Jumat, 11 Februari 2011

KHAWARIJ DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH TEOLOGI ISLAM


Telaah analisis tentang doktrinitas dan perjalanan pemikiran Teologi Khawarij

Bismillahirrahmanirrahim
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at menjadi khalifah yang ketiga menggantikan ‘Utsman.
Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali pasca peristiwa tersebut, sementara Syi’ah mengkultuskan ‘Ali sedemikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali di mata mereka  adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politis tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (sebutlah: teologi)
MAKALAH ini akan menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, menurut Muhammad Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.[1]
Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara lebih jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner, dengan menggunakan Kata kunci: doktrin, teologi, pemikiran Islam, khawarij.


BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Asal-Usul dan Perkembangan Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Pemerintahan Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang mereka anggap  tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, ‘Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas terbunuhnya ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh. Tetapi setelah ‘Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang ‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang ‘Ali.
Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus ‘Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, ‘Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.
Makalah ini tidak akan menguraikan tentang perang Shiffien secara rinci, yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian besar pengikut ‘Ali. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti. [2]
Benar saja, segera saja sebagian pengikut ‘Ali menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah. ‘Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. ‘Ali megatakan; “’Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, ‘Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan ‘Ali mereka menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya?” ‘Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.” Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’– salah satu unsur koalisi pasukan ‘Ali–mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap ‘Utsman.
Setelah ‘Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’as’ats ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus ‘Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak ‘Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa ‘Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada ‘Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara ‘Ali menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi ‘Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.
Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan ’Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan ‘Utsman, Sa’id ibn ‘Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok. Sebaliknya ‘Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena ‘Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktif dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sebagai Hakam, Abu Musa berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un. Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun ‘Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan ‘Amru sangat kenal dengan Syiria.[3]

Perundingan di Daumah al-Jandal itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.
Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan ‘Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amru ibn ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”.
Dalam hal ini kami sepakat dengan Hasan Ibrahim Hasan yang meragukan kebenaran kisah tersebut. Menurut dia, mengutip Al-Mas’udi, kedua juru runding tersebut tidak pernah berpidato menyampaikan hasil perundingan mereka. Mereka memang sepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dan menyerahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin untuk memilih Khalifah baru. Bahkan Hasan menyatakan bahwa para sejarawan telah menzalimi Abu Musa dengan menuduh kalah cerdik dari ‘Amru. Kemungkinan besar pelecehan terhadap kemampuan diplomasi Abu Musa itu, menurut Hasan, karena pendapat Abu Musa dalam perundingan itu tidak sejalan dengan pendapat ‘Ali dan Bani Hasyim walaupun sejalan dengan pendapat sebagian besar kaum Muslimin waktu itu.
Kenapa kemudian kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena ‘Amru telah membai’ahnya, tapi karena memang’Ali tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Mu’awiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffien, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Mu’awiyah semakin solid, apalagi Mu’awiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman ‘Umar. [4]
B.     Analisa tentang timbulnya Khawarij
Setelah perundingan selesai sekarang kita kembali pada kelompok Qurrâ’. mereka berbalik menentang Tahkîm, padahal tadinya mereka juga mendesak ‘Ali menerima Tahkîm. Sekarang mereka kemukakan alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkîm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu ‘Ali lah (dalam konflik dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu ‘Ali yang beriman. Tahkîm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan لا حكم الا لله (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan camp ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di sanalah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khârij (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam haq yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan selanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka.
Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. [5]

C.     Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk menjustifikasi pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khishâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang menarik untuk kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Jadi kami kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka anggap sebagai dalil untuk membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka kami lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman. [6]
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafadz dan kehendak mereka sendiri dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam di zaman mereka.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
D.    Sikap ‘Ali terhadap extrimitas Khawarij
Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut : “Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!” Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai ‘Ali sebelum Tahkîm dan mengenai ‘Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?” ‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab, “Sesungguhnya ‘Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentang pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga”.
Kemudian  ‘Ali mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
Yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena, seperti sudah diungkap di atas, sudah menjadi dustûr mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû’. Yang termasuk ushûl menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-‘Ajaridah, ats-Tsa’Alibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furû’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-‘Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-‘Ajaridah.[7]

BAB  III
PENUTUP
Dari uraian di atas kami dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan. والعلم عند الله
KEPUSTAKAAN
1. Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975.
2. Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.
3. Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.
4. Ghazaly, ‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.
5. Grunebaum, G. E. von, Clasical Islam A History 600 A.D.-1258 A.D., Chicago: Aldine Publising Company, cet. I, 1970.
6. Hasan, Ibrahim Hasan, Târîkh al-Isâlm as-Siyâsi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimâ’iy, Cairo: Maktababah an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957.
7. Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi at- Târîkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965.
8. Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt.
9. Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.
10. Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
11. Asy-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim, Al-Milal wan-Nihal, Beirut: Darul Fikr, tt.
12. Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh al-Umam wal-Mulk, juz V, Lebanon: Darul Fikr, 1979.
13. Yahya, Mahayudi Haji, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 – 698 M), Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II, 1986.






[1] -Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.

[2]  - Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh al-Umam wal-Mulk, juz V, Lebanon: Darul Fikr, 1979.
     - Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi at- Târîkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965.
     - Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt.

[3]  - Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi at- Târîkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965.
     - Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt.

[4]  - Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.
    - Hasan, Ibrahim Hasan, Târîkh al-Isâlm as-Siyâsi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimâ’iy,: an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957.

[5]  - Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.
    - Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt.
[6]  - Ghazaly, ‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij   wa Auladih, cet. III. 1958.

[7]  - Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar