Minggu, 25 November 2012

TELAAH ANALISIS KANDUNGAN AYAT 2,3 & 11 SURAH AN NISA’


Oleh : Abu Izzat
Ayat pertama :
وَآتُوْا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُوْا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا . (النساء: 2
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.

Bismillahirrahmanirrahim
PENDAHULUAN

Agama Islam merupakan jalan hidup yang menjamin kebahagiaan pemeluknya, di dunia maupun di akhirat kelak. Agama Islam mempunyai sendi utama yang esensial, yaitu Alquran memberi petunjuk ke jalan yang benar. Alquran adalah kalam Allah yang di dalamnya termuat petunjuk tentang kebenaran. Alquran menyediakan dasar yang kokoh, kuat dan tidak berubah bagi semua prinsip etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan. Alquran memberikan petunjuk pada persoalan akidah, syariah dan akhlak. Inilah yang menjadikan agama Islam agama terbaik dan satu-satunya risalah umat yang abadi.
Tema pokok dalam makalah ini adalah permasalahan anak yatim. Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang berkenaan dengan anak yatim, yaitu surah al-An’âm : 152, al-Isrâ : 34, al-Fajr : 17, al-Dhuhâ : 6 dan 9, al-Ma’ûn : 2, al-Insân : 8, al-Balad : 15, al-Kahfi : 82, al-Baqarah : 83, 177, 215, dan 220, al-Nisâ : 2, 3, 6, 8, 10, 36, dan 127, al-Anfâl : 41, dan al-Hasyr : 7.
Pengasuhan dan pembinaan anak yatim dalam Islam tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik saja, akan tetapi secara umum juga meliputi hal-hal yang bersifat psikis dan yang lain.
Pengertian Anak Yatim
Kata anak yatim merupakan gabungan dari kata anak dan yatim. Istilah “anak” dalam bahasa Arab disebut walad yang berasal dari kata walada  yalidu  wilâdatan . Dalam bahasa Indonesia berarti keturunan.
Kata “yatim” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yutma yang berarti infirâd (kesendirian). Anak yatim berarti anak di bawah umur dan kehilangan ayah yang bertanggung jawab dalam perbelanjaan dan pendidikannya, belum baligh baik ia kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan.
Adapun anak yang bapak dan ibunya telah meninggal termasuk juga dalam kategori yatim dan biasanya disebut dengan yatim piatu,  memperhatikan anak yatim piatu lebih diutamakan daripada anak yatim, yang dalam ushûl al-fiqh disebut mafhûm al-muwâfaqah fahwa al-khitâb (pemahaman yang sejalan dengan yang disebut, tetapi yang tidak disebut lebih utama/qiyas awlawy). sehingga anak yatim piatu lebih memerlukan santunan daripada anak yatim.[1]
Perawatan Anak Yatim
Alquran memberikan perhatian dan tuntunan dengan menunjukkan jalan yang dapat ditempuh oleh seorang Muslim dalam mengayomi anak yatim. Hal ini agar seorang Muslim tidak terjebak dalam tata cara pengasuhan yang salah dan dapat menelantarkan anak yatim.
Salah satu cara agar tidak menelantarkan anak yatim adalah mengasuh mereka sesuai dengan tuntunan Alquran. Ayat-ayat yang memberikan informasi tentang perawatan anak yatim antara lain: Surah Al-Baqarah : 220
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ . (البقرة: 220)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah hal yang baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah menegetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa berkaitan dengan turunnya ayat ancaman terhadap orang yang menzhalimi anak yatim, diceritakan ada sahabat Nabi yang berusaha untuk menjauhi ancaman tersebut dengan memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak yatim. Jika makanan anak yatim itu bersisa, maka dibiarkannya sampai busuk karena takut dengan ancaman Allah. Lalu ia menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal itu. maka turunlah ayat yang membenarkan penggunaan cara yang lebih baik dalam perawatan diri anak yatim.
Dalam ayat di atas, Allah memperingatkan pengasuh anak yatim, bahwa Ia mengetahui segala apa yang ada dalam hati mereka, sehingga mereka selalu mawas diri dalam merawat anak yatim. Kadang ketamakan membuat seseorang menjadi buta hati dan ingin menguasai harta anak yatim dengan mengabaikan perawatan mereka, baik itu dalam hal makanan, minuman, dan segala hal lain.
Dengan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan merawat anak yatim dengan baik adalah memperlakukan mereka sebagaimana anggota keluarga, tidak membedakan dalam hal makanan, minuman, pakaian, sehingga anak yatim tidak merasa terhina. Dengan bersikap demikian terhadap mereka, mereka akan merasakan kasih sayang sebagaimana kedua orang tua mereka. Seperti sabda Rasulullah:
أَتُحِبُّ أَن يَلِيْنَ قَلْبُكَ , وَتُدْرِكَ حَاجَتَكَ ؟ ارْحَمْ الْيَتِيمَ , وَامْسَحْ رَأْسَهُ , وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ , يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ “Apakah kamu suka jika hatimu menjadi lembut serta terpenuhi segala keinginanmu? Sayangilah anak yatim, usaplah kepala mereka, serta beri makananlah mereka dari makananmu, niscaya hatimu akan lembut dan terpenuhi segala keinginanmu.” [2]
Dalam hadis ini, Allah memberikan balasan bagi orang yang bersedia mengasuh anak yatim berupa kelembutan hati dan terpenuhinya segala keinginan.
Pahala mengasuh anak yatim sangat besar seperti digambarkan hadith Rasulullah: ”Aku dan pengasuh anak yatim di surga seperti dua jari ini.” [3]  
Penjelasan: (Rasulullah menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan merapatkan keduanya). Begitu juga dengan sabda Rasulullah: ”Demi yang mengutus aku dengan haq, Allah tidak akan menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya, dan tidak bersikap angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap tetangganya. Demi yang mengutus aku dengan haq, Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya sedang sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat. (HR. Ath-Thabrani)
Harta Anak Yatim
Harta anak yatim tidak diperbolehkan agama untuk mengambilnya, Karena itu, selama anak tersebut belum dewasa, maka hartanya secara umum menjadi tanggung jawab orang Islam untuk menjaganya.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa pada suatu hari datang seorang sahabat bertanya pada Rasulullah: Ya Rasulullah, aku orang miskin, aku mengasuh anak yatim dan hartanya, bolehkah aku makan dari harta anak yatim ini? Rasulullah menjawab:Makanlah dari harta anak yatim sekedar kewajaran, jangan berlebih-lebihan, jangan memubadzirkan, jangan hartamu dicampur dengan harta anak yatim.[4]
Hadis ini menjelaskan bahwa memakan harta anak yatim diperbolehkan jika yang merawat tersebut tidak mampu atau miskin. Apa yang dimakannya hanya sekedar upah lelah mengelola kepemilikan anak yatim.
Dalam ayat di atas, juga dijelaskan larangan untuk mengganti harta halal, yaitu harta yang dihasilkan dengan jerih payah sendiri dengan harta yang haram, yaitu harta anak yatim yang dititipkan kepadanya.[5]
Demikian juga disebutkan istilah “memakan”. Yang dimaksud ialah semua penggunaaan yang menghabiskan harta, disebut memakan, karena sebagian besar penggunaan harta benda itu untuk tujuan makan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan larangan makan harta anak yatim adalah larangan untuk menghabiskan harta demi kepentingan pribadi.

