Senin, 30 Mei 2011

KAIDAH ISIM


by Abu Izzat 
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan bahasa arab agar kamu memahaminya” (Yusuf: 2

PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim
Sebagai sumber ajaran islam yang pertama al-Qur’an berfungsi sebagai petuntuk bagi manusia ke jalan yang diridhai Allah dan berfungsi pula sebagai pencari jalan keluar dari kegelapan menuju alam yang terang. Fungsi ideala al-Qur’an itu dalam realitasnya tidak begitu saja dapat diterapakan, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisis yang mendalam. Harus diakuai ternyata tidak semua ayat al-Qur’an sudah siap pakai. Banyak ayat-ayat yang masih global dan musytarak yang tentunya membutuhkan pemikiran dan analisis khusus unutk menerapakannya.Dalam upaya pemusatan pemikiran dan analisis dalam menetapkan sekaligus ketentuan hukum yang dikandung dalam al-Qur’an itulah diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam melakuakan penafsiran sendidri memerlukan beberapa langkah dan cara yang tepat dalam menafsirkan al-Qur’an. Penafsir harus mengetahuai kaidah-kaidah penafsiran terlebih dulu.
Latar belakang
Ketika islam tersebar ke berbagai penjuru dunia, dan ummat islam mulai berhubungan dan berkomonikasi dengan bangsa lain ternyata mempengaruhi terhadap perkembangan bahasa arab sebagai bahasa ummat islam. Bahasa arab yang seharusnya dijaga kefasihannya, akibat bercampur dengan bangsa lain menyebabkan Bahasa Arab digunakan tidak sebagaimana mestinya yakni telah terjadi apa yang disebut dengan lahn (kesalahan). Lahn bermula dari kesalahan membaca  kalimat-kalimat Arab antara orang Arab dan orang-orang pendatang.Banyak Ulama berpendapat bahwa yang menyebabkan adanya keharusan mempelajari I’rab adalah karena adanya kesalahan-kesalahan didalam menggunakan bahasa arab, dan ini berlangsung antara orang Arab dan orang-orang pendatang sejak awal. Fenomena lahn tersebut telah mengundang keprihatinan pemerhati bahasa arab, antara lain Abu al Aswad al Dualy (yang disebut-sebut peletak ilmu nahwu pertama kali ). Beliau menciptakan lambang-lambang untuk menandai harakat, baik fathah, kasrah dan dhommah, yang selanjutnya disempurnakan oleh generasi berikutnya dan oleh para pemerhati bahasa arab hingga sampai selengkap seperti sekarang ini.[1]
Ada beberapa macam kaidah dalam penafsiran Alqur an yang kesemuanya mempunyai cabang kaidah tertentu. Dan salah satunya adalah kaidah Isim, meliputi : mufrad,tathniyah dan jamak, mudakkar muannath,pengulangan kalimat, mu’rob mabni dan lain sebagainya. Selain terdapat dalam ilmu gramatika bahasa arab, dalam memepelajari tafsirpun terdapat bermacam kaidah. Walaupun memang tidak begitu banyak yang diakitkan tapi perlulah kita mengakaji tentang kaidah–kaidah itu untuk mengetahui secara mendalam tentang kaidah penafsiran al-Qur’an.
Dalam hal ini terdapat kata kunci yang penting untuk digarisbawahi dan memang menjadi kajian pokok dalam makalah ini, yaitu kaidah isim dibuat supaya tidak terjadi lahn, yakni tidak terjadi kesalahan  dari para pendengar maupun pembaca dalam menangkap tujuan dan maksud sebuah kalimat. [2]
Fungsi Kaidah isim
Yang dimaksud “fungsi kaidah isim” dalam makalah ini adalah memposisikan kaidah isim sebagaimana hakikat dan fungsi bahasa pada umumnya, yaitu sebagai alat dalam memahami suatu kalimat.
Sebagai gambaran betapa besar penting dan manfaat kaidah didalam pemahaman sebuah kalimat, dan dalam menjaga kemurnian serta  keutuhan makna dan maksudnya, barang kali bisa kita lihat ilustrasi berikut:
Suatu hari Abu al aswad al Dualy mendengar seorang membaca al Qur'an:ان الله بريئ من المشركين ورسولٍه  ( kata رسوله ) dibaca kasrah ), maka beliau mengingatkan kataرسوله  harus dibaca dhammah. Karena akan berpengaruh terhadap arti dan maksud ayat. Kalau kata رسوله (dibaca kasrah ), terjemahannya: Sesungguhnya Allah bebas dari orang-orang musyrik dan rosul-Nya, padahal kalau  (dibaca rafa’) terjemahannya adalah : Sesungguhnya Allah dan rosul­-Nya terbebas dari orang-orang musyrik. [3]
Dari illustrasi diatas betapa pentingnya sebuah Kaidah untuk mengantar seseorang dapat mengungkapkan sebuah maksud dengan tepat, dan orang yang diajak bicarapun mampu menangkap dan memahami maksud dan tujuan tersebut, bisa jadi karena kesalahan tatabahasa seseorang akan menangkap dan memahami suatu kalimat yang tidak sesuai dengan maksud suatu bacaan atau tulisan.
Klasifikasi Kata
Dalam tata bahasa Arab, kata sebagai satuan terkecil bahasa bisa diklasifikasikan menjadi beberpa bagian. Kata, dalam bahasa Arab, dibagi menjadi: isim, fi'il dan huruf. Selanjutnya isim (dalam makalah ini) ada yang mu'rab dan ada yang mabni, ada yang mudzakkar dan ada yang muannath, dan sebagainya.[4]
Definisi Isim
Isim adalah kalimat yang mempunyai makna dan tidak bersamaan dengan salahsatu zaman yang tiga,yaitu: (حال)sedang,(استقبال)akan,dan(ماض)telah.
Yang di maksud tidak bersamaan dengan salah satu zaman yang tiga adalah apabila arti kalimat tersebut di beri tambahan salah satu zaman yang tiga tidak dapat di terima akal atau tidak pantas.[5] 
Contoh  : كتاب . Kata ini termasuk isim, karena arti dari kata ini apabila di tambah dengan salah satu zaman yang tiga (telah kitab, sedang kitab, akan kitab) tidak dapat di terima akal atau tidak pantas. Kalau dibandingkan dengan kata كَتَبَ . Kata ini tidak termasuk isim, karena apabila di tambah dengan salah satu zaman yang tiga (telah menulis, sedang menulis, akan menulis)dapat di terima akal atau pantas.
Tanda dan kaidah isim
Ada beberapa tanda yang terletak pada suatu kata sehingga menunjukkan bahwa jenis kata tersebut adalah Isim. Tanda-tanda Isim tersebut adalah:
-         Tanda dari segi artinya
Untuk mengetahui apakah kata tersebut termasuk isim, dapat dilihat dari maknanya, atau bisa disandarkan kepada kata yang lain baik dia itu subjek (fa’il) atau pemulaan kalimat (mubtada). Contoh عاد المسافرون isim di sini bersandar pada fiíl yang menunjukkan ia adalah fail, contoh mubtada مسافر.خالد . [6]
-         Tanda dari segi Lafadznya, adalah :
1.    Tanwin ( التنوين ) yaitu bunyi nun sukun pada akhir kalimat
Ø   Tanwin adalah tanda baca berupa bunyi nun mati yang terdapat di akhir kata sifat atau kata benda yang ditandai dengan harakat double ــًـ ــٍـ ــٌـ. Tanwin mengandung arti sebuah”, “seorang”, “sepucuk”, “sebutir”, dll. yang menunjukkan pengertian “tidak tertentu” Contoh, خالدٌ dan قانتاتٍ. = Isim karena ada tanwin.
2.     Dapat dimasuki dan dihubungkan dengan Alif dan Lam /أل  pada awal kata.
Kaidah:
Setiap kata yang didahului oleh أل atau dapat menerima أل kata tersebut adalah Isim. Contoh, المؤمن = orang mukmin, ini adalah Isim ditandai adanya أل di awal. Dan jika terdapat alif dan lam (أل) masuk pada isim jenis (seperti manusia, jin dll) atau masuk pada isim sifat (nama sifat), maka menunjukkan istigroq, yakni menunjukkan makna yang mencakup keseluruhan dari jenis atau sifat yang dimasukinya. Contoh dalam surat Al-Ma’arij ayat 19-22:
إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا – إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا – وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا – إِلاَّ الْمُصَلِّينَ
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”
Pada ayat ini terdapat isim jenis, yakni pada kata الْإِنْسَانَ, dan terdapat pada kata ini alif dan lam. Berdasarkan kaidah di atas, maka makna kata ini mencakup keseluruhan dari manusia, yang artinya semua manusia itu mempunyai sifat keluh kesah dan kikir, kecuali orang-orang yang telah Allah kecualikan, yakni orang-orang yang sholat.
3.    Dapat dimasuki Jarr الجر. Baik jarr disebabkan adanya huruf jarr maupun karena Idhafah. Contoh, الحراس على السطحِ , kata Sathi dibaca kasrah karena dimasuki huruf jar yaitu Ála. Contoh Idhafah كتاب الطالبِ kata At Thalibi dibaca kasrah (jarr) karena bersandar kepada buku.
Huruf Jarr dimaksud adalah : مِن = dari (permulaan), إلي = ke, kepada, عَن = dari (lepas, meninggalkan), علي = atas, في = di, di dalam, رُبَّ = barangkali, kadang-kadang, الباء = dengan, الكاف = seperti, اللام = untuk. Dan termasuk juga huruf-huruf sumpah حروف القسم, yaitu; الواو, الباء, dan التاء. Contoh; واللهِ, بِاللهِ, تَاللهِ,
4.   Bisa dimasuki Harf Nida (panggilan) contoh, يا زيدُ  dimasuki Ya nida.
5.    Bisa digabung dengan isim lain membentuk kata majemuk.Contoh : نَصْراُللهِ (pertolongan Allah ). Merupakan dua buah isim yang digabung menjadi satu dan menghasilkan satu makna.
Catatan
Tanwin dan Alif Lam ((أل merupakn tanda isim, tetapi  keduanya tidak dapat berada pada satu isim secara bersamaan. Contoh : نُوْرٌ ketika dimasuki alif lam akan menjadi اَلنّوْرُ  (tanwin-nya dihilangkan).[7]
Begitu juga dalam Al-Qur’an banyak dijumpai kalimat yang diungkapkan dalam  bentuk kalimat isim/jumlah Ismiah dan kalimat fi’il/jumlah fi’liyyah. Penggunaan kedua model tersebut mengandung maksud yang berbeda.  Mayoritas Ulama’ tafsir membuat kaidah sebagai berikut;
Kaidah :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar