Oleh : Abu Izzat
“Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”
(QS 91:8); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus): ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS 76:3).
Mengetahui isi al Qur'an dan al
Sunnah, adalah hal yang mutlak untuk dapat memahami Islam dan ajarannya.
Demikian sangat wajar, karena keduanya adalah referensi utama yang dinilai
mengakumulasi nilai-nilai dasar ajaran Islam. Maksud dari Sunnah sebagai
referensi, yaitu Sunnah digunakan sebagai penjelasan aplikatif dan teoritis
terhadap al Qur'an. Sebagai penjelas al Qur'an, berarti kandungan Sunnah
memiliki fungsi sebagai penafsir awal terhadap al Qur'an. Dalam wacana kajian
Islam, maksud dari al Qur'an sebagai refensi Islam dijelaskan bahwa di dalamnya
mengandung prinsip-prinsip ajaran universal yang dijadikan rujukan dalam
memecahkan segala aspek permasalahan kehidupan, termasuk pendidikan. Dari
perspektif pendidikan Islam, tafsir digunakan sebagai alat untuk mengeksplor ajaran-ajaran
Islam dalam kaitannya untuk mengembangkan dan mencapai sasaran (tujuan)
pendidikan. Melalui cara berpikir ini, maka muncul apa yang dinamakan tafsir
tarbawi (tafsir bercorak tarbiyyah), yaitu tafsir yang menekankan (tendensi)
kepada tema-tema dan untuk keperluan tarbiyyah (pendidikan Islam). Dari segi fungsinya, tafsir tarbiyyah
memiliki kecenderungan yang sama dengan tafsir-tafsir dengan corak lainnya yang
beraneka ragam, yakni sama-sama memiliki corcern pada pembahasan dan tujuan
pada aspek permasalahan tertentu.
Secara etimologi, tafsir
bermakna menjelaskan (al idhâh) dan menerangkan (al tabyîn). Tafsir yang terambil dari akar kata al fasru jug
dapat diartikan sebagai menerangkan (al ibânah) atau menyingkap (al kasyfu).
Menurut pakar tafsir al Zahâbi, istilah tafsir dari segi etimologi digunakan
dalam dua arti. Pertama, menyingkap suatu hal yang berkaitan dengan indra (al
kasyfu al hissiy). Kedua, menyingkap suatu hal yang berkenaan dengan
simbol-simbol rasional (al kasyfu 'an al ma'ani al ma'qulat). Menurut ulama
ini, penggunaan kata tafsir pada arti yang kedua ini lebih umum dari yang
pertama.
Sebagian ulama berpendapat
bahwa tafsir sebagai ilmu tidak memiliki batasan definisi tertentu karena tidak
memiliki kaidah-kaidah khusus yang berlaku seperti yang diterapkan pada
ilmu-ilmu rasional yang lain. Menurut pendukung pendapat ini, tafsir cukup
diartikan sebagai penjelasan terhadap kalam Allah atau yang menjelaskan
terhadap redaksi al Qur'an beserta pemahamannya. Menurut sebagian ulama lain, tafsir
merupakan suatu disiplin ilmu tertentu yang didukung oleh displin-disiplin ilmu
lain dalam satu paket yang berfungsi untuk memahami al Qur'an seperti, ilmu
linguistik (lughat), peralihan kata (sharf), gramatika (nahw), bacaan al Qur'an
(Qira'at) dan sebagainya.
Pakar tafsir klasik Ibn Hayyan
dalam Bahr al Muhith menjelaskan definisi tafsir secara istilah sebagai ilmu
yang membahas teknik pengucapan redaksi al Qur'an beserta petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik secara redaksi personal maupun rangkaian, makna-makna yang
terkandung di dalamnya ketika dirangkai dan penyempurnaan kepada makna
tersebut. al Suyuthi dalam Itqan, mengutip pendapat al Zakarsy menjelaskan
definisi tafsir sebagai " ilmu untuk memahami kitab Allah ta'ala yang
diturunkan kepada Nabi-nya, menjelaskan makna-maknanya, menjabarkan
hukum-hukumnya, dengan menggunakan bantuan ilmu linguistik (lughat), gramatika
(nahw), peralihan kata (sharf), ilmu bayan, usul fiqh, Qira'at, serta bantuan
ilmu asbab al nuzul dan nasikh mansukh. Sebagian pakar lain lebih memilih untuk
mendefinisikan tafsir dari sudut pandang kemampuan sebagai " ilmu yang
membahas tentang keadaan-keadaan al Qur'an beserta penjelasannya sesuai dengan
kehendak Allah Ta'ala sesuai dengan kemampuan obyektif manusia.
Tafsir bagi sebagian ulama
tidak berbeda dengan ta'wil, kedua istilah ini bagi umumnya dipahami oleh para
ulama tafsir klasik dengan arti yang sinonim. Sebagian ulama yang lain seperti
al Asfihani, membedakan arti tafsir dan ta'wil. Tafsir bagi al Asfihani lebih luas
artinya dibanding ta'wil. Jika istilah tafsir lebih banyak digunakan secara
teknis pada redaksi al Qur'an, maka ta'wil lebih berfokus kepada makna-makna
dari al Qur'an. Menurut al Tsa'labi, perbedaan antara tafsir dan ta'wil adalah
sisi tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an. Kata ulama ini, jika tafsir
lebih menekankan aspek tekstual dari pada struktur redaksi al Qur'an baik
secara hakekat maupun majazi, maka ta'wil lebih menekankan aspek konstekstual
redaksi al Qur'an (bathin al lafzi).
Dari keterangan ulama mengenai
tafsir di atas, maka dapat ditarik beberapa point mengenai tafsir.
Pertama, tafsir merupakan usaha
untuk memahami firman Allah SWT dalam al Qur'an sesuai dengan kemampuan
subyektif penafsir.
Kedua, usaha memahami firman Allah tersebut
melibatkan arti tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an.
Ketiga, dalam usaha menafsirkan
al Qur'an mempergunakan disiplin keilmuan lain yang relevan.
Keempat, usaha menafsirkan al
Qur'an tersebut berangkat dari kebutuhan akan petunjuk-petunjuk ilahi dalam
menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan.
Sedangkan definisi etimologis
tarbiyyah, bagi al Hazimy menunjuk kepada arti-arti berikut ini. pertama,
perbaikan (al ishlah), menurut ulama ini arti ishlah tidak terkait dengan
kuantitas (al ziyâdah), melainkan kualitas (al ta'dil wa al tashhih). Jika
tarbiyyah dipahami dengan istilah ishlah, berarti tarbiyyah itu tidak berfokus
kepada penambahan ilmu, tetapi lebih kepada perbaikan potensi yang sudah ada.
Kedua, tumbuh (al namâ') dan bertambah (al ziyâdah). Jika tarbiyyah dipahami
dengan istilah tersebut, berarti tarbiyyah menyimpan unsur bertambah dan
tumbuh. Maksudnya melalui proses tarbiyyah akan bertambah ilmu dan tumbuh
kecakapan dan kemampuan dalam menghadapi masalah. Ketiga, tumbuh (al nasyâ'u)
dan berkembang (tara'ra'a). Maksudnya, dengan proses tarbiyyah akan tumbuh dan
berkembang sikap kedewasaan dan kematangan berpikir seseorang melalui ilmu yang
ia peroleh. Keempat, mengatur dan mengurusi keperluan (al siyasâh wa tawwaliy
al amr). Dalam tarbiyyah memang tersimpan unsur pengaturan dan pengurusan,
yakni mengatur kedisiplinan peserta didik dan mengurusi semua keperluannya yang
menjadi penunjang pembelajaran. Artinya pendidik dalam hal ini berstatus
sebagai pihak yang dipercaya untuk mengatur dan mengurusi peserta didik (al
qiyâm bi amri al mutarabby). Kelima, pengajaran (al ta'lîm). Dengan mengutip
pendapat Ibn al A'raby, al Hazimy menjelaskan bahwa kata al rabbany yang
terdapat dalam QS Ali 'Imran/3: 79 berarti orang yang berilmu yang bertindak
sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu-ilmu kecil kepada orang lain sebelum
mengajarkan ilmu-ilmu yang berat. al rabbany juga berarti orang yang mendalam
dalam ilmunya dan hanya mengharapkan Allah dengan ilmu yang dimilikinya.
Menurut al Hazimy, kelima arti bahasa tersebut merupakan unsur-unsur yang mesti
ada dalam sebuah proses tarbiyyah.
Dalam al Qur'an, kata tarbiyyah
digunakan untuk menunjuk kepada dua arti. Pertama, hikmat, ilmu dan pengajaran.
Arti ini ditemukan dalam QS Ali 'Imran/3: 79, Ibn 'Abbas seorang sahabat Nabi
yang terkenal piawai dalam menafsirkan al Qur'an mengartikan kata rabbany dalam
ayat ini sebagai hukama (ahli hikmah), 'ulama (cerdik pandai), dan hulama'
(orang bijak). Kedua, pemeliharaan, arti ini ditemukan dalam QS al Isra/17: 24
dan QS al Su'ara/31: 18. Kata rabb, dalam kedua ayat tersebut berarti
memelihara (al ri'âyah) atau merawat (al 'inâyah). Orang tua memelihara dan
merawat anak diwaktu kecil, Fir'aun juga memelihara dan memelihara Musa ketika
ia masih kecil. Menurut pakar tafsir al Baidhâwi dan al Asfihâni, kata rabb
dalam al Qur'an sejajar maknanya dengan tarbiyyah, yaitu mengantarkan sesuatu
(tablîg al syay') atau menumbuhkannya (insyâ'uhu) secara bertahap agar
mendekati garis kesempurnannya (hadd al tamâm). Dengan pengertian ini, maka
secara terminologis tarbiyyah berarti proses menumbuhkan manusia secara
bertahap dalam segenap aspek kehidupannya untuk tujuan kebahagiaan
dunia-akhirat menurut ajaran Islam.
Pendidikan dalam perspektif
tarbiyyah berbeda dengan pendidikan lainnya dari segi metodik dan tujuan. Dari
segi metodik tarbiyyah mengharuskan adanya kesesuian dengan manhaj Islam,
sedangkan dari segi tujuan nilai-nilai transendental harus terdapat dalam
tarbiyyah. Baik kesesuaian dengan manhaj Islam maupun tujuan transenden
pendidikan baru dapat diperoleh jika pendidik telah memahami pesan-pesan
pendidikan dalam al Qur'an sebagai
referensi tertinggi dalam Islam. Pemahaman terhadap pesan-pesan pendidikan al
Qur'an itulah yang dinamakan dengan tafsir tarbawi.
PERKEMBANGAN TAFSIR DAN CORAKNYA.
Pada masa Nabi, pemahaman
terhadap ayat-ayat al Qur'an seluruhnya berada dalam otoritas beliau.
Rasulullah dalam hal ini berperan sebagai penjelas pesan-pesan ayat yang
diturunkan kepada beliau. Setiap ditemukan ayat yang samar maknanya atau tidak
dipahami oleh para sahabat, mereka langsung mengkonfirmasikan ulang kepada
Rasulullah. Keadaan ini terus berlangsung hingga periode wafatnya beliau, yang
dengan demikian penafsiran al Qur'an pada masa ini lebih banyak
kecenderungannya kepada homogen (satu corak penafsiran).
Kalau pada masa hidup Nabi
semua pertanyaan tentang ayat yang sulit dipahami atau yang samar tuntas
dijawab beliau, maka tidak demikian pada masa setelah beliau wafat. Pada masa
ini, setiap ada ayat yang sulit dipahami atau samar maknanya mereka bertanya
kepada sahabat yang lain dan terkadang mereka menemukan penjelasan Nabi dari
mereka yang tidak diketahuinya. Jika mereka tidak mendapat penjelasan, maka
para sahabat berijtihad sesuai dengan kaidah bahasa al Qur'an yang merupakan
bahasa mereka. Karena penafsiran al Qur'an pada masa sahabat dilakukan dengan
ijtihad, maka cenderung lebih heterogen (plural) disebabkan oleh kecenderungan
yang berbeda antara satu sahabat dengan yang lain. Pada masa ini pula lahir
penafsir-penafsir ulung dari kalangan sahabat seperti 'Ali Ibn Abi Thalib, Ibn
'Abbas, 'Ubay Ibn Ka'ab dan 'Abdullah Ibn Mas'ud.
Corak penafsiran tafsir makin
terlihat pada masa sahabat, di mana wilayah Islam telah makin meluas dan banyak
orang-orang non arab ('ajam) yang masuk islam. Dengan meluasnya daerah
kekuasaan Islam, masalah-masalah yang membutuhkan jawaban al Qur'an pun makin
beragam. Karena itu maka muncul pada masa ini tokoh-tokoh penafsir baru dari
kalangan tabi'in yang antara satu dengan lain memiliki kecenderungan penafsiran
yang berbeda. Perbedaan penafsiran para sahabat pada masa mereka yang kemudian
diwariskan kepada murid-murid mereka dari kalangan tabi'in juga merupakan
faktor yang menyebabkan makin beragamnya corak penafsiran al Qur'an.
Pada masa perkembangan
selanjutnya, maka dikenal beragam corak penafsiran al Qur'an yang oleh para
ilmuwan tafsir dikelompokkan kepada tafsir tahlily, tafsir ijmaly, tafsir
muqaran dan tafsir maudhu'i. Kebanyakan dari kitab-kitab tafsir yang ditemukan
dewasa ini dengan uraian panjang hingga berjilid-jilid adalah tafsir dengan
corak tahliliy. Menurut Fahd al Rumi, - guru besar ilmu-ilmu al Qur'an
Universitas Riyadl – para penafsir penafsiran al Qur'an dengan metode tahlily berbeda dalam aspek
panjang dan singkatnya uraian penafsiran, ada yang uraiannya panjang lebar (al
ithnâb) hingga puluhan jilid, ada yang pertengahan (musâwah), dan ada yang
singkat (al ijâz) urainnya hanya satu jilid saja. Warna penafsirnnyapun
beraneka ragam sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan sipenafsir tersebut.
Jika penafsirnya merupakan pakar tasawuf maka uraian tafsirnya cenderung
bernuansa sufistik dan dikenal apa yang disebut tafsir shufi. Jika penafsirnya
ahli fikih maka isi uraian tafsirnya penuh dengan penjelasan hukum-hukum Islam
yang kemudian dikenal dengan tafsir fiqhy. Jika penafsirnya seorang filosof
maka uraian tafsirnya akan sangat kental dengan teori-teori filsafat, semantik
(logika) dan ilmu kalam, dan dikenal apa yang disebut tafisr falsafi. Begitu
seterusnya hingga dikenal beragam warna tafsir seperti tafsir 'ilmi yang
menekankan penjelasan saintifik, tafsir adaby yang menekankan penjelasan
fenomenal realistik kehidupan, tafsir da'awy yang menekankan penjelasan dakwah,
dan tafsir tarbawy yang menekankan pesan-pesan pendidikan al Qur'an. Aneka
ragam persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban al Qur'an juga merupakan
faktor dominan lahirnya warna-warna tafsir tersebut.
Walaupun dalam uraian tafsir
tahlily ditemukan penekanan pada aspek permasalahan tertentu, akan tetapi
keharusan untuk menjelaskan arti kata-perkata belum lagi banyaknya persoalan
yang terdapat dalam rangkaian ayat-ayat dalam mushaf, menjadikan pembahasan
terhadap satu permasalahan tertentu menjadi tidak tuntas. Karena satu persoalan
yang dibahas dalam satu surah tertentu
terkadang ditemukan pembahasan berikutnya dalam surah yang lain. Hal
demikian akan menjadi sulit jika menggunakan metode tafsir tahlily, maka solusi
yang ditempuh oleh para ilmuwan tafsir adalah melengkapinya dengan metode
penafsiran lain yang dikenal dengan metode tafsir maudhu'i.
Methode tafsir maudhu'i
merupakan cara penafsiran dengan orientasi tematik. Artinya sasaran (target)
yang ingin dicapai melalui penjelasan tafsir maudhu'i adalah tema yang sedang
dibahas. Berbeda dengan tafsir tahlily, tafsir maudhu'i hanya menguraikan arti
kata seperlunya yang terkait dengan tema yang difokuskan. Tafsir maudhu'i juga
mengabaikan keterangan-keterangan yang tidak relevan dengan tema yang sedang
dibahas. Metode ini terkadang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat dari
seluruh mushaf yang memiliki tema sama, dan terkadang dilakukan dengan
mengkotakkan satu surat dalam suatu bahasan atau tema tertentu. Tafsir tarbawi
seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun dengan metode
tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua teknisnya.
HUBUNGAN
TAFSIR DAN TARBIYYAH.
Tarbiyyah merupakan satu dari
sekian cabang tugas kekhalifahan manusia di muka bumi seperti diungkap dalam al
Qur'an. Pada awalnya, tarbiyyah dalam pengertian pengajaran ('allama) merupakan
proses transfering sifat-sifat Allah kepada hamba-Nya, Adam. Manusia
diunggulkan Allah atas mahluk-Nya yang lain karena pada adam terdapat proses
pengajaran sehingga ia diamanahkan untuk memakmurkan bumi ini. Melalui proses pengajaran,
potensi manusia dioptimalkan agar mengerti cara berinteraksi dengan kehidupan
dunia dan bersikap yang benar terhadapnya. Pengajaran Allah kepada manusia
dilakukan melalui dua cara, pertama secara langsung melalui wahyu yang
disampaikan kepada Nabi dan Rasul. Kedua, melalui fitrah yang ditanamkan pada
jiwa manusia untuk selalu berkeinginan menyampaikan dan mencari kebenaran.
Pengajaran yang pertama merupakan informasi yang dapat diakses manusia melalui
ajaran agama, sedangkan pengajaran yang kedua merupakan konfirmasi yang
diusahakan manusia melalui eksplorasi terhadap fenomena alam. Baik pengajaran
berupa informasi maupun konfirmasi, keduanya merupakan proses pencarian
kebenaran yang saling melengkapi untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam pendidikan Islam, sasaran
yang ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan pembinaan dari segenap aspek
potensial manusia agar mencapai kesempurnaan. Di sisi lain, manusia sebagai
mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial dari mulai aspek material
(jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa).
Untuk
itulah, maka Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an
disebutkan bertugas sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih),
menyucikan yang berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain
menanamkan pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika
maupun metafisika. Tujuan
pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga
transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan
manusia agar tercipta mahluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat,
atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka
pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat
mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan
manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan
hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu,
kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan
informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang
dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan
pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan pengetahuan akan
kitab suci (tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada aspek-aspek berikut.
Pertama, tafsir sebagai basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi
nilainya, dan terdasar kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum
pengetahuan keilmuan yang lain. Kedua, tafsir sebagai konfirmasi terhadap
kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan eksploratif. Artinya pengetahuan
keimanan (informatif) dalam pendidikan Islam dan pengetahuan ekploratif harus
saling menguatkan dan membenarkan. Ketiga, tafsir berfungsi sebagai pelengkap
dan penyempurna akan pengetahuan eksploratif yang belum tuntas. Artinya tafsir
harus dapat memberi penjelasan tentang fenomena-fenomena yang tidak dapat
dijelaskan oleh ilmu pengetahuan eksploratif. Keempat, tafsir berfungsi sebagai
pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan eksploratif. Artinya tafsir
dimaksudkan sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai pengetahuan ekspolaratif
agar tidak bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai transendent dan
etika/moral. Kelima, tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
pesan-pesan ketuhanan agar dapat ditangkap oleh manusia. Dengan kata lain,
tafsir merupakan sarana untuk memberikan kesan membumi (indegenous) terhadap
pesan-pesan Ilahi yang bersifat suci dan transenden.
ISTILAH
PENDIDIKAN DALAM AL QUR'AN.
Dalam bahasa al Qur'an, istilah
pendidikan diisyaratkan melalui kata rabb -tarbiyyah yang biasa diterjemahkan
dengan pendidikan dan 'allama -ta'lim yang diterjemahkan dengan pengajaran.
Kata rabb dan derivasinya disebut dalam al Qur'an sebanyak 169 kali dan
dikaitkan dengan pelbagai obyek. Pengkaitan kata rabb dengan 'alam ditemukan
dalam 30 tempat. Kata rabb dalam al Qur'an, juga dikaitkan dengan musa dan
harun, 'arsy, samawat, al ardl, masyriq wa maghrib, al falq, al nas, al bait, al
abb, dan dlamir mukhatab mudzakar .
Menurut pakar tafsir al
Asfihany, rabb yang memiliki asal kata tarbiyyah memiliki makna mengembangkan
sesuatu setahap demi setahap sehingga mencapai kesempurnaan . Kata rabb menurut
al Asfihany merupakan istilah pengganti subyek bagi Allah, dengan demikian rabb
tidak digunakan kecuali hanya dalam arti Allah yang menanggung kemaslahatan
makhluk . Menurut pakar bahasa Ibn Manzur, kata rabb memiliki beberapa arti
seperti raja (al mâlik), yang empunya (al sâhib), pemimpin (al sayyîd),
pengatur (al mudabbir), yang mengurus (al murabby), wali (al qayyîm), dan
pemberi (al mun'îm) . Adapun arti rabb dalam do'a ini " allahumma rabba
hâdzihi al da'wat al tammah..", memiliki arti penyempurna (al mutammim) .
Menurut Ibn Manzur, ada tiga karakter yang terkandung dalam kata rabb, yaitu
pemilik (al mâlik), majikan yang dita'ati (al sayyîd al mutha') dan pembenah
(al muslih). Dengan demikian, tidak disebut rabb (tuhan) kecuali yang mampu
menguasai, dita'ati dan melakukan pembenahan terhadap mahluk-Nya .
Dalam potongan hadits terdapat
kalimat " laka ni'mat tarubbuha", menurut Ibn Manzur kata rabb
tersebut tepat jika dimaknai sebagai " tahfazuhâ (menjaganya)" atau
" turâ'ihâ (memeliharanya)". Sedangkan kata rabbaya-tarbiyyatan
bermakna proses pengubahan orientasi kelemahan seseorang (tahwîl al tad'îf)
dengan metode terbaik dan membimbingnya sehingga yang bersangkutan mampu
meninggalkan sifat kekanak-kanakannya (tufûliatuhu) baik ia anak kandung atau
bukan .
Pakar tafsir al Biqa'i dalam
Nazm al Durar-nya ketika menjelaskan QS
Ali 'Imran/3: 79 menyebutkan bahwa kata rabbaniyun berarti orang-orang yang
berusaha mengikuti karakteristik Tuhan dalam hal kesempurnaan pengetahuan-Nya
dan ketepatan perbuatan-Nya . Seorang rabbany kata al Biqa'i juga merupakan
orang yang mantap dari segi keyakinan agamanya dan patuh dari segi ketaatannya
kepada aturan Allah . Penafsiran ini sejalan dengan hadits yang menyuruh untuk
meniru sifat-sifat Allah (takhallaqû bi akhlâq Allah). al Biqa'i juga
menjelaskan bahwa peniruan sifat-sifat Allah oleh orang beriman dilakukan dalam
rangka mendekatkan diri kepada sang pencipta. Hal demikian hanya dapat
dilakukan ketika orang mempelajari kitab Allah, memahaminya, mengamalkannya dan
mengajarkannya kepada orang lain .
Istilah
rabb al 'Alamin menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah Zuhayli bermakna pihak
yang memelihara dan merawat seluruh alam semesta setelah ia membuatnya menjadi
wujud . Menurut al Sya'rawi, istilah tersebut menunjuk kepada arti pemeliharaan
dengan kewelas asihan (rahmat) dan menjauhi sikap-sikap kekerasan (qaswah) .
Dengan karakteristik rububiyyah tersebut, Allah memberikan nikmat kepada
seluruh mahkluknya tanpa terkecuali, baik yang mukmin maupun yang kafir, yang
menyembah Allah maupun yang menyembah berhala. Kata al Sya'rawy, nikmat
tersebut pada hakekatnya tidak terkait dengan hak makhluk untuk memperolehnya,
melainkan lahir dari kewelasasihan Allah sebagai rabb .
Menurut
ahli tafsir kontemporer al maraghi, tarbiyyah Allah kepada manusia meliputi dua
hal.
Pertama, orientasi immanent
(tarbiyyah khalqiyyah), yang pertama ini meliputi perkembangan fisik manusia
hingga mampu berfungsi secara optimal dan perkembangan psikologis dan
intelektual manusia. Kedua, orientasi transenden (tarbiyyah dîniyyah
tahdzîbiyyah), tarbiyyah ini berwujud petunjuk agama yang di wahyukan-Nya
kepada para Rasul dengan tujuan menyempurnakan potensi akal dan kesucian jiwa
manusia . Sedangkan arti tarbiyyah Allah terhadap alam bermakna pemeliharaan
dan pengaturan-Nya yang berkesinambungan dari mulai diciptakan hingga akhir
riwayatnya melalui ilham yang menuju kepada kebaikan alam semesta .
Selain istilah rabb dan
derivasinya, isyarat pendidikan dalam al Qur'an juga diwakili oleh istilah
'a-la-ma dengan dobel huruf tengah (tad'if 'ain/'allama) dan bentukannya
ditemukan tidak kurang dari empat puluh tempat . Menurut al Asfihany, dalam
istilah ta'lim dari 'allama terkandung dua karakteristik khusus yang berkaitan
dengan kualitas dan kuantitas. Arti kualitas dalam ta'lim maksudnya pengajaran
memuat unsur proses pengulang-ulangan materi dengan maksud meneguhkan pemahaman
. Sedangkan arti kuantitas berarti pengajaran memuat unsur penambahan materi
yang dimaksudkan menambah pengetahuan . Sampai di sini, arti ini bersinggungan
dengan pengertian tarbiyyah yang juga bermakna tumbuh dan bertambah (al namâ wa
al ziyâdah) . Menurut al Asfihany, baik pengulangan maupun penambahan ditujukan
agar membentuk efek dalam diri peserta didik .
Ibn Manzur menambahkan bahwa
ta'lim berarti memberi petunjuk kepada kebaikan dan kebenaran (al ilhâm ila al
shawâb wa al khair), dalam kalimat ghulaymun mu'allam berarti anak kecil yang
diberi petunjuk kepada kebenaran dan kebaikan . Pengajaran Allah kepada Adam
akan nama-nama (ta'lim al asmâ'), menurut al Maraghi merupakan simbol dari
proses konkritisasi makna-makna rasional yang abstrak (al ibrâz al ma'âni al
ma'qûlât) menjadi julukan benda-benda sensatif (al suar al mahsusât) yang dapat
dipahami . Sedangkan arti Allah mengajarkan manusia dengan qalam (QS al
'Alaq/96: 4) menurut maha guru tafsir al Razi berarti Allah memberi pelbagai
ilmu dengan perantaraan lisan (al qalam: lisan). Demikian kata al Razi, karena
qalam (pena) adalah pengganti dari lisan ketika ia tidak bisa digunakan karena
alasan tertentu, tapi tidak sebaliknya . Mengikuti tafsiran ini, berarti
pengajaran itu dimulai dengan lisan dan bukan tulisan. Pendapat ini, lanjut al
Razi, diperkuat oleh ayat berikutnya yang menyebutkan bahwa Allah mengajar
manusia apa-apa yang belum dimengerti . Ketika manusia lahir ia belum mengerti
apa-apa, lantas Allah mengajarkan manusia pelbagai pengetahuan dengan
perantaraan pendengaran (al sam'), lisan (al afidah), dan penglihatan (al
abshâr) . Dalam al Qur'an, pengajaran dengan qalam diperkuat dengan pengetahuan
wahyu yang telah lebih dahulu diajarkan kepada Rasul-Nya baik yang berupa hukum
Tuhan (syari'at), hingga kepada pengetahuan yang belum terpikirkan oleh nalar
manusia seperti pengetahuan tentang kondisi dan karakter umat manusia,
perpolitikan negara hingga persoalan eskatologi . Dalam perspektif sirah nabi,
memang pengetahuan demikian ini diperoleh orang Arab bersamaan dengan
penyampaian risalah Islam sebelumnya belum mereka kenal .
Berpijak atas
penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik beberapa keterangan berikut.
Pertama, pendidikan merupakan profesi yang sangat mulia, demikian karena ia
adalah usaha manusia dalam meniru watak Allah sebagai pendidik alam semesta
(rabb al 'Alamin). Kedua, sebagai usaha meniru watak Allah, orientasi
pendidikan pada dasarnya berpijak pada dua hal, yakni memelihara (al hifz) dan
menjaga (al ra'y). ketiga, dari kedua orientasi tersebut maka lahir banyak
bidang pekerjaan yang menjadi corncern seorang yang disebut pendidik. Dari
mulai, memimpin, mangatur, mengurus, mewakili, memberi, menyempurnakan, hingga melakukan
pembenahan-pembenahan. Keempat, untuk melaksanakan pelbagai profesi tersebut,
seorang yang disebut pendidik akan diberi sejumlah hak dan kewajiban. Hak
pendidik di antaranya berhak untuk dipatuhi, berhak memberikan perintah, dan
berhak untuk mendapatkan penghormatan. Sedangkan kewajiban pendidik adalah
menjalankan profesinya dengan metode rahmat dan sebisa mungkin menjuhi
kekerasan (qaswah). Di samping memberi pengetahuan, pendidik juga diwajibkan
untuk belajar dan mengisi jiwanya dengan pengetahuan,
selain juga diwajibkan untuk mengamalkan dari
pengetahuan yang dimiliki agar menjadi teladan bagi murid didiknya. Kelima,
materi pendidikan menurut al Qur'an adalah segenap aspek yang terkait dengan
potensi manusia, baik yang immanent maupun transenden. Keenam, proses
transfering ilmu (manajemen pengajaran) menurut al Qur'an harus dilakukan
dengan metode yang mudah dicerna dan tidak menyulitkan peserta didik. Dari segi
sasaran, pencapaian pendidikan menurut al Qur'an ditekankan baik dari segi
kualitas dan kuantitas. Proses pengajaran juga harus diutamakan dengan
komunikasi aktif (lisan) sebelum komunikasi pasif (kitabah).
URGENSI PENDIDIKAN MENURUT AL QUR'AN.
Dalam penjelasan al Qur'an
pendidikan primordial manusia terjadi ketika manusia masih menempati surga.
Sekenarionya, ketika Allah berkeinginan untuk menjadikan pemimpin di bumi, Ia
mengajarkan manusia kemampuan intelektual untuk dapat memahami karakteristik
dan sifat-sifat benda. Menurut al Razi kemampuan ini dalam al Qur'an disebut dengan al Asma' .
Melalui kemampuan ini, kemudian manusia diunggulkan atas seluruh mahluk Allah
sehingga diberi kepercayaan untuk mewakili-Nya di muka bumi . Dengan demikian,
pendidikan promordial itu sangat erat kaitannya dengan tugas berat manusia
sebagai pemimpin di bumi. Maka dapat dipahami persoalan pelimpahan tugas
tersebut kepada manusia, bukan kepada malaikat yang menurut al Qur'an
senantiasa bertasbih dan mensucikan Allah. Padahal di sisi lain manusia
memiliki banyak sekali kelemahan, di antaranya ia senang berbuat onar di bumi,
mahluk yang suka bertikai hingga tega menumpahkan darah, aniaya dan zalim .
Untuk
menempati posisi pemimpin, tidak dibutuhkan orang saleh seperti malaikat yang
terus menerus mensucikan dan bertasbih kepada Allah. lebih dari itu, dalam
teori kepemimpinan, dibutuhkan orang yang kuat . Imam Ahmad pernah ditanya
mengenai dua orang yang akan diangkat menjadi pemimpin dalam perang, yang satu
kuat namun suka bermaksiat, sedangkan yang satu saleh tapi lemah. Kata Imam Ahmad
yang patut jadi pemimpin adalah orang yang kuat dan bermaksiat. Alasannya
kekuatannya itu berguna bagi orang, sedangkan maksiatnya akan merugikan dirinya
sendiri. Berbeda dengan orang saleh yang lemah, karena kesalehannya hanya untuk
diri sendiri, sebaliknya kelemahannya itu malah menjadi beban bagi orang lain .
Kekuatan yang dijadikan
pertimbangan dalam konteks kepemimpinan manusia di bumi adalah kemampuan
intelektual yang diajarkan Allah semenjak primordialnya. Sedangkan
kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia itu justru menjadi faktor dalam
mengukur keberhasilan manusia dalam memimpin bumi ini. Artinya, kekuatan
intelektual manusia itulah yang menjadikan ia berbeda dari seluruh mahkluk
Allah . Menurut al Maraghi, manusia dengan segenap kekuatan intelektualitas dan
kemaksiatannya memiliki potensi untuk mengubah fisik dunia, baik ke arah yang
positif maupun yang negatif .
Atas dasar pandangan tersebut,
maka diperoleh pemahaman bahwa ada keterkaitan erat antara pendidikan dengan
konteks kepemimpinan. Semakin luas konteks kepemimpinan tersebut, maka semakin
erat pula hubungan antara keduanya. Adam sebagai simbol manusia primordial,
memiliki tanggung jawab yang luas atas kepemimpinan dunia. Karenanya, oleh
Allah diberikan pengajaran yang komprehensif atas pengenalan hukum-hukum alam
seperti dalam firman-Nya " wa 'allama Adama al asma kullaha.." (QS al
Baqarah/2: 31). Dalam al Qur'an, Daud juga disebut sebagai yang memiliki
tanggung jawab serupa. Seperti halnya Adam, Daud juga diberi pengajaran sebagai
pemimpin . Namun demikian, karena konteks kepemimpinannya terbatas pada Bani
Israil di Palestina, maka pengajarannya terbatas hanya pada ilham untuk membuat
baju besi yang dianggap sangat bermanfaat saat itu . Inilah makna firman Allah
وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ
"….dan
Allah memberinya kepemimpinan dan kenabian, dan mengajarkannya apa yang ia
kehendaki (mengilhamkan membuat baju besi)…" QS al Baqarah/2: 251.
Para Rasul sebagai agen yang
menyampaikan wahyu Allah, menurut syeikh 'Ali Mahfuz, pada dasarnya bahkan
memiliki dua wilayah kepemimpinan. Pertama, para Rasul adalah pemimpin dari
segi keilmuan, kedua, pemimpin dari segi politik . Baik kepemimpinan keilmuan
maupun politik, bagi 'Ali Mahfuz, dimaksudkan untuk mensokong risalah Allah
kepada manusia. Untuk tugas kepemimpinan tersebut, para Rasul juga diberi
pengajaran. Pengajaran Allah kepada para Rasul menurut al Qur'an yaitu dengan
al kitab dan al hikmah .
Stratafikasi kepemimpinan
manusia, dengan demikian menjadi penentu bagi tingkat kebutuhan seseorang
kepada pendidikan. Dalam hadits nabi, disebut bahwa tanggung jawab seseorang
itu memiliki keterkaitan dengan konteks sosial kepemimpinan. Sabda Rasul
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ
سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"…setiap
kamu adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang
dipimpinnya. Pemimpin Negara bertanggung jawab atas rakyatnya. Suami
bertanggung jawab atas keluarganya. Istri bertanggung jawab dalam persoalan
rumah tangga. Karyawan bertanggung jawab atas harta pengusahanya…" HR.
Bukhari .
Pakar pendidikan Islam Khalid
al Hazimy ketika menganalisa hadits tersebut menjelaskan. Bahwa dalam hadits
tersebut terimplisit pesan pentingnya pendidikan dalam tiga apek, yakni
individu (fardiyyah), keluarga (usrah), dan sosial (mujtama') . Lebih jauh al
Hazimy menjelaskan point penting pendidikan dalam aspek individu seperti
membangun ketaatan individu kepada Allah, memunculkan ketentaraman jiwa
individu (amn nafsy li al fard), hingga kecintaan individu untuk bersosialisasi
(hubb al mujtama') .
Menurut al Hazimy, keterangan
al Qur'an mengenai tujuan penciptaan manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah
(QS al Zariyat/ : 56), berimplikasi kepada keharusan pendidikan. Hanya dengan
pendidikan, kata al Hazimy, orang bisa mengerti pelbagai ilmu untuk
mengenal-Nya dan cara untuk mentaati-Nya . Pendidikan juga diperlukan untuk
melahirkan ketenangan dalam jiwa manusia. Dengan pendidikan, kegelisahan jiwa
manusia yang terpendam akan terjawab. Ini membuatnya akan lebih konsisten untuk
menerima dan menjalani hidup. Al Hazimy dengan mengutip QS al Baqarah/2: 261
memberikan contoh, bahwa banyak perbedaan antara kenyataan yang terlihat dengan
hakekat yang sebenarnya . Inilah salah satu perlunya pendidikan, yang
pangkalnya merupakan pendidikan Rasul terhadap umat manusia. Sebagai individu,
manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, karena itu ia
terdorong untuk menjalin hubungan sosial. Di sisi lain, hubungan sosial antara
individu mengharuskan seseorang untuk bergaul dengan budi pekerti yang luhur,
toleran dan saling memahami satu sama lain. Keadaan tersebut tidak akan tercipta
tanpa melalui proses pendidikan .
Seperti halnya pentingnya
pendidikan bagi individu, pendidikan juga memiliki pengaruh dalam kehidupan
keluarga. Al Hazimy, dengan mengutip QS al Tahrim/ : 6, menjelaskan bahwa
perintah agama untuk membina keluarga hanya dapat dilakukan dengan pendidikan .
Pakar tafsir Ibn Katsir dengan mengutip imam 'Ali menjelaskan bahwa arti dari
firman Allah " wa ahlîkum nâran…" dalam ayat tersebut berarti
didiklah mereka (addibûhum) dan ajarkan mereka ('allimûhum) . Pendidikan terhadap
keluarga, lanjut al Hazimy, merupakan implementasi dari keyakinan seorang
muslim terhadap agamanya yang menuntut tanggung jawab terhadap hak-hak keluarga
. Dari segi prefentif, pendidikan dalam kehidupan keluarga juga diperlukan
dalam rangka menandingi masuknya informasi yang dapat merusak keyakinan Islam .
Sedangkan dari segi hubungan antara anak dan orang tua, pendidikan kepada
keluarga juga dapat melahirkan sikap dan perilaku anak yang membanggakan orang
tua .
Dalam skala yang lebih luas,
pendidikan juga memiliki peran penting dalam tingkat sosial kemasyarakatan.
Menurut al Hazimy, pendidikan dalam tingkat ini memiliki peran penting dari
tiga segi yang saling terkait. Tiga hal yang dimaksud adalah ketentraman sosial yang akan melahirkan integritas sosial ,
dengan integritas sosial maka akan lahir pertumbuhan sosial dan ekonomi yang
signifikan .
والله الهادي الى سواء السبيل
syukron gan...
BalasHapusSipp
BalasHapus