Isi Ayat:
1.                  Memberikan harta anak yatim yang menjadi haknya
2.                  Tidak mengganti harta anak yatim dengan harta yang jelek
3.                  Tidak memakan harta anak yatim
4.                  Tiga perbuatan diatas adalah dosa besar

CATATAN :
Aada cara yang mugkin sangat baik dan mudah dilakukan untuk bisa merawat anak yatim dengan baik serta optimal yaitu dengan menikahi Ibu dari si yatim, sehingga mengusap kepala anak yatim akan lebih sering dilakukan.

Ayat kedua :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا  (النساء : 3 )   
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat
Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah tentang Ayat: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah menjawab, “Wahai anak saudariku. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut bergabung dalam harta walinya, dan si wali ternyata tertarik dengan yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian mahar sebagaimana mahar yang diberikan kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turun ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah tentang hal wanita, maka Allah menurunkan ayat dalam Surah An-Nisa`: 127): وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.”

Dasar Teologis Poligami
Dari sisi teori, mayoritas kaum muslimin mengetahui hukum poligami, atau paling tidak, pernah mendengarnya. Praktek poligami merupakan salah satu hukum yang telah disahkan oleh agama Islam dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Hanya saja, dari sisi prakteknya, mayoritas kaum wanita—termasuk kaum muslimah—merasa gerah dan keberatan. Namun demikian kita akan selalu berharap, mudah-mudahan ‘kebencian’ kaum wanita terhadap praktek poligami tidak berakhir dengan kebencian kepada hukum tersebut. Karena jika demikian, berarti mereka telah membenci sang penetap hukum poligami, Allah swt. Kita semua mengetahui apa konsekuensi dari kebencian terhadap Allah swt?. Walau demikian, segala problem yang timbul bukan berasal dari ajaran Islam itu sendiri tetapi berasal dari oknum pelaku yang telah mengetahui ajaran Islam namun tidak mampu melaksanakannya atau mereka yang tidak tahu dan salah dalam mempraktekannya. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus yang ada, terkadang kita terpaksa harus memisahkan antara ajaran agama dan pelaku yang menganut ajaran tersebut. Sudah seharusnya kita bersikap “dewasa” dalam menghadapi setiap permasalahan, agar kita tidak terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas berpikir dan bertindak. Dari banyak argumen yang ada, dengan jelas Islam telah mengajarkan pengikutnya untuk berpikir dan bertindak secara logis dan proporsional.
Ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami didasarkan pada firman Allah surat al-Nisa’ ayat 3 diatas. yang masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’ yang mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah ; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali beritikad baik dan adil, yakni wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut.  Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia diperintah kawin dengan wanita lain yang ia senangi, sampai empat istri, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Jika ia hawatir tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya. [6]
Rasyid Ridho mengemukakan bahwa maksud ayat 3 surat al-Nisa’ ialah untuk memberantas tradisi zaman jahiliyyah yang tidak manusiawi, yaitu wali wanita yatim mengawini anak wanita yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat tersebut [7]
Poligami memang telah ada sebelum Islam namun berjalan tanpa adanya batasan dan aturan di dalamnya sehingga sering kali terjadi kezhaliman terhadap kaum wanita. Kemudian Islam datang dengan syariat yang hanif mengatur berbagai permasalahan dan poligami dengan memberikan batasan dan persyaratan.
Poligami secara umum di dalam Islam dibolehkan sebagai sebuah jalan keluar dalam pembentukan masyarakat yang baik dan mulia. Dibolehkan bagi seorang suami untuk menikah dengan lebih dari seorang wanita namun tetap dengan persyaratan mampu berlaku adil terhadap semua istrinya.
Namun demikian menilik al-Quran dan as-Sunnah dalam menyebutkan tentang poligami, maka didapatkan bahwa berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu. Dalam Ayat di atas, Allah menyatakan kepada para pengasuh anak-anak yatim, bila anak yatim berada dalam pengasuhan dan tanggung jawabnya, dan ia khawatir tidak dapat memberinya mahar yang cukup, maka hendaknya beralih kepada wanita yang lainn. Allah tidak membuatnya sempit, karenanya menghalalkan untuknya sampai empat wanita.
Rasulullah sendiri telah menikahi sembilan wanita. Sebagaimana nampak dari sebuah hadis yang diberitakan Anas bin Malik: Sungguh Nabi saw pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri.[8]  Juga nampak dalam perkataan Ibnu ‘Abbas kepada Sa’id ibn Jubair: “Apakah kamu telah menikah?” Sa’id menjawab,”Belum,”lalu beliau bekata,”Menikahlah! Karena orang terbaik ummat ini adalah yang paling banyak isterinya.”[9] Dalam kalimat “orang terbaik ummat”, sedikitnya terdapat dua pengertian. Pertama, yang dimaksudkan ialah Rasulullah saw. Sehingga memiliki pengertian, bahwa Rasulullah saw orang terbaik dari ummat ini. Kedua, yang dimaksud dengan “yang terbaik dari ummat ini” dalam pernikahan, yaitu yang paling banyak isterinya.
Landasan lain yang menunjukkan poligami merupakan sunnah, juga didapatkan dengan merujuk kepada hadis-hadis yang menganjurkan agar kaum Muslim memiliki banyak anak.
Diantara hadis-hadis tersebut ialah:
Dari Ma’qal bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang menemui Nabi saw dan berkata: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya?” Beliau menjawab:”Jangan!” Lalu ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan beliau melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan berliau berkata:فاني مباه بكم الامم  تزوجوا الودود الولود” Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku bangga dengan banyaknya kalian terhadap ummat-ummat lainnya[10]
Hadis di atas menunjukan bahwa ”Menikah banyak dapat memperbanyak kelahiran dan banyak kelahiran, dapat menyebabkan takatsur. Begitu juga wanita yang subur dinasehati bila mengetahui seorang yang melamarnya itu mandul, maka jangan mau untuk dinikahi. Walaupun  larangan (dalam hadis) ini bersifat makruh, bukan pengharaman. Karena Nabi saw mempertahankan para isterinya yang tidak melahirkan anak kecuali Khadidjah dan Mariyah”.
CATATAN : Salah satu cara untuk menjadikan Rasulullah bangga adalah dengan memperbanyak isteri. Memang tidak banyak kebaikan yang lebih baik daripada perbuatan yang dapat membanggakan Rasulullah.
Hikmah Dan Manfaat Poligami
Setiap yang disyari’atkan dalam Islam, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar untuk ummatnya. poligami adalah cara terbaik dalam menciptakan keluarga dan masyarakat agar terjaga kemuliaan dan kehormatannya. Ada beberapa hikmah dan manfaat poligami, sebagai berikut:
1.        Poligami merupakan syari’at yang dipilih Allah untuk kemaslahatan ummat-Nya.
2.        Seorang wanita mengalami sakit, haidh, nifas dan sejenisnya, yang menghalangi dirinya menjalankan tugas sebagai isteri. Sedangkan lelaki selalu siap menjadi penyebab bertambahnya ummat.
3.        Allah telah menjadikan jumlah lelaki lebih sedikit dari wanita. Kaum lelaki juga lebih banyak menghadapi sebab-sebab kematian. Seandainya lelaki hanya dicukupkan dengan seorang wanita, tentulah banyak tersisa wanita yang tidak mendapatkan suami, sehingga memaksa mereka berbuat perbuatan kotor. Tentang jumlah lelaki dan wanita ini Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya: Di antara tanda-tanda kiamat, yaitu berkurangnya ilmu dan tampaknya kebodohan, tampak zina dan wanita menjadi banyak, sedangkan lelaki menjadi sedikit, hingga seorang lelaki berbanding dengan lima puluh wanita, [Mutafaqun ‘alaihi].
4.        Secara umum, seluruh wanita selalu siap untuk dinikah. Dan sebaliknya, banyak lelaki yang tidak memiliki kemampuan melaksanakan konsekwensi pernikahan. Sehingga kaum lelaki yang siap menikah lebih sedikit dari wanita
5.        Poligami dapat mengangkat kemulian wanita yang suaminya meninggal atau menthalaqnya, terlebih ada yatim yang diasuhnya, sedangkan dirinya tidak memiliki seorang pun yang dapat menanggungnya. Sehingga dengan poligami ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya.
Isi ayat:
1.                  Berbuat adil
2.                  Perintah/anjuran/ poligami
3.                  Solusi jika tidak bisa berbuat adil
4.                  Menggauli budak

Makna Keadilan Dalam Poligami
Surat al-Nisa’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Imam Syafi’i, as-Sarakhsi, al-Kasani dan yang lain mensyaratkan keadilan diantara para istri, menurut mereka keadilan yang hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari [11]
 Seorang suami yang hendak berpoligami paling tidak memliki dua syarat : Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain. [12]
Mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-Jazairi menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang yang sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kemampuan manusia [13]
Keadilan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah bukan dalam bidang immaterial(cinta). Keadilan ini tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami [14]
Berdasarkan berbagai penafsiran tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu yang bisa dijalankan. Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Padahal Allah menjelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 286 : لا يُكلفُ اللهُ نفسًا إلا وُسْعَهَا Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya
Jadi yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam hal lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Ibnu Kathir mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Ibnu Katsir melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ  maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.”[15]
 Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
Ayat ketiga adalah :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا   النساء : 11
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sebab turun ayat ini menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi dari sahabat Jabir yang artinya “Telah datang kepada Rasulullah saw istri Saad bin Rabi' dan berkata "Wahai Rasulullah ini adalah dua anak perempuan Sa'ad bin Rabi'. Ia telah gugur dalam perang Uhud, seluruh hartanya telah diambil pamannya dan tak ada yang ditinggalkan untuk mereka sedangkan mereka tak dapat nikah bila tidak memiliki harta". Rasulullah saw. berkata, "Allah akan memberikan hukumnya", maka turunlah ayat warisan. Kemudian Rasulullah saw mendatangi paman kedua anak tersebut dun berkata: "Berikan dua pertiga dari harta Sa'ad kepada anaknya dan kepada ibunya berikan seperdelapannya sedang sisanya ambillah untuk kamu".
 Dalam ayat ini Allah menyampaikan wasiat yang mewajibkan kepada kaum muslimin yang telah mukalaf untuk menyelesaikan harta warisan bagi anak yang ditinggalkan orang tuanya baik mereka laki-laki atau perempuan. Apabila ahli waris itu sendiri terdiri dari anak laki-laki dan perempuan maka berikan kepada yang laki-laki dua bagian dan kepada yang perempuan satu bagian. karena laki-laki memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah istrinya serta anaknya, sedang perempuan hanya memerlukan biaya untuk diri sendiri dan setelah menikah maka kewajiban nafkah itu ditanggung oleh suaminya. Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu bagian. Yang dimaksud anak atau ahli waris lainnya dalam ayat ini adalah secara umum. Kecuali karena ada halangan yang-menyebabkan anak atau ahli waris lainnya tidak mendapat hak warisan.
Tata cara pelaksanaan pembagian harta warisan tidak menggunakan semata-mata pertimbangan sebuah filosofi, juga tidak menggunakan semata-mata pertimbangan adil atau tidak adil dalam kacamata subjektif. Sebab dalam syariah, argumentasi sebuah filosofi akan berhenti saat ada nash dari Quran atau Sunnah.
Demikian juga dengan pertimbangan rasa adil dan tidak adil, yang menentukan keadilan itu bukan kita sebagai hamba, melainkan Allah. Keadilan versi manusia sangat nisbi. Sesuatu yang dikatakan adil oleh seorang Presiden akan menjadi sangat tidak adil di mata Presiden berikutnya. Begitulah kenisbian sebuah keadilan. Jadi apa yang dibilang adil itu masih menyisakan sebuah pertanyaan, keadilan menurut siapa?[16]
Ketentuan Hukum Waris Diatur dalam Nash Langsung
Sebagai umat yang mempunyai warisan kitab suci, kita serahkan saja ketentuan pembagian warisan kepada kitabullah. Semua urusan bagaimana membagi waris, mulai dari siapa saja yang dapat warisan sampai berapa besar hak masing-masing sudah Allah atur, mengapa pula kita masih harus perlu mengubahnya. Kalau semua telah ditetapkan langsung, jangankan kita sebagai manusia biasa, bahkan seorang Muhammad Rasulullah sekalipun tidak punya hak untuk mengotak-atiknya.
Ayat-ayat tentang pembagian warisan itu sudah sangat jelas, terang dan tegas,. Karena ketegasannya, tak satu pun ulama yang berani mengubahnya. Selama lebih 14 abad telah berjalan, tidak ada satu pun ulama yang berani mengubahnya, sampai datang orang-orang yang mungkin kurang memahami hukum Islam dan terpengaruh oleh bisikan orang-orang kafir kemudian ikut-ikutan mencoba mengubah hukum waris yang datang dari Allah. Sungguh sangat disayangkan kalau dari kalangan umat Islam sendiri harus ada orang yang menuduh bahwa hukum waris itu hanya buatan para ulama padahal  pembagian warisan memang disebutkan dengan tegas di dalam Al-Quran.[17]
Bahkan ada yang menuduh bahwa hukum waris itu mengalami bias jender. Karena selalu memenangkan laki-laki dan tidak membela hak-hak perempuan. ini pun sebuah pendapat aneh yang tidak pada tempatnya. Tentu saja kita akan selalu membela kalau sampai ada yang bilang bahwa hukum waris itu tidak adil karena zaman sudah berubah, sehingga hukum waris pun harus disesuaikan dengan zaman.
Kalau pertimbangannya hanya sekedar perubahan zaman, perlukah sekarang ini kita menyesuaikan waktu shalat lima waktu? Karena ternyata jam kerja kita yang terlalu padat, sehingga shalat Ashar, Maghrib dan Isya' digeser saja menjadi menjelang tidur. Sementara shalat Shubuh dan Dzhuhur disatukan di pagi hari, tapi bukan saat fajar terbit sebab kalau terlalu pagi  belum bangun. Begitu juga mungkin dapat diusulkan agar kita shalat sebulan sekali saja, biar digabung jadi satu, dari pada repot-repot tiap hari tunggang-tungging sujud beberapa kali sehingga lebih praktis dan ekonomis Juga sesuai dengan tuntutan zaman,
Atau kenapa tidak diusulkan agar gerakan shalat itu dilakukan sepraktis mungkin, misalnya cukup dengan manggut-manggut saja atau merem melek saja, sebanyak jumlah rakaat? Tidak perlu wudhu', berdiri, menghadap kiblat, atau masuk waktu. Bukankah itu sesuai dengan perubahan zaman.
Mungkin orang-orang kafir suatu ketika akan sampai kepada bab itu. Sementara hari ini mereka masih sekedar iseng bikin tuduhan keji kepada hukum waris, dengan mencoba mengotak-atik urusan jender, dan menuduh bahwa hukum waris tidak adil, karena hanya memberi wanita separuh bagian laki-laki. Sementara ayat-ayat Al-Quran tentang bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan seperti Ayat di atas masih kita baca setiap hari, dan juga masih dibaca oleh hampir seluruh umat Islam.
Pantaslah kalau Rasulullah SAW secara khusus mewanti-wanti kepada ummatnya untuk mempelajari hukum waris ini secara khusus. Ternyata, di balik perintah secara khusus ini, memang ada orang-orang yang ingin merobohkan agama Islam, dan semua itu dimulai dari merobohkan ilmu waris dan hukumnya.             تعلموا الفرائض وعلموها الناس فانه اول علم ينزع  Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia adalah ilmu pertama kali yang akan dilupakan dan sesuatu yang pertama kali tercabut”[18]
Kemudian sebagai jawaban bahwa ilmu waris ini tidak adil, karena anak perempuan hanya diberi setengah dari bagian anak laki-laki, setidaknya ada dua argumentasi:[19]
 Pertama :Pembagian harta seorang yang meninggal di dalam agama Islam bukan semata-mata menggunakan hukum waris. Tapi juga dikenal hibah, wasiat dan yang lainnya.Misalnya seorang Ayah yang punya dua anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Kalau hanya menggunakan hukum waris, memang anaknya yang perempuan itu hanya akan menerima setengah dari apa yang akan diterima oleh saudara laki-lakinya.Tapi karena ada hibah, maka sejak masih sehat, sang Ayah boleh saja memberi terlebih dahulu sebagian hartanya kepada puteri tercintanya. Dan hal itu sah dilakukan dan terserah yang mau memberi.Jadi tetap saja anak perempuan mendapat harta yang jumlahnya sama dengan saudara laki-lakinya.Selain itu, kalau setelah pembagian warisan, saudara laki-lakinya kemudian memberikan sebagian haknya dari warisan Ayahnya kepada saudari perempuannya, maka hal itu pun sah juga. Dan ahirnya mereka berdua bisa mendapat harta yang sama.
Kedua: Wanita dalam hukum waris tidak selamanya mendapat setengah dari laki-laki. Ternyata kasusnya hanya dalam pembagian antara anak laki-laki dan anak perempuan saja. Namun secara umum, sering kali terjadi malah seorang wanita mendapat warisan lebih banyak dari yang didapat oleh seorang laki-laki. Bahkan bagian perempuan dalam banyak kasus justru lebih banyak dari bagian laki-laki. Seorang ibu terkadang bisa dapat 1/3 bagian dari warisan anaknya, sementara seorang ayah tetap mendapat 1/6.
Sudah umum diketahui pada zaman pra-Islam, perempuan Arab diperlakukan secara tak wajar. Mereka bukan hanya tak mendapatkan warisan ketika salah seorang keluarga intinya ada yang meninggal dunia, melainkan juga kerap diperlakukan sebagai barang yang bisa dipertukarkan. Ketika sebuah peperangan meletus, misalnya, tawanan perempuan langsung menjadi budak yang boleh diperlakukan sesuai kehendak dan kemauan sang majikan.
Begitu mengenaskan posisi dan kedudukan perempuan pra-Islam, sehingga salah satu keluarga dari mereka ada yang merasa malu ketika mempunyai anak perempuan. Digambarkan dalam Alquran, واذا بشر احدهم بالانثى ظل وجهه مسودا (apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah). (QS, al-Nahl 58-59).
Menurut Qatadah, sebagaimana dinukil Al-Qurthubi, ayat di atas sebenarnya  menjelaskan sekaligus mengritik kebiasaan orang-orang Mudlar, Khuza`ah, dan Bani Tamim yang membunuh anak-anak perempuan mereka hidup-hidup.[20].
Motif pembunuhan itu pun beragam; ada yang karena cemburu (al-ghayrah), memandang rendah perempuan (al-hamiyah), takut miskin dan memberikan nafkah (khaufan min al-faqr wa luzum al-nafaqah). Jadi  perempuan bukan hanya dianggap sebagai beban psikologis, melainkan juga beban sosial dan ekonomi. Dalam kondisi demikian, Islam hadir untuk memanusiakan perempuan. Islam bukan hanya mengeritik kebiasaan buruk sebagian keluarga Arab dalam memperlakukan perempuan, melainkan juga melakukan sejumlah advokasi dan secara bertahap hendak mensejajarkan perempuan dan laki-laki sesama makhluk Allah Ketika anak perempuan tak mendapatkan warisan dari keluarga, maka Islam menetapkan bahwa bagian anak perempuan adalah separuh bagian laki-laki.
Allah berfirman, لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  Ketetapan Alquran ini mengundang reaksi berlebihan dari masyarakat. Mereka berkata bahwa Muhammad tak menghargai tradisi, karena ia telah menciptakan hukum yang menyimpang dari kebiasaan masyarakat Arab. Dengan penjelasan ini diketahui bahwa pada mulanya ketentuan 2: 1 itu untuk menghargai perempuan bukan untuk mendiskriminasikannya.
Kemudian apabila ada pertanyaan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti dalam ayat:  يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. [21]

 

KESIMPULAN

Anak yatim memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, mereka memang memerlukan perhatian yang lebih, karena ketiadaan orang yang bertanggung jawab dalam menafkahi mereka. Tanggung jawab akan pemeliharaan mereka diserahkan sepenuhnya kepada keluarga terdekat mereka, dan jika tidak ada maka ia menjadi tanggung jawab umat Islam. Pengasuhan anak yatim, meliputi:
1. Perawatan anak yatim, yakni memperlakukan mereka secara patut dan tidak membeda-bedakan dengan anggota keluarga lainnya, baik dalam hal pakaian, makan, minuman, maupun tempat tinggal, sehingga mereka tidak merasa terhina.
2. Pembinaan moral bagi anak yatim, yakni upaya untuk membantu mereka dari segi pendidikan dan pembinaan akhlak yang mulia. Anak yatim juga merupakan generasi penerus bangsa yang dipundaknyalah kelak tergantung kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Jika akhlak mereka buruk, maka akan berdampak pada masyarakat.
3. Alquran memberikan tuntunan terhadap para wali anak yatim dalam penggunaan harta mereka agar tidak mencampur adukkan hartanya dengan harta anak yatim, untuk menghindarkan diri dari memakan hak anak yatim di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Adapun bagi wali yang miskin, maka ia diperkenankan mempergunakan harta anak yatim itu apabila dalam keadaan terpaksa dan hanya seperlunya saja. Wali juga harus mengadakan saksi saat tiba waktu pengembalian harta anak yatim, yakni ketika ia telah dewasa. Dan bagi orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Allah mengancam dengan adzab yang pedih kelak di akhirat.
4. Poligami merupakan syari’at yang dipilih Allah untuk kemaslahatan ummat-Nya.
5. Suami diperintah untuk berlaku baik dan adil pada semua istrinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan pergaulilah oleh kalian mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`:19) Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau juga berbuat yang sama. Allah berfirman dalam hal ini: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228) Rasulullah bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.”
6 .Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya. والعلم عند الله وهو الهادي الى سواء السبيل



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qâmûs Al-‘Ashriy ( Kamus Kontemporer) Arab-Indonesia, cet. IV, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998.
Bâqi, Fu’ad ‘Abd al-, Al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, : Maktabah Dahlan, t. th.
Farmawiy, Abd al-Hayy al-, Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’iy, Dirâsah Manhajiyyah
Hasyimi, ‘Abd al-Hamid al-, al-Rasûlu al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik Ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Hayat, Zakiyatul, Pemeliharaan Anak Yatim Dalam Persfektif Alquran, Skripsi, Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002.
Hidayat, Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah Alquran, Bandung: Mizan, 1999.
Jurjâniy, ‘Aliy ibn’ Muhammad al-, Kitab al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M.
Marâghiy, Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha Putra, 1986.
Math, Muhammad Faiz al-, Min Mu’jizât al-Islâm, diterjemahkan oleh Masykur Halim dengan judul Keistimewaan-keistimewaan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Quthb, Sayyid , Fî Zhilâl al-Qur’ân, diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah dengan judul Tafsir Fi Zhilal Alquran: Di bawah Naungan Alquran, jilid II dan IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2000


[1]   Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qâmûs Al-‘Ashriy ( Kamus Kontemporer) Arab-Indonesia, cet. IV, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998.

[2]   H.R. al-Thabraniy dari Abu Darda
[3]   (HR. Bukhari).
[4]      H.R. Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Umar bin Khattab
[5]   Marâghiy, Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha Putra, 1986.

[6] Rasyid Ridho Al manar,. 344-345
[7]  Rasyid Ridho, Al Manar 347-348.
[8]  HR al Bukhari, no. 5068 dan an-Nasaa-i, 6/54
[9]    HR al Bukhari no. 5069
[10] ”.HR Abu Dawud no. 2050,

[11] Khoiruddin Nasution, 103-105).  Abdurrahman I. Doi, 192
[12] Ali Ahmad al-Jarjawi, 10.
[13] Abdurrahman Abu Bakr al-Jazairi, tt : 239)
[14]  M. Quraish Shihab, 1999: 201).

[15]    Ibn kathir - Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317

[16]   Hasyimi, ‘Abd al-Hamid al-, al-Rasûlu al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik Ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.

[17]   Quthb, Sayyid , Fî Zhilâl al-Qur’ân, diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah dengan judul Tafsir Fi Zhilal Alquran: Di bawah Naungan Alquran, jilid II dan IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

[18]   HR Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih
[19] Marâghiy, Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha Putra, 1986.

[20]   Al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur'an, Jilid V, hlm. 469
[21]   Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160

1 komentar:

  1. Ulasan mengenai anak yatim di atas memang bagus sebagai bahan renungan bagi kita yang memiliki harta lebih untuk memperhatikan anak-anak yatim.

    Terlebih, Rosul pun menganjurkan kita untuk memperhatikan mereka ..

    Hormat saya pda admin Al-Imamah

    PENULISTOLONGTANGTUGAS

    BalasHapus