Rabu, 09 Februari 2011

INTERAKSI PEMIKIRAN FILSAFAT DAN DOGMA



Studi Analisis tentang pasang surut Filsafat
serta benturan dan keselarasanya dengan Dogma

Bismillahirrahmanirrahim

I. PENDAHULUAN
A. Islam sebuah Peradaban
Islam sebagai sebuah peradaban memiliki peran fundamental dalam berbagai hal termasuk dalam hal dialektika peradaban secara universal. Keterlibatan intens dari para ilmuan dan cendekiawan Muslim untuk mengapresiasi dan mengadapsi warisan serta berbagai pencapaian ilmiah hingga kini masih seringkali diingkari oleh sebagian besar intelektual Barat. Sehingga penghargaan yang maksimal terhadap peranan filsuf Muslim dalam upaya menjembatani terputusnya mata rantai antara filsafat Yunani dan filsafat Barat, tampaknya tidak pernah benar-benar terjadi. Deskripsi mengenai filsafat Islam hanya menempati porsi yang sangat minim pada buku-buku sejarah filsafat yang ditulis oleh ilmuan Barat.
Hal tersebut merupakan indikasi dari kesalahpahaman sebagian pemikir Barat, atau pembacaan yang tidak selesai terhadap filsafat Islam karena “selubung prasangka” yang berlebihan terhadap Islam. Ironisnya, fakta tersebut tidak diikuti oleh sikap kritis para pemikir Muslim belakangan, atau malah justru mengadopsi pemikiran Barat tertentu dan mempromosikannya sebagai wahana berfikir yang pantas untuk diimani. Melalui makalah ini akan dipaparkan secara singkat pasang surut filsafat Islam serta benturan dan keselarasanya dengan Dogma, Di mana sesungguhnya telah terjadi peresapan nilai-nilai filosofis pada beberapa penafsiran filsuf Muslim mengenai hakekat ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Hal ini menimbulkan respon yang keras dari para ulama dan fukaha, karena dianggap akan mengancam eksistensi pemahaman agama yang berdampak pada pendangkalan keimanan karena kerancuan spekulasi filosofis yang menyesatkan. Sampai-sampai Imam Syafi’i berfatwa untuk menghukum para pengikut ajaran filsafat, dengan mengikatnya di atas keledai dan diarak keliling kota, kemudian disuruh bertaubat.
II. PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Filsafat Islam
Dari segi bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya Cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar katanya, Filsafat mengandung arti ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. Adapun pengertian filsafat dari segi istilah: adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian muncullah apa yang disebut dengan filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain sebagainya sehingga dalam  hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :
Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti.
Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.
Adapun pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Maka seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk hanya kepada Allah SWT.
Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Dari pengertian filsafat dan Islam  diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat Islam, adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya Filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an,mencari jawaban mengenai masalah-masalah yang mendasar berdasarkan  wahyu  Allah[1].
Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Sehingga dengan berfilsafat, seseorang akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, serta selalu menghargai pendapat orang lain.
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta universal.

B. Sekilas tentang  timbulnya Filsafat Islam.
Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan kejayaan Dinasti Abbasiyah di bawah pemerintahan Harun al rasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.  Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme,serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, sehingga dapat dibaca ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalangan umat Islam.
C. Tujuan dan manfaat mempelajarinya.
Adapun tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididk, membangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk ciptaan Tuhan
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.
3. Pengaruh Filsafat Islam terhadap berbagai studi keislaman, khususnya dalam bidang tasawuf, teologi, dan fiqih. Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah, sebagaimana Tasawuf ada yang disebut dengan Tasawuf Amali ada pula Tasawuf Falsafi. Sehingga dari pengelompokan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamaat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al- wujud). Namun setelah abad ke-6 Hijriah terjadila percampuran anatara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan nama Ilmu Tauhid. Yaitu pembmahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok,maka Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.[2]
Demikian pula dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur an yang berkenaan dengan hokum selalu diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syaikh Mustafa Abdurrazaq dalam bukunya yang berjudul Tauhid Li Tarikhil Falsafatil Islamiyah menyatakan” bahwa Ilmu Ushul Fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasarnya oleh Imam Asy-Syafi’ie, tentu saja bias dilihat  dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat.
D. Awal  perkembangan Filsafat Islam
Theologi skolastik merupakan awal penyerapan doktrin-doktrin filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada kisaran abad ke-2 H/8 M, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis, ilmiah, cemerlang serta kuat, yang menghasilkan karya-karya orisinal dan bernilai tinggi pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-6 H/12 M . Secara intelektual, gerakan falsafah merupakan hasil gerakan penerjemahan yang dilakukan secara massif pada masa Khalifah al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya Dalam hal ini jasa Hunain bin Ishak dan putranya tidak dapat dilupakan. Fazlur Rahman, mengatakan “bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun sistem filsafat Islam berasal dari Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Tetapi konstruksi aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas mengapresiasi doktrin teologis agama Islam .
 Upaya para filsuf Muslim untuk menciptakan jalinan yang harmonis antara metafisika religius Islam dan metafisika Yunani dengan pendekatan watak Yunani yang rasional menimbulkan respon keras para ulama dan fukaha. Karena dianggap gagal memenuhi tuntutan ortodoksi, filsafat Islam diberangus secara tragis dan tidak diizinkan untuk berkembang. Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filsuf Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural . Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Dalam hal ini Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjana-sarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Demikian  semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847) [3]
Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan -penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam sementara “filsafat pertama” atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi.
Menurut Al-Kindi Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Al-Kindi percaya bahwa Allah memustahilkan manusia dapat memahamiNya sepenuhnya. Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batas tertentu. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir .
Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Berbagai pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme daripada monotheisme dan kebijaksanaan Ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mu’tazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut . Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, maka akallah yang mesti didahulukan
E. Perkembangan Neo-Platonisme
Dalam Filsafat Islam.Kecenderungan Neo-Platonik yang telah ada secara implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan dalam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks . Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar . Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang “esensi” dan “eksistensi”, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal . [4]
Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari .Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya). Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi. [5]
F.  ANALISA
1. Filsafat Islam dan  Ortodoksi  Agama
Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Tiga rangkaian plotinian tentang Tuhan, jiwa dan materi tempat mereka membangun dunia sesuai dengan rangkaian numerikal yang menjadi sumber bilangan. Meskipun mereka menghargai Pythagoras, “sang bijaksawanan” yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka . Selain itu, sebelum terjadi benturan ada beberapa tokoh yang menyebarluaskan budaya filosofis pada kisaran abad kesepuluh, seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, dll.
            Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa “mihnah” (inquisition) pada periode Al-Ma’mun yang senantiasa berupaya mempropagandakan doktrin Mu’tazilah, dan kemenangan partai Hanabalah dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asy’ari, Al-Baqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asy’ariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi berbagai proposisi, dimana sebagian besar (pernyataan) metafisik dan sebagian proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan ajaran Agama . [6]
Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga hal yang urgen dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orang-orang yang membenarkannya dianggap  murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akherat . kemudian proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bid’ah. Menurut Amin Abdullah, perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsi-asumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri  melalui “intuisi” . sekalipun demikian banyak yang mengatakan bahwa prestasi Al-Ghazali dalam Tahafut sebagian besar bersifat semantik karena dia tergolong filsuf pertama, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, yang membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu pada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya. [7]
Walaupun demikian, menurut banyak orang penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat upaya penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathiniyah) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan Al-Ghazali pada kitab Al-Munqidh min Dhalal: “Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu-- menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut, saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharapkan kedudukan terhormat itu tujuan dan niat saya” . Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptis ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran.[8]
            Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang “terlarang bagi selain yang berkompeten”. Ironisnya, buku Tahafut ini dijadikan senjata oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya tanpa pernah disadari buku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar. Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asy’arian terhadap filsafat, dan membuat “falasifah” menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang  “tidur dogmatik” kaum Muslim.
            Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd . Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut. Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad. Sebagaimana diketahui bahwa gerakan Averroisme telah menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di Barat. Sementara itu dalam lingkungan Syiah, filsafat Islam telah mengkristal menjadi paham iluminasi (isyraqiyyah) yang kompleks, dimana doktrin filsafat Suhrawardian dikawinkan dengan doktrin mistik Ibnu Arabi, dan melahirkan sistem filosofis yang sangat pelik. Sistem filsafat ini kemudian populer dengan istilah irfan atau ilmu hudluri, dan utamanya bermuara pada pemikiran filsafat Shadr Al-Din al-Syirazi.[9]
2. Masa Peralihan dan keselarasan antara Filsafat dan Dogma
Hidup dimasa peralihan dari abad ke-11 menuju abad ke-12, al-Ghazali menyaksikan kekacauan politik dan agama yang mendera umat Islam. Gerakan Fatimiyyah yang didukung Bani Buwaihi, memberontak untuk melawan khalifah Abbasiyah Sunni yang bermarkas di Baghdad. Secara eksternal, umat Islam berhadapan dengan pasukan Salib Perancis, yang pada tahun 1098 M. berhasil merebut Palestina. Pada saat yang sama, perdebatan teologis juga merembet pada konflik politik. Kaum Muktazilah dan kaum Syi’ah mendukung Bani Buwaihi, sedangkan kaum Asy’ariah dan kaum sufi-moderat mendukung Bani Saljuq (Sunni) yang berusaha menghadapi gerakan Batiniyah (Syiah Ismailiyah). Imam Al-ghazali berada pada zaman yang serba dilematis, baginya, menyelamatkan akidah umat Islam (Sunni) dari kebingungan dan kerancuan filsafat adalah yang paling primer, sehingga wajar apabila ia menjadi satu-satunya tokoh pembela ortodoksi yang bersemangat ketika itu.
 Al-Ghazali berusaha menekankan bahwa umat Islam tidak boleh menggantikan metafisika Qur’an dan Sunnah dengan metafisika Yunani. Wahyu monotheis tidak boleh ditukar dengan mitos politheis. Hukum kausalitas, sebagai salah satu teori pengetahuan, pada waktu itu benar-benar menantang prinsip kenabian, khususnya mukjizat. Al-Ghazali harus menghadapi filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang meyakini kausalitas sebagai basis epistemologi mereka . Konsep prima kausa Aristoteles menyimpulkan bahwa hubungan antara sebab dan akibat bersifat niscaya, sehingga fakta-fakta teologis seperti mukjizat mustahil terjadi. Kritik Al-Ghazali pada kausalitas bertujuan untuk menegakkan mukjizat dan menegaskan superioritas Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Disinilah letak sumbu permasalahan, di mana Al-Ghazali kemudia dihakimi oleh para modernis sebagai biang keladi kemunduran Islam.
Melalui Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd, melihat bahaya yang akan ditimbulkan oleh serangan Al-Ghazali, berupaya meyakinkan semua pihak bahwa hukum kausalitas merupakan suatu yang niscaya dan bukan suatu yang mungkin. Ibn Rusyd mengingatkan bahwa menolak kausalitas sama saja dengan menolak kemampuan intelektual dan mengembangkan sains. Peringatan ini telah terbukti, umat Islam yang terpengaruh pemikiran al-Ghazali terjatuh ke dalam keterbelakangan saintifik dan teknologis. Gerakan modernisme yang melihat kenyataan ini mengkritik habis-habisan teori kausalitas Al-Ghazali dan memasarkan pandangan Ibn Rusyd secara lebih kuat, contohnya Al-Jabiri dengan proyek kritik nalar Arabnya,sehingga keselarasan antara filsafat dan Agama bisa didasarkan pada tiga hal yaitu :
1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat, saling berkesuaian
3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama [10]

Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti ainiah, kerena Tuhan tidak termasuk dealam benda-benda yang ada dalam alam, akan tetapi Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya mengandung arti banyak [11]
Demikian pula halnya filsafat jiwa, menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah Roh menentang keinginan hawa nafsu, bahkan Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat -fal safah al taufiqhiyah- atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. 
Dalam hal metafisika  Wajib al wujud adalah tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah menjadi actual tanpa adanya wuijud yang menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud.[12]
Pendapat al Farabi tentang jiwa dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, berbentuk,berupa,berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Tentang Teori kenabian yang di ajukan al Farabi di motifisi pemikiran filosof pada masanya yang mengingkari konsistensi kenabian oleh Ahmad ibn Ishaq al Ruwandi yang berkebangsaan yahudi dan Abu baker Muhammad ibn Zakariya al Razi.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.[13]
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu. Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani. [14]
Demikian pula dengan Ilmu agama menurut Al-Farabi dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam teologi.Begitu pula dengan Ibnu Sina mengatakan “tentang Wujud  Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan.
Permasalahan Al Tawfiq (rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat  Sebagaimana Al Farabi, Ibn Sina juga mengusahakan pemanduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filsof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang disebut juga sebagai akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi, tejadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil, yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad.  Emanasi  Emanasi Ibn Sina menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya Al Farabi, masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya.
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia dalam empat kelompok : mereka yang kecakapan teoritisnya sudah mencapai tingkatan penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan kemampun menimbulkan gejala-gejala aneh di dunia. Kemudian ia mempunyai daya kekuatan intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang mengungguli sesamanya hanya dengan ketajaman daya praktis mereka. [15]

III. PENUTUP
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam telah berperan secara signifikan di dalam konstelasi pemikiran filsafat secara global. Selain itu para filsuf Muslim telah berhasil menjadi komentator-komentator yang handal pada pemikiran Yunani dan berupaya menemukan titik temu antara filsafat dan doktrin agama Islam, walaupun tetap dengan memakai baju “Neo-Platonik”. Akan tetapi ketulusan ilmiah para filsuf kemudian disalahpahami oleh Al-Ghazali, dan membuat serangan yang mematikan melalui buku Tahafut. Akibatnya ummat Islam tetap tertidur pulas pada mimpi dogmatik selama berabad-abad. Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah kaum Muslim sudah terjaga dari tidurnya atau tidak, karena kita masih mendapati kelompok-kelompok Muslim yang menganggap filsafat sebagai sosok hantu yang sangat menakutkan. Wallahu A’lamu Bishawwab.

DAFTAR PUSTAKA PENUNJANG
1.  Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut Al-Falasifah, terj. Akhmad Maimun, Islamika, Jogjakarta, 2003.
2. Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam (Antara Al-Ghazali dan Kant), terj. Hamzah, Mizan, Bandung, 2002.
3. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
4. M. Higgins, Kathleen dan C. Solomon, Robert, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu, Bentang, Jogjakarta, 2002.
5. Rahman,Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.
6. Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh Versus Hermeneutika, Pesantren Nawasea Press, Yogyakarta, 2006.
7. Yazdi, Mehdi Hairi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Ahsin Muhammad, Mizan, Bandung, 2003.
8. Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam
9. M.A., Prof. Dr. H. Sirajudin Zan. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
10. Wiyastini, Dra. 1984. Unsur-unsur Filsafat Islam. UGM
11. Rahardjo, M. Dawam. Krisis Pradaban Islam


[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002). 1
[1] Clement CJ. Webb, A History Of Philosophy. (London: Oxford University Press, 1949).

[2] Taufiq Thawil, Usus al-Falsafah. (Kairo: Dar al-Nahdasah al-Arabiyah, 1979). 45


[3] -Taufiq Thawil, Usus al-Falsafah. (Kairo: Dar al-Nahdasah al-Arabiyah, 1979). 45
-  Amin Abdullah, “Kajian Filsafat Ilmu”,
[4] Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
4. M. Higgins, Kathleen dan C. Solomon, Robert, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu, Bentang, Jogjakarta, 2002.
[5] Taufiq Thawil, Usus al-Falsafah. (Kairo: Dar al-Nahdasah al-Arabiyah, 1979). 45
[6] Harun Nasution, Filsafat Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). 9
[7] Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut Al-Falasifah, terj. Akhmad Maimun, Islamika, Jogjakarta, 2003.
 8.Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam (Antara Al-Ghazali dan Kant), terj. Hamzah, Mizan, Bandung, 2002.


[9] Rahman,Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung, 2000
[10] . M.A., Prof. Dr. H. Sirajudin Zan. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
[11] . Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam

[12]  Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
[13] Koento Wibisono S. dkk., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997).
[14] Harun Nasution, Filsafat Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). 9
[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002)

1 komentar:

  1. kalo bisa poskan lagi lebih banyak contoh makalah seperti itu dan makalah-makalah yang lain, insyaallah akan bermanfaat

    BalasHapus