbolehkan, tentu saja setelah ia mengetahui serta memenuhi syaarat-syarat di atas.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Demikianlah penjelasan mengenai syarat-syarat mufassir Al-Quran yang sangat ketat. Dari uraian di atas, sampailah kita pada satu kesimpulan bahwa tafsir Al-Quran adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Oleh karena itu, di dalam tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subjektif atau yang berdasarkan hanya pada ide-ide relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.
Dengan begitu, batallah tudingan miring orang-orang yang menyatakan bahwa metode tafsir “klasik” Al-Quran tidak perlu digunakan lagi karena metode tafsir tradisional sangat “ahistoris” (mengabaikan konteks sejarah) dan “uncritical” (tidak kritis) sehingga kita perlu mencari alternatif ilmu tafsir pengganti yang cocok untuk saat ini, yaitu hermeneutika. Jika ingin dibandingkan antara metode tafsir yang telah dikembangkan oleh para ulama kita selama berabad-abad dengan hermeneutika yang diadopsi dari metode kaum orientalis, maka jelaslah sangat tidak sebanding. Metode tafsir Al-Quran para mufassirun dari kalangan ulama kita jauh lebih unggul daripada hermeneutika. Para mufassirun kita telah menghasilkan berjilid-jilid kitab dalam bidang tafsir Al-Quran, sementara itu ada berapa jilid kitab yang telah dihasilkan oleh para pemuja hermeneutika tersebut?
Menafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya, sebagaimana Hadith Nabi di awal makalah ini. Semua syarat yang telah dikemukakan merupakan hal-hal yang harus diperhatikan seorang mufassir sebelum menafsirkan Al-Quran dengan. Dengan demikian para Ulama Islam yang mendefinisikan tafsir sebagai usaha menggali al-Quran dengan kadar kemampuan manusia menemukan relevansinya, karena sebesar apapun kadar kemampuan yang dicurahkan tetap saja tidak bisa memastikan apakah penafsiran mereka sesuai dengan kehendak Allah atau tidak. Dri sini juga terlihat pentingnya sikap saling menghargai perbedaan penafsiran antarkelompok Islam, karena perbedaan adalah sunnatullāh yang tidak seorang pun bisa menafikannya. perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas intelektual serta lingkungan dimana seseorang hidup dan dibesarkan.
Orang yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat mufassir diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini; bukan malah berani membuat model tafsir baru alias bid‘ah sehingga menimbulkan kerancuan (syubhât) dalam memahami Islam. والعلم عند الله وهو الهادي الى سواء السبيل
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunnah.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1.
Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Al-Quran dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal. 101.
Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts.
Arif, Syamsuddin. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005.
Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis.
Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah.
As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby.
Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.
Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBooks.
Ya‘qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah.
Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Áyi al-Qur`ān (Damaskus: Dār al-Qalam, 1997), 1/45-46.
Muḥammad ibn ‘Alwī al-Mālikī al-Ḥasanī, Zubdah al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān (Dār al-Fikr, 1986), 172.
Ash Shabuny,Muhammad Aly. 1984. Pengantar Study Al-Qur’an. Bandung: PT Al-Ma’arif
[1] Arif, Syamsuddin. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal.10. Dinukil dari artikel yang ditulis oleh Mingana dalam Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77.
[2] Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam. Hal. Xiii.
[3] Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBooks. Hal. 14.
[4] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif. Hal. 5
[5] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I hal. 13.
[6] Adz-Dzahabi. Op.cit. hal. 6
[7] Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân.. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby. Hal. 6
[8] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[9] Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu
[10] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah:
[12] Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Áyi al-Qur`ān (Damaskus: Dār al-Qalam, 1997), 1/45-46. Dengan sedikit penambahan.))
[13] Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Áyi al-Qur`ān (Damaskus: Dār al-Qalam, 1997), 1/45-46. Dengan sedikit penambahan
[15] . Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân. Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar