Oleh : Abu
Izzat
Ayat pertama :
وَآتُوْا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُوْا
الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أمْوَالِكُمْ
إِنَّهُ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا . (النساء: 2
Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk
dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Bismillahirrahmanirrahim
PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan jalan hidup yang
menjamin kebahagiaan pemeluknya, di dunia maupun di akhirat kelak.
Agama Islam mempunyai sendi utama yang esensial, yaitu Alquran memberi petunjuk
ke jalan yang benar. Alquran adalah kalam Allah yang di dalamnya
termuat petunjuk tentang kebenaran. Alquran menyediakan
dasar yang kokoh, kuat dan tidak berubah bagi semua prinsip etika dan moral
yang diperlukan dalam kehidupan. Alquran
memberikan petunjuk pada persoalan akidah, syariah dan akhlak.
Inilah yang
menjadikan agama Islam agama terbaik dan satu-satunya risalah umat yang abadi.
Tema pokok dalam makalah ini adalah
permasalahan anak yatim. Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang berkenaan
dengan anak yatim, yaitu surah al-An’âm : 152, al-Isrâ : 34, al-Fajr
: 17, al-Dhuhâ : 6 dan 9, al-Ma’ûn : 2, al-Insân : 8, al-Balad
: 15, al-Kahfi : 82, al-Baqarah : 83, 177, 215, dan 220, al-Nisâ
: 2, 3, 6, 8, 10, 36, dan 127, al-Anfâl : 41, dan al-Hasyr : 7.
Pengasuhan dan pembinaan anak yatim dalam
Islam tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik saja, akan tetapi secara
umum juga meliputi hal-hal yang bersifat psikis dan yang lain.
Pengertian Anak Yatim
Kata anak yatim merupakan gabungan
dari kata anak dan yatim. Istilah “anak” dalam bahasa Arab disebut walad
yang berasal dari kata walada
yalidu wilâdatan . Dalam bahasa Indonesia berarti keturunan.
Kata “yatim” merupakan kata
serapan dari bahasa Arab yutma yang berarti infirâd
(kesendirian). Anak yatim berarti anak di bawah umur dan
kehilangan ayah yang bertanggung jawab dalam perbelanjaan dan pendidikannya, belum baligh baik ia kaya atau miskin, laki-laki atau
perempuan.
Adapun anak yang bapak dan ibunya
telah meninggal termasuk juga dalam kategori yatim dan biasanya disebut dengan yatim
piatu, memperhatikan anak yatim piatu
lebih diutamakan daripada anak yatim, yang dalam ushûl al-fiqh disebut mafhûm
al-muwâfaqah fahwa al-khitâb (pemahaman yang sejalan dengan yang disebut,
tetapi yang tidak disebut lebih utama/qiyas awlawy). sehingga anak yatim piatu
lebih memerlukan santunan daripada anak yatim.[1]
Perawatan Anak
Yatim
Alquran memberikan perhatian dan tuntunan
dengan menunjukkan jalan yang dapat ditempuh oleh seorang Muslim dalam mengayomi
anak yatim. Hal ini agar seorang Muslim tidak terjebak dalam tata cara
pengasuhan yang salah dan dapat menelantarkan anak yatim.
Salah satu cara agar tidak menelantarkan anak
yatim adalah mengasuh mereka sesuai dengan tuntunan Alquran. Ayat-ayat yang memberikan
informasi tentang perawatan anak yatim antara lain: Surah Al-Baqarah : 220
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ
إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ
الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ . (البقرة: 220)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak
yatim. Katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah hal yang baik,
dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah
menegetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan
jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa
berkaitan dengan turunnya ayat ancaman terhadap orang yang menzhalimi anak
yatim, diceritakan ada sahabat Nabi yang berusaha untuk menjauhi ancaman
tersebut dengan memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak
yatim. Jika makanan anak yatim itu bersisa, maka dibiarkannya sampai busuk
karena takut dengan ancaman Allah. Lalu ia menghadap Rasulullah untuk
menceritakan hal itu. maka turunlah ayat yang membenarkan penggunaan cara yang
lebih baik dalam perawatan diri anak yatim.
Dalam ayat di atas, Allah memperingatkan
pengasuh anak yatim, bahwa Ia mengetahui segala apa yang ada dalam hati mereka,
sehingga mereka selalu mawas diri dalam merawat anak yatim. Kadang ketamakan
membuat seseorang menjadi buta hati dan ingin menguasai harta anak yatim dengan
mengabaikan perawatan mereka, baik itu dalam hal makanan, minuman, dan segala
hal lain.
Dengan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan merawat anak yatim dengan baik adalah memperlakukan mereka sebagaimana
anggota keluarga, tidak membedakan dalam hal makanan, minuman, pakaian,
sehingga anak yatim tidak merasa terhina. Dengan bersikap demikian terhadap
mereka, mereka akan merasakan kasih sayang sebagaimana kedua orang tua mereka. Seperti
sabda Rasulullah:
أَتُحِبُّ أَن يَلِيْنَ قَلْبُكَ , وَتُدْرِكَ حَاجَتَكَ ؟
ارْحَمْ الْيَتِيمَ , وَامْسَحْ رَأْسَهُ , وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ , يَلِنْ
قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ “Apakah kamu suka jika
hatimu menjadi lembut serta terpenuhi segala keinginanmu? Sayangilah anak
yatim, usaplah kepala mereka, serta beri makananlah mereka dari makananmu,
niscaya hatimu akan lembut dan terpenuhi segala keinginanmu.” [2]
Dalam hadis ini, Allah memberikan balasan
bagi orang yang bersedia mengasuh anak yatim berupa kelembutan hati dan
terpenuhinya segala keinginan.
Pahala mengasuh
anak yatim sangat besar seperti digambarkan hadith Rasulullah: ”Aku dan
pengasuh anak yatim di surga seperti dua jari ini.” [3]
Penjelasan:
(Rasulullah menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan merapatkan keduanya).
Begitu juga dengan sabda Rasulullah: ”Demi yang mengutus aku dengan haq, Allah
tidak akan menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara
kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya, dan tidak
bersikap angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap
tetangganya. Demi yang mengutus aku dengan haq, Allah tidak akan menerima
sedekah seorang yang mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya
sedang sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam
genggamanNya, ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya)
kelak pada hari kiamat. (HR. Ath-Thabrani)
Harta Anak
Yatim
Harta anak yatim tidak diperbolehkan agama
untuk mengambilnya, Karena itu, selama anak tersebut belum dewasa, maka
hartanya secara umum menjadi tanggung jawab orang Islam untuk menjaganya.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa pada
suatu hari datang seorang sahabat bertanya pada Rasulullah: Ya Rasulullah, aku
orang miskin, aku mengasuh anak yatim dan hartanya, bolehkah aku makan dari
harta anak yatim ini? Rasulullah menjawab:Makanlah dari harta anak yatim
sekedar kewajaran, jangan berlebih-lebihan, jangan memubadzirkan, jangan
hartamu dicampur dengan harta anak yatim.[4]
Hadis ini menjelaskan bahwa memakan harta
anak yatim diperbolehkan jika yang merawat tersebut tidak mampu atau miskin.
Apa yang dimakannya hanya sekedar upah lelah mengelola kepemilikan anak yatim.
Dalam
ayat di atas, juga dijelaskan larangan untuk mengganti harta halal, yaitu harta
yang dihasilkan dengan jerih payah sendiri dengan harta yang haram, yaitu harta
anak yatim yang dititipkan kepadanya.[5]
Demikian
juga disebutkan istilah “memakan”. Yang dimaksud ialah semua penggunaaan yang
menghabiskan harta, disebut memakan, karena sebagian besar penggunaan harta
benda itu untuk tujuan makan. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan larangan makan harta anak yatim adalah larangan untuk
menghabiskan harta demi kepentingan pribadi.
Isi Ayat:
1.
Memberikan
harta anak yatim yang menjadi haknya
2.
Tidak
mengganti harta anak yatim dengan harta yang jelek
3.
Tidak memakan
harta anak yatim
4.
Tiga perbuatan
diatas adalah dosa besar
CATATAN :
Aada cara yang
mugkin sangat baik dan mudah dilakukan untuk bisa merawat anak yatim dengan
baik serta optimal yaitu dengan menikahi Ibu dari si yatim, sehingga mengusap
kepala anak yatim akan lebih sering dilakukan.
Ayat kedua :
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (النساء
: 3 )
Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265],
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
Latar Belakang Sosiologis Sebab Turun Ayat
Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah
tentang Ayat: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى
maka Aisyah menjawab, “Wahai anak saudariku. Perempuan yatim tersebut berada
dalam asuhan walinya yang turut bergabung dalam harta walinya, dan si wali
ternyata tertarik dengan yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya
tanpa berlaku adil dalam pemberian mahar sebagaimana mahar yang diberikan
kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi
perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa
diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi
wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan,
‘Setelah turun ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah tentang hal
wanita, maka Allah menurunkan ayat dalam Surah An-Nisa`: 127): وَيَسْتَفْتُونَكَ
فِي النِّسَاءِ“Dan
mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.”
Dasar Teologis Poligami
Dari sisi teori, mayoritas kaum muslimin mengetahui
hukum poligami, atau paling tidak, pernah mendengarnya. Praktek poligami
merupakan salah satu hukum yang telah disahkan oleh agama Islam dan tidak bisa
diganggu gugat oleh siapapun. Hanya saja, dari sisi prakteknya, mayoritas kaum wanita—termasuk
kaum muslimah—merasa gerah dan keberatan. Namun demikian kita akan selalu
berharap, mudah-mudahan ‘kebencian’ kaum wanita terhadap praktek poligami tidak
berakhir dengan kebencian kepada hukum tersebut. Karena jika demikian, berarti mereka
telah membenci sang penetap hukum poligami, Allah swt. Kita semua mengetahui
apa konsekuensi dari kebencian terhadap Allah swt?. Walau demikian, segala
problem yang timbul bukan berasal dari ajaran Islam itu sendiri tetapi berasal
dari oknum pelaku yang telah mengetahui ajaran Islam namun tidak mampu
melaksanakannya atau mereka yang tidak tahu dan salah dalam mempraktekannya.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus yang ada, terkadang kita terpaksa harus
memisahkan antara ajaran agama dan pelaku yang menganut ajaran tersebut. Sudah
seharusnya kita bersikap “dewasa” dalam menghadapi setiap permasalahan, agar
kita tidak terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas berpikir dan bertindak. Dari
banyak argumen yang ada, dengan jelas Islam telah mengajarkan pengikutnya untuk
berpikir dan bertindak secara logis dan proporsional.
Ulama fiqh
sepakat bahwa kebolehan poligami didasarkan pada firman Allah surat al-Nisa’
ayat 3 diatas. yang masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2
al-Nisa’ yang mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim,
bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim
yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah ; sedangkan ayat 3 mengingatkan
kepada para wali wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si
wali beritikad baik dan adil, yakni wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya
kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan
maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak
wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra
waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat al-Nisa’
tersebut. Jika wali anak wanita yatim
tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka
ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah
perwaliannya itu, tetapi ia diperintah kawin dengan wanita lain yang ia
senangi, sampai empat istri, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap
isteri-isterinya. Jika ia hawatir tidak bisa berbuat adil terhadap
isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, Apabila ia masih takut pula
kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka ia harus
mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya. [6]
Rasyid Ridho
mengemukakan bahwa maksud ayat 3 surat al-Nisa’ ialah untuk memberantas tradisi
zaman jahiliyyah yang tidak manusiawi, yaitu wali wanita yatim mengawini anak
wanita yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud
untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi anak
yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak
tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini isteri banyak
dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam
berdasarkan ayat tersebut [7]
Poligami memang telah ada sebelum Islam namun berjalan tanpa adanya
batasan dan aturan di dalamnya sehingga sering kali terjadi kezhaliman terhadap
kaum wanita. Kemudian Islam datang dengan syariat yang hanif mengatur berbagai permasalahan
dan poligami dengan memberikan batasan dan persyaratan.
Poligami secara umum di dalam Islam dibolehkan sebagai sebuah jalan
keluar dalam pembentukan masyarakat yang baik dan mulia. Dibolehkan bagi
seorang suami untuk menikah dengan lebih dari seorang wanita namun tetap dengan
persyaratan mampu berlaku adil terhadap semua istrinya.
Namun demikian menilik al-Quran dan as-Sunnah dalam
menyebutkan tentang poligami, maka didapatkan bahwa berpoligami itu hukumnya
sunnah bagi yang mampu. Dalam Ayat di atas, Allah menyatakan kepada para
pengasuh anak-anak yatim, bila anak yatim berada dalam pengasuhan dan tanggung
jawabnya, dan ia khawatir tidak dapat memberinya mahar yang cukup, maka
hendaknya beralih kepada wanita yang lainn. Allah tidak membuatnya sempit,
karenanya menghalalkan untuknya sampai empat wanita.
Rasulullah sendiri telah menikahi sembilan wanita.
Sebagaimana nampak dari sebuah hadis yang diberitakan Anas bin Malik: Sungguh
Nabi saw pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu
beliau memiliki sembilan isteri.[8] Juga nampak dalam perkataan Ibnu ‘Abbas
kepada Sa’id ibn Jubair: “Apakah kamu telah menikah?” Sa’id
menjawab,”Belum,”lalu beliau bekata,”Menikahlah! Karena orang terbaik ummat ini
adalah yang paling banyak isterinya.”[9]
Dalam kalimat “orang terbaik ummat”, sedikitnya terdapat dua pengertian.
Pertama, yang dimaksudkan ialah Rasulullah saw. Sehingga memiliki
pengertian, bahwa Rasulullah saw orang terbaik dari ummat ini. Kedua,
yang dimaksud dengan “yang terbaik dari ummat ini” dalam pernikahan,
yaitu yang paling banyak isterinya.
Landasan lain yang menunjukkan poligami merupakan sunnah,
juga didapatkan dengan merujuk kepada hadis-hadis yang menganjurkan agar
kaum Muslim memiliki banyak anak.
Diantara hadis-hadis tersebut ialah:
Dari Ma’qal bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang
menemui Nabi saw dan berkata: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki
martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya?” Beliau
menjawab:”Jangan!” Lalu ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan beliau
melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan berliau berkata:فاني مباه بكم الامم تزوجوا الودود الولود”
Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku bangga dengan banyaknya kalian
terhadap ummat-ummat lainnya[10]
Hadis di atas menunjukan bahwa ”Menikah banyak dapat
memperbanyak kelahiran dan banyak kelahiran, dapat menyebabkan takatsur.
Begitu juga wanita yang subur dinasehati bila mengetahui seorang yang
melamarnya itu mandul, maka jangan mau untuk dinikahi. Walaupun larangan (dalam hadis) ini bersifat makruh,
bukan pengharaman. Karena Nabi saw mempertahankan para isterinya yang tidak
melahirkan anak kecuali Khadidjah dan Mariyah”.
CATATAN : Salah satu
cara untuk menjadikan Rasulullah bangga adalah dengan memperbanyak isteri. Memang
tidak banyak kebaikan yang lebih baik daripada perbuatan yang dapat
membanggakan Rasulullah.
Hikmah Dan
Manfaat Poligami
Setiap yang disyari’atkan dalam Islam, pasti
memiliki hikmah dan manfaat yang besar untuk ummatnya. poligami adalah
cara terbaik dalam menciptakan keluarga dan masyarakat agar terjaga kemuliaan dan
kehormatannya. Ada beberapa hikmah dan manfaat poligami, sebagai
berikut:
1.
Poligami
merupakan syari’at yang dipilih Allah untuk kemaslahatan ummat-Nya.
2.
Seorang wanita
mengalami sakit, haidh, nifas dan sejenisnya, yang menghalangi dirinya
menjalankan tugas sebagai isteri. Sedangkan lelaki selalu siap menjadi penyebab
bertambahnya ummat.
3.
Allah telah
menjadikan jumlah lelaki lebih sedikit dari wanita. Kaum lelaki juga lebih
banyak menghadapi sebab-sebab kematian. Seandainya lelaki hanya dicukupkan dengan
seorang wanita, tentulah banyak tersisa wanita yang tidak mendapatkan suami,
sehingga memaksa mereka berbuat perbuatan kotor. Tentang jumlah lelaki dan
wanita ini Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya: Di antara tanda-tanda
kiamat, yaitu berkurangnya ilmu dan tampaknya kebodohan, tampak zina dan wanita
menjadi banyak, sedangkan lelaki menjadi sedikit, hingga seorang lelaki
berbanding dengan lima puluh wanita, [Mutafaqun ‘alaihi].
4.
Secara umum,
seluruh wanita selalu siap untuk dinikah. Dan sebaliknya, banyak lelaki yang
tidak memiliki kemampuan melaksanakan konsekwensi pernikahan. Sehingga kaum
lelaki yang siap menikah lebih sedikit dari wanita
5.
Poligami dapat
mengangkat kemulian wanita yang suaminya meninggal atau menthalaqnya, terlebih
ada yatim yang diasuhnya, sedangkan dirinya tidak memiliki seorang pun yang
dapat menanggungnya. Sehingga dengan poligami ada yang bertanggung jawab
atas kebutuhannya.
Isi ayat:
1.
Berbuat adil
2.
Perintah/anjuran/
poligami
3.
Solusi jika
tidak bisa berbuat adil
4.
Menggauli
budak
Makna Keadilan Dalam
Poligami
Surat al-Nisa’
ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil
terhadap isteri-isterinya. hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak
saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang
dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Imam Syafi’i,
as-Sarakhsi, al-Kasani dan yang lain mensyaratkan keadilan diantara para istri,
menurut mereka keadilan yang hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi
istri di malam atau di siang hari [11]
Seorang suami yang hendak berpoligami paling
tidak memliki dua syarat : Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk
membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua, harus
memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama
dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain. [12]
Mayoritas ulama
fiqh berpendapat bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang mustahil bisa
diwujudkan. Abdurrahman al-Jazairi menuliskan bahwa mempersamakan hak atas
kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah
kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, tidak akan mampu
berbuat adil dalam membagi kasih sayang yang sebenarnya sangat naluriah.
Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang
istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di
luar batas kemampuan manusia [13]
Keadilan yang
dimaksud dalam ayat diatas adalah bukan dalam bidang immaterial(cinta).
Keadilan ini tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami
yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan
cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat menjadikan ayat
ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami [14]
Berdasarkan
berbagai penafsiran tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat
poligami pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan
lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu yang bisa dijalankan.
Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti
cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin
dilaksanakan. Padahal Allah menjelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 286 : لا يُكلفُ اللهُ نفسًا إلا وُسْعَهَا Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya
Jadi yang
dimaksud dengan adil di sini adalah dalam hal lahiriah seperti adil dalam
pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin
seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena
hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat
demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang
kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Ibnu Kathir
mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia,
tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi.
Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada
perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan
oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Mujahid,
Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Ibnu Katsir
melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا
كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya
apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah
kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian
biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung.
Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi`
bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya
suami dan tidak pula ditalak.”[15]
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat
berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan untuk hanya menikahi satu
wanita. Dan ini termasuk pemuliaan wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan
suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
Ayat ketiga adalah :
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
النساء : 11
Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272];
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273],
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sebab turun
ayat ini menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi dari
sahabat Jabir yang artinya “Telah datang kepada Rasulullah saw istri Saad
bin Rabi' dan berkata "Wahai Rasulullah ini adalah dua anak perempuan
Sa'ad bin Rabi'. Ia telah gugur dalam perang Uhud, seluruh hartanya telah
diambil pamannya dan tak ada yang ditinggalkan untuk mereka sedangkan mereka
tak dapat nikah bila tidak memiliki harta". Rasulullah saw. berkata,
"Allah akan memberikan hukumnya", maka turunlah ayat warisan.
Kemudian Rasulullah saw mendatangi paman kedua anak tersebut dun berkata:
"Berikan dua pertiga dari harta Sa'ad kepada anaknya dan kepada ibunya
berikan seperdelapannya sedang sisanya ambillah untuk kamu".
Dalam ayat ini Allah menyampaikan wasiat yang
mewajibkan kepada kaum muslimin yang telah mukalaf untuk menyelesaikan harta
warisan bagi anak yang ditinggalkan orang tuanya baik mereka laki-laki atau
perempuan. Apabila ahli waris itu sendiri terdiri dari anak laki-laki dan
perempuan maka berikan kepada yang laki-laki dua bagian dan kepada yang
perempuan satu bagian. karena laki-laki memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan
dirinya dan nafkah istrinya serta anaknya, sedang perempuan hanya memerlukan
biaya untuk diri sendiri dan setelah menikah maka kewajiban nafkah itu
ditanggung oleh suaminya. Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu bagian.
Yang dimaksud anak atau ahli waris lainnya dalam ayat ini adalah secara umum.
Kecuali karena ada halangan yang-menyebabkan anak atau ahli waris lainnya tidak
mendapat hak warisan.
Tata cara pelaksanaan pembagian harta warisan
tidak menggunakan semata-mata pertimbangan sebuah filosofi, juga tidak
menggunakan semata-mata pertimbangan adil atau tidak adil dalam kacamata
subjektif. Sebab dalam syariah, argumentasi sebuah filosofi akan berhenti saat
ada nash dari Quran atau Sunnah.
Demikian juga dengan pertimbangan rasa adil dan
tidak adil, yang menentukan keadilan itu bukan kita sebagai hamba, melainkan
Allah. Keadilan versi manusia sangat nisbi. Sesuatu yang dikatakan adil oleh
seorang Presiden akan menjadi sangat tidak adil di mata Presiden berikutnya. Begitulah
kenisbian sebuah keadilan. Jadi apa yang dibilang adil itu masih menyisakan
sebuah pertanyaan, keadilan menurut siapa?[16]
Ketentuan
Hukum Waris Diatur dalam Nash Langsung
Sebagai umat yang mempunyai warisan kitab suci,
kita serahkan saja ketentuan pembagian warisan kepada kitabullah. Semua urusan
bagaimana membagi waris, mulai dari siapa saja yang dapat warisan sampai berapa
besar hak masing-masing sudah Allah atur, mengapa pula kita masih harus perlu
mengubahnya. Kalau semua telah ditetapkan langsung, jangankan kita sebagai
manusia biasa, bahkan seorang Muhammad Rasulullah sekalipun tidak punya hak
untuk mengotak-atiknya.
Ayat-ayat tentang pembagian warisan itu sudah
sangat jelas, terang dan tegas,. Karena ketegasannya, tak satu pun ulama yang
berani mengubahnya. Selama lebih 14 abad telah berjalan, tidak ada satu pun
ulama yang berani mengubahnya, sampai datang orang-orang yang mungkin kurang memahami
hukum Islam dan terpengaruh oleh bisikan orang-orang kafir kemudian ikut-ikutan
mencoba mengubah hukum waris yang datang dari Allah. Sungguh sangat disayangkan
kalau dari kalangan umat Islam sendiri harus ada orang yang menuduh bahwa hukum
waris itu hanya buatan para ulama padahal pembagian warisan memang disebutkan dengan
tegas di dalam Al-Quran.[17]
Bahkan ada yang menuduh bahwa hukum waris itu
mengalami bias jender. Karena selalu memenangkan laki-laki dan tidak membela
hak-hak perempuan. ini pun sebuah pendapat aneh yang tidak pada tempatnya. Tentu
saja kita akan selalu membela kalau sampai ada yang bilang bahwa hukum waris
itu tidak adil karena zaman sudah berubah, sehingga hukum waris pun harus
disesuaikan dengan zaman.
Kalau pertimbangannya hanya sekedar perubahan
zaman, perlukah sekarang ini kita menyesuaikan waktu shalat lima waktu? Karena
ternyata jam kerja kita yang terlalu padat, sehingga shalat Ashar, Maghrib dan
Isya' digeser saja menjadi menjelang tidur. Sementara shalat Shubuh dan Dzhuhur
disatukan di pagi hari, tapi bukan saat fajar terbit sebab kalau terlalu pagi belum bangun. Begitu juga mungkin dapat
diusulkan agar kita shalat sebulan sekali saja, biar digabung jadi satu, dari
pada repot-repot tiap hari tunggang-tungging sujud beberapa kali sehingga lebih
praktis dan ekonomis Juga sesuai dengan tuntutan zaman,
Atau kenapa tidak diusulkan agar gerakan shalat
itu dilakukan sepraktis mungkin, misalnya cukup dengan manggut-manggut saja
atau merem melek saja, sebanyak jumlah rakaat? Tidak perlu wudhu', berdiri,
menghadap kiblat, atau masuk waktu. Bukankah itu sesuai dengan perubahan zaman.
Mungkin orang-orang kafir suatu ketika akan
sampai kepada bab itu. Sementara hari ini mereka masih sekedar iseng bikin
tuduhan keji kepada hukum waris, dengan mencoba mengotak-atik urusan jender,
dan menuduh bahwa hukum waris tidak adil, karena hanya memberi wanita separuh
bagian laki-laki. Sementara ayat-ayat Al-Quran tentang bagian anak laki-laki
dua kali lipat dari bagian anak perempuan seperti Ayat di atas masih kita baca
setiap hari, dan juga masih dibaca oleh hampir seluruh umat Islam.
Pantaslah kalau Rasulullah SAW secara khusus
mewanti-wanti kepada ummatnya untuk mempelajari hukum waris ini secara khusus.
Ternyata, di balik perintah secara khusus ini, memang ada orang-orang yang
ingin merobohkan agama Islam, dan semua itu dimulai dari merobohkan ilmu waris
dan hukumnya. تعلموا الفرائض وعلموها الناس فانه اول
علم ينزع“ Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah, sebab ia
adalah ilmu pertama kali yang akan dilupakan dan sesuatu yang pertama kali
tercabut”[18]
Kemudian sebagai jawaban bahwa ilmu waris ini
tidak adil, karena anak perempuan hanya diberi setengah dari bagian anak
laki-laki, setidaknya ada dua argumentasi:[19]
Pertama
:Pembagian harta seorang yang meninggal di dalam agama Islam bukan semata-mata
menggunakan hukum waris. Tapi juga dikenal hibah, wasiat dan yang lainnya.Misalnya
seorang Ayah yang punya dua anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Kalau
hanya menggunakan hukum waris, memang anaknya yang perempuan itu hanya akan
menerima setengah dari apa yang akan diterima oleh saudara laki-lakinya.Tapi
karena ada hibah, maka sejak masih sehat, sang Ayah boleh saja memberi terlebih
dahulu sebagian hartanya kepada puteri tercintanya. Dan hal itu sah dilakukan
dan terserah yang mau memberi.Jadi tetap saja anak perempuan mendapat harta
yang jumlahnya sama dengan saudara laki-lakinya.Selain itu, kalau setelah
pembagian warisan, saudara laki-lakinya kemudian memberikan sebagian haknya
dari warisan Ayahnya kepada saudari perempuannya, maka hal itu pun sah juga.
Dan ahirnya mereka berdua bisa mendapat harta yang sama.
Kedua: Wanita dalam hukum waris tidak selamanya
mendapat setengah dari laki-laki. Ternyata kasusnya hanya dalam pembagian
antara anak laki-laki dan anak perempuan saja. Namun secara umum, sering kali
terjadi malah seorang wanita mendapat warisan lebih banyak dari yang didapat
oleh seorang laki-laki. Bahkan bagian perempuan dalam banyak kasus justru lebih
banyak dari bagian laki-laki. Seorang ibu terkadang bisa dapat 1/3 bagian dari
warisan anaknya, sementara seorang ayah tetap mendapat 1/6.
Sudah umum diketahui pada zaman pra-Islam,
perempuan Arab diperlakukan secara tak wajar. Mereka bukan hanya tak
mendapatkan warisan ketika salah seorang keluarga intinya ada yang meninggal
dunia, melainkan juga kerap diperlakukan sebagai barang yang bisa
dipertukarkan. Ketika sebuah peperangan meletus, misalnya, tawanan perempuan
langsung menjadi budak yang boleh diperlakukan sesuai kehendak dan kemauan sang
majikan.
Begitu mengenaskan posisi dan kedudukan
perempuan pra-Islam, sehingga salah satu keluarga dari mereka ada yang merasa
malu ketika mempunyai anak perempuan. Digambarkan dalam Alquran, واذا بشر احدهم بالانثى ظل وجهه مسودا (apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah). (QS,
al-Nahl 58-59).
Menurut Qatadah, sebagaimana dinukil
Al-Qurthubi, ayat di atas sebenarnya menjelaskan sekaligus mengritik kebiasaan
orang-orang Mudlar, Khuza`ah, dan Bani Tamim yang membunuh anak-anak perempuan
mereka hidup-hidup.[20].
Motif pembunuhan itu pun beragam; ada yang
karena cemburu (al-ghayrah), memandang rendah perempuan (al-hamiyah),
takut miskin dan memberikan nafkah (khaufan min al-faqr wa luzum al-nafaqah).
Jadi perempuan bukan hanya dianggap
sebagai beban psikologis, melainkan juga beban sosial dan ekonomi. Dalam
kondisi demikian, Islam hadir untuk memanusiakan perempuan. Islam bukan hanya
mengeritik kebiasaan buruk sebagian keluarga Arab dalam memperlakukan
perempuan, melainkan juga melakukan sejumlah advokasi dan secara bertahap
hendak mensejajarkan perempuan dan laki-laki sesama makhluk Allah Ketika anak
perempuan tak mendapatkan warisan dari keluarga, maka Islam menetapkan bahwa
bagian anak perempuan adalah separuh bagian laki-laki.
Allah berfirman, لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ Ketetapan
Alquran ini mengundang reaksi berlebihan dari masyarakat. Mereka berkata bahwa
Muhammad tak menghargai tradisi, karena ia telah menciptakan hukum yang
menyimpang dari kebiasaan masyarakat Arab. Dengan penjelasan ini diketahui
bahwa pada mulanya ketentuan 2: 1 itu untuk menghargai perempuan bukan untuk
mendiskriminasikannya.
Kemudian apabila ada pertanyaan, kenapa wanita hanya mendapatkan
separuh dari bagian laki-laki seperti dalam ayat: يُوصِيكُمُ
اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ“Allah
mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian,
yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)
Maka dijawab,
inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih
besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan
nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan
beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari
penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali
lipat daripada bagian wanita. [21]
KESIMPULAN
Anak yatim memiliki hak yang sama
seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, mereka memang memerlukan perhatian yang
lebih, karena ketiadaan orang yang bertanggung jawab dalam menafkahi mereka. Tanggung
jawab akan pemeliharaan mereka diserahkan sepenuhnya kepada keluarga terdekat
mereka, dan jika tidak ada maka ia menjadi tanggung jawab umat Islam. Pengasuhan
anak yatim, meliputi:
1. Perawatan anak yatim, yakni
memperlakukan mereka secara patut dan tidak membeda-bedakan dengan anggota
keluarga lainnya, baik dalam hal pakaian, makan, minuman, maupun tempat
tinggal, sehingga mereka tidak merasa terhina.
2. Pembinaan moral bagi anak
yatim, yakni upaya untuk membantu mereka dari segi pendidikan dan pembinaan
akhlak yang mulia. Anak yatim juga merupakan generasi penerus bangsa yang
dipundaknyalah kelak tergantung kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Jika
akhlak mereka buruk, maka akan berdampak pada masyarakat.
3. Alquran memberikan tuntunan
terhadap para wali anak yatim dalam penggunaan harta mereka agar tidak
mencampur adukkan hartanya dengan harta anak yatim, untuk menghindarkan diri
dari memakan hak anak yatim di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh
syariat. Adapun bagi wali yang miskin, maka ia diperkenankan mempergunakan
harta anak yatim itu apabila dalam keadaan terpaksa dan hanya seperlunya saja.
Wali juga harus mengadakan saksi saat tiba waktu pengembalian harta anak yatim,
yakni ketika ia telah dewasa. Dan bagi orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, Allah mengancam dengan adzab yang pedih kelak di akhirat.
4. Poligami
merupakan syari’at yang dipilih Allah untuk kemaslahatan ummat-Nya.
5. Suami diperintah untuk berlaku baik dan adil pada
semua istrinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan pergaulilah oleh kalian mereka (para istri) secara patut.”
(An-Nisa`:19)
Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau juga
berbuat yang sama. Allah berfirman dalam hal ini: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228) Rasulullah bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga. Dan aku adalah orang yang
paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.”
6 .Bila seorang suami bercerai dengan
istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya. والعلم عند الله وهو الهادي الى سواء السبيل
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik
dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qâmûs Al-‘Ashriy ( Kamus Kontemporer)
Arab-Indonesia, cet. IV, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998.
Bâqi, Fu’ad ‘Abd al-, Al-Mu’jam
al-Mufahraz li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, : Maktabah Dahlan, t. th.
Farmawiy, Abd
al-Hayy al-, Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’iy, Dirâsah Manhajiyyah
Hasyimi, ‘Abd
al-Hamid al-, al-Rasûlu al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh
Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik Ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2001.
Hayat,
Zakiyatul, Pemeliharaan Anak Yatim Dalam Persfektif Alquran, Skripsi,
Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002.
Hidayat,
Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah Alquran, Bandung: Mizan, 1999.
Jurjâniy,
‘Aliy ibn’ Muhammad al-, Kitab al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M.
Marâghiy,
Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu
Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha
Putra, 1986.
Math, Muhammad
Faiz al-, Min Mu’jizât al-Islâm, diterjemahkan oleh Masykur Halim dengan
judul Keistimewaan-keistimewaan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Quthb, Sayyid , Fî Zhilâl al-Qur’ân,
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah
dengan judul Tafsir Fi Zhilal Alquran: Di bawah Naungan Alquran, jilid
II dan IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
[1] Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qâmûs
Al-‘Ashriy ( Kamus Kontemporer) Arab-Indonesia, cet. IV, Yogyakarta: Multi
Karya Grafika, 1998.
[3] (HR.
Bukhari).
[4] H.R. Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Umar
bin Khattab
[5] Marâghiy, Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir
Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I,
juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha Putra, 1986.
[6]
Rasyid Ridho Al manar,. 344-345
[12] Ali Ahmad al-Jarjawi, 10.
[13]
Abdurrahman Abu
Bakr al-Jazairi, tt : 239)
[16] Hasyimi, ‘Abd al-Hamid al-, al-Rasûlu
al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik
Ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
[17] Quthb, Sayyid , Fî Zhilâl al-Qur’ân,
diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah
dengan judul Tafsir Fi Zhilal Alquran: Di bawah Naungan Alquran, jilid
II dan IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
[18] HR
Ibnu Majah dan Daruquthni. Suyuthi memberi tanda shahih
[19]
Marâghiy,
Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu
Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha
Putra, 1986.
[21] Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160
Ulasan mengenai anak yatim di atas memang bagus sebagai bahan renungan bagi kita yang memiliki harta lebih untuk memperhatikan anak-anak yatim.
BalasHapusTerlebih, Rosul pun menganjurkan kita untuk memperhatikan mereka ..
Hormat saya pda admin Al-Imamah
PENULISTOLONGTANGTUGAS