Selasa, 22 Mei 2012


ASPEK METODOLOGIS TAFSIR MAUĎU’IY SURAH
UPAYA PENELITIAN DAN PENELUSURAN
TAFSIR MAUĎU’IY  SURAH
oleh : Abu Izzat

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ( Q.47, Muhammad : 24 )


I. PENDAHULUAN
Al-Qur’ân merupakan kalam Allah yang dibahasakan dengan bahasa yang mendekati bahasa manusia karena peruntukannya memang sebagai hudan li al-nas. Dengan bahasa inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa maksud al-Qur’ân ketika bertutur dengan ayat-ayatnya. Pada saat awal al-Qur’ân diturunkan, Rasulullah berperan sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) tentang wahyu yang diterimanya. Rasulullah banyak menjelaskan arti dan maksud ayat yang tidak dipahami oleh para sahabat, khususnya menyangkut ayat-ayat yang mempunyai arti yang samar. Tugas sebagai mubayyin ini diemban Rasulullah sampai beliau wafat.
Sepeninggal Rasulullah, para sahabat yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni juga meneruskan tugas sebagai penjelas ayat-ayat Qur’an ini. Para sahabat banyak melakukan ijtihad tentang masalah-masalah yang dihadapi umat Islam saat itu. Mereka yang dikenal akrab dengan persoalan tafsir antara lain : ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud, sebagaimana dalam Hadith [1] Meskipun generasi kedua ini melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’ân, tetapi mereka tetap menggunakan hadis Nabi dan al-Qur’ân itu sendiri sebagai alat untuk menafsirkan kalam Allah.
Metode tafsir yang digunakan pada generasi sahabat juga tetap digunakan pada generasi berikutnya, yaitu generasi tabi’in. dan tafsir pada periode awal ini dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ma’thur dan dianggap sebagai tafsir yang paling tinggi tingkatannya. Periode Nabi, sahabat dan tabi’in adalah periode pertama dalam perkembangan tafsir yang berakhir pada sekitar tahun 150 H. Baru pada periode kedua, setelah zaman tabi’in, tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan ijtihad para ulama mulai berkembang mengingat banyaknya persoalan-persoalan yang muncul yang belum ada sebelumnya.
Pada perkembangannya corak dan metode tafsir juga menjadi beragam. Corak sastra, filsafat dan teologi, fiqih, tasawuf, dan juga corak sastra budaya kemasyarakatan. Begitu juga dengan metode penafsiran juga berkembang. Dari metode tahlilî (analisis) yang menjelaskan kandungan ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat sebagaimana yang ada dalam mushaf al-Qur’ân, sampai pada metode ijmalî, muqaran dan Mauđu’iy( tematik). [2]
 Metode yang terakhir inilah yang sekarang berkembang untuk menjawab persoalan-persoalan umat. Para ulama tafsir mencoba menjawab satu persoalan dengan menghimpun dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ân dari berbagai surat yang ada yang dianggap masih satu tema dengan persoalan tersebut. Dengan metode ini kita tidak perlu membuka semua lembar kitab tafsir untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan tertentu karena sudah dipilah-pilah dalam tema-tema yang terpisah baik berdasar ayat maupun surah.
II. PEMBAHASAN
Jika metode yang digunakan dalam tafsir selalu menggunakan urutan ayat-ayatnya dari awal hingga akhir surah, maka tafsir Mauđu’iy menggunakan tema per tema baik berdasar surah maupun ayat, sehingga tafsir tematik lebih fokus membahas sebuah tema tertentu dengan bimbingan dan pembahasan yang detail dan jelas. Begitu juga, bimbingan yang sangat jelas dan detail dalam upaya melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tematik berdasar surah al-Qur’an; dan (2) tematik berdasar subyek.
A.    Pengertian Metode Taafsir Mauđu’iy Surah
Kalimat “Metode Tafsir Mauđu’iy terdiri dari tiga rangkaian kata yaitu “Metode”, “Tafsir” dan “Maudu’y”, ketiga kata ini akan didefinisikan secara terpisah. Kata “Metode” secara etimologi berasal dari kata Yunani methodos, merupakan sambungan kata meta yang berarti menuju, melalui, atau mengikuti dan kata hodos yang berarti jalan, cara, atau arah. Dengan demikian maka kata methodos berarti: pengkajian, metode ilmiah, uraian ilmiah, yaitu cara bertindak menurut sistem aturan tertentu atau suatu cara dalam mengerjakan sesuatu obyek.
Kata Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang seacara morfologis berakar kata dengan huruf-huruf  ف  س dan ر yang bermakna “(بان) keadaan nyata dan jelas”. maka bentuk kata kerjanya adalah فَسَّرَ – يُفَسِّرُ yang bermakna memberikan penjelasan.
Kemudian kataموضوعي  adalah kata bentukan dari kata dasar وضع yang mempunyai beberapa arti, antara lain : meletakkan, merendahkan, menjatuhkan, menyusun/mengarang dan lain-lain. Kata موضوع sendiri adalah bentuk isim maf’ul dari وضع yang berarti “masalah atau pokok pembicaraan”. Dan yang dimaksud dengan Surah adalah salah satu surah dalam Alqur an.
Dari arti bahasan ini sudah bisa dipahami bahwa tafsir Mauđu’iy Surah adalah  menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud dengan cara membahas tentang beberapa hal yang terkait dengan Surah tersebut, seperti tempat, dan waktu turunnya,tujuannya dan hal-hal lain dengan menyertakan Nash yang mendukungnya .[3]
B.     Metode penelitian Tafsir Mauđu’iy Surah
Sebagaimana dijelaskan mengenai lahirnya metode Mauđu’iy sejak zaman Nabi, sebagai cikal bakalnya dan dari beberapa karya tafsir Mauđu’iy yang ada, maka Tafsir Mauđu’iy surah, yang merupakan penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur-an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, jadi mufasir membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksud surat baik yang umum dan yang khusus, dan menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang terkandung di dalamnya sehingga satu surat tersebut nampak membicarakan satu masalah yang utuh. Dengan demikian maka metode penelitian Tafsir Mauđu’iy surah dapat diringkas sebagai berikut :
1.                  Menetapkan surah tertentu yang akan dibahas dan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengannya, seperti latar belakang diturunkanya, Makkiyah atau Madaniyah, nama lain serta Melengkapi pembahasan dan uraian tema yang dipilih dengan hadis-hadis yang relevan. dan Hadis-hadis ini juga perlu ditakhrij untuk mengetahui darajat keshahihannya. Perlu juga dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dan tabi’in.[4]
2.                  Menjelaskan tujuan-tujuannya baik secara umum atau husus dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut serta kaitan antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut.
3.                  Menjelaskan bagian surat tersebut dari beberapa unsur ayatnya yang berkaitan dengan tujuan tertentu.
4.                  Menjelaskan korelasi antara beberapa unsur dan bagian dari surah tersebut serta hala-hal yang dapat diambil dari hasil gabungan itu. 
C. Cara Kerja dan tahapan Tafsir Mauđu’iy surah
Tafsir tematik ini mempunyai kekhasan tersendiri dari cara kerja atau langkah-langkah yang ditempuh  sebagai berikut:
1. Penafsiran menyangkut satu surah dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuannya secara umum dan yang merupakan tema utama, serta menghubungkan perkara-perkara yang beraneka ragam dalam surah tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surah tersebut dengan berbagai masalah-masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.[5] Hal tersebut dapat dilakukan dengan langkah pembahasan seputar surah yang meliputi mengetahui sebab diturunkannya baik secara keseluruhan surah maupun terpisah.
2. Mencari tahu tentang tujuan dasar dari diturunkanya surah tersebut dengan cara menelusuri keberadaan beberapa namanya, mengkaitkan dengan kejadian pada saat diturunkanya dan atau tahapan waktu diturunkanya. . [6]
3. Menjelaskan potongan ayat dari surah tersebut secara runtut sesuai dengan kronologi masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzûl-nya, karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini kadang tidak dicantumkan dikarena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode lain, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
4. Memahami dan menjelaskan munasabah (korelasi) antar ayat dalam surah tersebut.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka pembahasan yang sistematis. Agar tidak terpengaruh dengan pra-konsepsi yang dibawanya, maka dalam penyusunan kerangka pembahasan ini agar disusun berdasarkan bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya.
6. Mempelajari surah tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang secara lahir tampak kontradiktif, menjelaskan yang nasih dan mansuh, sehingga ayat-ayat tersebut bertemu dalam satu muara tanpa ada pemaksaan pemaknaan terhadap sebagian ayat dengan makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
D. Keistimewaan Tafsir Mauđu’iy
Setiap metode memang tidak luput dari kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Metode tafsir tematik ini juga mempunyai kelebihan dibanding dengan metode tafsir lainnya. Kelebihan metode ini antara lain dikemukakan oleh tokoh tafsir seperti Quraish Shihab, Abd al-Hayyi al-Farmawi juga ‘Ali Hasan al-‘Aridl yang mengutip al-Farmawiy, dapat dirangkum sebagai berikut :
- Hasil karya tafsir Mauđu’iy lebih mudah dipahami dibanding karya tafsir metode lain. Ini disebabkan karena Mauđu’iy  terfokus dalam satu tema permasalahan yang tidak terpecah-pecah. Dengan pembahasan per tema ini pesan al-Qur’ân menjadi lebih utuh sehingga lebih mudah diserap orang yang mempelajarinya.
- Kebenarannya relatif lebih dapat dipertanggungjawbkan karena dalam penafsirannya lebih menggunakan cara-cara tafsir bi al-Ma’thur (manfsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi).
- Metode ini memungkinkan mufasir untuk mengetahui suatu masalah dari berbagai aspeknya, sehingga mampu memberikan argumen yang kuat dan jelas dengan mengungkapkan rahasia ayat-ayat yang sedang ditafsirkan.
- Di samping lebih utuh dalam pembahasan dan mudah dalam pemahaman, tafsir ini juga dapat membuktikan bahwa persoalan yang dibahas dalam al-Qur’ân tidak hanya persoalan yang bersifat teoritis saja akan tetapi juga bisa membuktikan keistimewaan al-Qur’ân bahwa persoalan kekinian juga bisa dijawab oleh al-Qur’ân.
- Metode ini juga bisa membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Bahkan al-Qur’ân juga sejalan dengan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.[7][8]
E. Contoh Tafsir Mauđu’iy Surah seperti Tafsir Surah Quraisy
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2)
Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan suku Quraisy untuk menyembah Tuhannya sebagai tanda syukur mereka kepada yang menjadikan mereka kaum pedagang di negri yang tandus yang mempunyai dua jurusan perdagangan. Pada musim dingin ke arah Yaman untuk membeli rempah-rempah yang datang dari Timur Jauh melalui Teluk Persia dan yang kedua ke arah Syam pada musim panas untuk membeli hasil pertanian yang akan dibawa pulang ke negeri mereka yang tandus lagi kering itu.
Orang-orang penghuni padang pasir (Badwi) menghormati suku Quraisy karena mereka dipandang sebagai jiran Baitullah penduduk tanah suci dan berkhidmat untuk memelihara Ka’bah dan penjaga-penjaga Kakbah, oleh karena itu maka suku Quraisy berada dalam aman dan sentosa, baik ketika mereka pergi maupun ketika mereka pulang walaupun banyak terjadi perampokan dan penggarongan dalam perjalanan.
Karena rasa hormat kepada Baitullah itu merupakan suatu kekuatan jiwa dan berwibawa untuk memelihara keselamatan mereka dalam misi-misi perdagangannya ke utara atau ke selatan; sehingga timbullah suatu kebiasaan dan kegemaran untuk berniaga yang menghasilkan rezeki yang melimpah. Rasa hormat terhadap Baitullah yang memenuhi jiwa orang Arab itu adalah kehendak Allah semata, lebih-lebih lagi ketika mereka melihat bagaimana Allah menghancurkan tentara gajah yang ingin meruntuhkan Ka’bah, sebelum mereka sampai mendekatinya.
Sekiranya penghormatan terhadap Baitullah kurang mempengaruhi jiwa orang-orang Arab atau tidak ada sama sekali pengaruhnya niscaya orang-orang Quraisy tentu tidak mau mengadakan perjalanan-perjalanan perdagangan tersebut Maka dengan demikian akan berkuranglah sumber-sumber rezeki mereka sebab negeri mereka bukanlah tanah yang subur.
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan orang-orang Quraisy agar mereka menyembah Tuhan Pemilik Ka’bah yang telah menyelamatkan mereka dari serangan orang Ethiopia yang bergabung dalam tentara gajah, maka seyogianya mereka hanya menyembah-Nya dan mengagungkan-Nya. 
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْف (4)
Kemudian dalam ayat ini Allah menjelaskan sifat Tuhan Pemilik Ka’bah yang disuruh sembah itu, yaitu Tuhan yang membuka pintu rezeki yang luas bagi mereka dan memudahkan jalan untuk mencari rezeki itu.
Jika tidak demikian tentu mereka berada dalam kesempitan dan kesengsaraan. Dan Dia mengamankan jalan yang mereka tempuh dalam rangka mereka mencari rezeki, serta menjadikan orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan senang dengan mereka. Mereka tidak menemui kesulitan, baik terhadap diri maupun terhadap mereka. Kalau tidak, tentu mereka selalu berada dalam ketakutan yang mengakibatkan hidup sengsara dan papa.[9]

III. KESIMPULAN
Metodologi penelitian tafsir sebagaiamana metodologi penelitian disiplin ilmu lainnya akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan kebutuhan umat manusia dalam menemukan berbagai jawaban-jawaban Qur’any atas berbagai persoalan kehidupan.
Untuk saat ini metode Mauđu’iy dipandang sangat relevan dari metode-metode tafsir lainnya dalam menemukan petunjuk-petunjuk Ilahiyyah (al-Hidayah al-Ilahiyyah) diantara teks-teks al-Qur’an tentang berbagai problematika kontemporer, apalagi metode Mauđu’iy ditopang dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip penelitian ilmiah modern yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip Qur’aniyyah dan Risalah al-Nabawiyyah.
Wa-l-Hasil, siapapun yang hendak menemukan berbagai jawaban atas problematika yang dihadapinya dari teks-teks al-Qur’an seyogyanya dapat memahami dan menjalankan secara amanah dan ilmiah metode Mauđu’iy sebab metode ini tidak hanya dapat dijalankan oleh para peneliti tafsir yang mendedikasikan dirinya pada studi al-Qur’an secara akademis, tetapi juga dapat dijalankan dengan mudah oleh para peneliti muslim yang berkecimpung dalam bidang studi lainnya
Sebagai akhir makalah, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yang bisa dijadikan kesimpulan dari isi tulisan ini.
1. Metode tafsir Mauđu’iy merupakan metode tafsir modern yang lahir dan berkembang untuk menjawab masalah-masalah kontemporer.
2. Metode Mauđu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu dengan menjelaskan tema utama dari tema-tema kecil yang dibicarakan satu surat tertentu, dan dengan menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang terkait dengan tema yang sama.
3. Karya tafsir yang menggunakan metode ini memiliki kekhasan yaitu lebih tuntas membicarakan satu tema tanpa terpotong oleh tema lain sehingga lebih mudah untuk memahami pesan-pesan yang dibawa oleh ayat-ayat al-Qur’ân.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.
2.      Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2.
3.      Abd Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, diterj. Rosihon Anwar. (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 6.
4.      Ahmad bin Faris bin Zakariya, Abu al-Husain, Mu’jam Maqayis al-Lughah. (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th), Jld. VI, 117.
5.       ‘Aly bin Muhammad al-Syarif al-Jurjany, Kitab al-Ta’rifat. (Beirut: Maktabah al-Bannan, 1985 M), 273.
6.      Muhammad al-Ghazaly, Kaifa Nata’amalu Ma’a al-Qur’an (Kairo: Dar al-Ma’arif, T.Th), 2.
7.      Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahammi Kandungan al-Qur’ân (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), 209-210.v  
8.      Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an (Jakarta: Intimedia, 2002), 327.
9.      Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’ân (Jakarta: Penamadani, 2003), 9.
10.  Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117. Juga dalam Al-Farmawiy, Metode Tafsir, hal. 52-53 dan dalam Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 94-95.
11.  Nadzm al durar fi tanasubil ayah wa al suwar- al biqo’I  1/17


[1]  Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.
اللهم أعط ابن عباس الحكمة وعلمه التأويل (أحمد ، والطبرانى ، وأبو نعيم فى الحلية ، وابن سعد ، والحاكم عن ابن عباس ، قال المناوى : بإسناد حسن) وأخرجه أحمد (1/269 ، رقم 2422) ، والطبرانى (11/213 ، رقم 11531) ، وأبو نعيم فى الحلية (1/316) ، وابن سعد (2/365) ، والحاكم (3/615 ، رقم 6280) وقال : صحيح الإسناد .

[2] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2.
عن ابن عباس قال : لأن أقرأ البقرة أرتلها أحب إلى من أن أهذ القرآن كله (عبد الرازق) [كنز العمال 4130] أخرجه عبد الرزاق (2/489 ، رقم 4187
[3]  Abd Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, diterj. Rosihon Anwar. (Bandung: Pustaka Setia,   2002), 6.
[4]  Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117. Juga dalam Al-Farmawiy, Metode Tafsir, hal. 52-53 dan dalam Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 94-95.
[5]  Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’ân (Jakarta: Penamadani, 2003),
[6]  Nadzm al durar fi tanasubil ayah wa al suwar- al biqo’I  1/17
[7]  Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2.
[8] Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.

[9]  Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar