SUMPAH
DAN NADZAR
Ditulisalih
Oleh Abu Izzzat
A. PENGERTIAN SUMPAH (AIMAN)
Kata aiman --huruf hamzah diharakati fathah--
adalah bentuk jama’ dari yamin (sumpah). Menurut bahasa, kata yamin asal
artinya yad ‘tangan’. Kemudian digunakan untuk arti sumpah, karena kebiasaan
orang Arab manakala bersumpah masing-masing dari mereka memegang tangan kanan
rekannya.
Sedangkan menurut pengertian secara syar’i,
kata yamin adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya.
B. DENGAN APAKAH SUMPAH ITU MENJADI
SAH?
Sumpah tidak teranggap, tidak sah, kecuali
dengan menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu
sifat-Nya.
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw
pernah menjumpai Umar bin Khattab yang sedang bepergian di tengah kafilah
bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lantas Beliau bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan (menyebut nama) bapak
kalian; barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan (menyebut nama)
Allah, atau diamlah!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 530 no: 6646,
Muslim III: 1267 no: 3 dan 1646, ’Aunul Ma’bud IX: 77 no: 3233 dan Tirmidzi
III: 45 no: 1573).
Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi saw
bersabda, “Neraka Jahannam selalu bertanya, ’Apakah masih ada tambahan?’
hingga Rabb Yang Memiliki Keperkasaan meletakkan kaki-Nya padanya. Lalu
Jahannam berkata, ‘Cukup-cukup, demi Keperkasaan-Mu’. Dan, Dia mengumpulkan
sebagian api neraka itu pada sebagian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari XI: 545 no: 6661, Muslim IV: 2187 no: 2848 dan Tirmidzi V: 65 no:
3326).
C. BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT
SELAIN NAMA ALLAH ADALAH SYIRIK
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama)
selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik.” (Shahih: Shahihul
Jami’ no: 6204 dan Tirmidzi III: 45 no: 1574).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa di antara kalian bersumpah, lalu di dalam
sumpahnya ia mengatakan, Demi Latta, maka hendaklah ia menyebut, LAA
ILAAHA ILLALLAH. Dan barangsiapa berkata kepada rekannya, ’Mari kita main
judi’, maka hendaklah ia bershadaqah.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1267
no: 1647, Nasa’i VII: 7, ’Aunul Ma’bud IX: 74 no: 3231 dengan tambahan ”FAL
YATASHADDAQ BI SYAI-IN” (Maka hendaklah ia bershadaqah sesuatu), dan Fathul
Bari XI: 536 no: 6650 dengan tambahan BILLAATA WAL ’UZZA (=dengan (menyebut
nama) Latta dan ’Uzza).
D. SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Sebagian orang ada yang bersumpah dengan
menyebut selain nama Allah dengan dalih karena mereka khawatir berdusta dan
merujuk pada firman-Nya:
“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam
sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan.” (QS al-Baqarah: 224).
Jawaban atas syubhat ini ialah sebagaimana yang
tertuang dalam riwayat berikut.
Dari Mis’ar bin Kidam dari Wabirah bin
Abdurrahman bahwa Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya bersumpah palsu
dengan (menyebut nama) Allah lebih kusukai dari pada saya bersumpah secara
jujur (dengan menyebut nama selain-Nya).” (ath-Thabrani dalam al-Kabir IX:
205 no: 8902).
Adapun ayat al-Baqarah itu, maknanya adalah
sebagaimana yang diketengahkan Ibnu Katsir rahimahullah dari Ibnu Abbas ra, ia
berkata, ”Janganlah sekali-kali kamu memposisikan sumpahmu sebagai penghalang
agar kamu tidak berbuat kebajikan. Akan tetapi bayarlah kafarat untuk menebus
sumpahmu, kemudian kerjakanlah kebajikan.”
Ibnu Katsir menulis, ”Masruq, asy-Sya’bi,
Ibrahim, an-Nakha’i, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Athaa’, Ikrimah,
Makhul, Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Rubayyi’ bin
Anas, adh-Dhahhak, Atha’ al-Khurasan dan as-Sudi rahimahumullah memiliki
penafsiran yang sama dengan Ibnu Abbas.” Selesai (Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
E. BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT
AGAMA SELAIN ISLAM
Dari Tsabit bin Dhahhak ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, ”Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut) agama selain Islam dengan
dusta dan sengaja, maka ia sebagaimana yang ia katakan.” (Muttafaqun
’alaih: Muslim I: 105 no: 177 dan 110 dan lafadz ini miliknya, Fathul Bari XI:
537 no: 6652, ’Aunul Ma’bud IX: 83 no: 3240, Tirmidzi III: 50 no: 1583, Nasa’i
VII: 6 dan Ibnu Majah I: 678 no: 2098.
Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya ra
bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Siapa saja yang menyatakan, ’Sesungguhnya
saya berlepas diri dari Islam,’ Bila ia berdusta maka ia sebagaimana yang
nyatakan; jika ia jujur maka dia tidak lagi kembali ke dalam Islam secara
utuh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2576, ’Aunul Ma’bud IX: 85 no: 3241,
Nasa’i VII: 6 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2100).
F. ORANG YANG DISURUH
BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH HARUS RIDHA
Dari Ibnu Umar ra, ia berceritera: Nabi saw
pernah mendengar seorang shahabat bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya,
lalu Beliau saw bersabda, ”Janganlah kamu bersumpah dengan (menyebut nama)
bapak-bapakmu! Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka
hendaklah ia jujur. Dan barangsiapa diminta bersumpah dengan (menyebut nama)
Allah, maka hendaklah ia ridha; barangsiapa yang tidak ridha kepada Allah, maka
bukanlah ia termasuk orang yang dekat dengan Allah.” (Shahih: Shahih Ibnu
Majah no: 1708 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2101).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Isa
bin Maryam pernah melihat seorang laki-laki mencuri, lalu ia bertanya, ‘Apakah
engkau telah mencuri?’ Jawab sang laki-laki, ‘Tidak. Demi Dzat yang tiada Ilah
(yang patut diibadahi) kecuali Dia.’ Kemudian Isa berkata, ‘Saya beriman kepada
Allah, dan saya mendustakan penglihatanku.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari
VI: 478 no: 3444, Muslim IV: 1838 no: 2368, Nasa’i VIII: 249 dan Ibnu Majah I:
679 no: 2102).
G. KLASIFIKASI YAMIN
Yamin (sumpah) terbagi menjadi tiga bagian:
- Al-Yaminul Laghwi (sumpah sia-sia).
- Al-Yaminul Ghamus (sumpah palsu).
- Al-Yaminul Mun’aqadah (sumpah yang sah).
1. Al-Yaminul Laghwi dan
Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan
sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan,
“WALLAHI LATA'KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus
makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu
benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk
bersumpah.
Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak
mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum
apa-apa.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan menghukm kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu
disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
Allah swt berfirman lagi:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maidah: 89).
Dari Aisyah ra (tentang firman Allah), “Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk
bersumpah)”, ia berkata, ”Ayat ini turun pada perkataan orang Arab: LAA
WALLAAHI, WA BALAA WALLAAHI (=tidak, demi Allah, dan tentu, demi Allah).”
(Shahih Abu Daud no: 2789 dan Fathul Bari XI: 547 no: 6663).
2. Al-Yaminul Ghamus dan
Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak
merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat.
Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan
dosa kemudian ke dalam neraka.
Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang
paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, karena Allah swt
menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang
sah bisa ditebus dengan kafarah. Yamin, sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan
sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu
sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah
kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi
(manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
Imam ath-Thabari ra menulis, ”Ma’na ayat ini
ialah janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah yang kamu ucapkan itu, yang
kamu berjanji hendak menyempurnakan perjanjian kepada rekan-rekanmu
seperjanjian, janganlah kamu jadikan sebagai penipuan dan pengkhianatan supaya
orang-orang percaya betul kepada kalian, sedangkan kalian menyembunyikan niat
busuk hendak berlaku curang kepada mereka.” (Tafsir ath-Thabari XIV: 166).
Dari Abdullah bin Amr ra dari Nabi saw Beliau
bersabda, “Dosa-dosa besar (di antaranya) ialah: menyekutukan Allah,
durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (tak berdosa), dan sumpah palsu.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4601, Fathul Bari XI: 555 no: 6675,
Nasa’i VII: 89 dan Tirmidzi IV: 303 no: 5010).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Ada lima perkara (yang dosanya) tidak bisa ditebus dengan
membayar kafarah, (pertama) menyekutukan Allah swt, (kedua) membunuh jiwa
dengan cara yang tidak haq, (ketiga) merampas (harta) orang mukmin, (keempat)
melarikan diri pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (kelima) sumpah palsu
yang dimaksudkan untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak
benar.” (Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3247 dan al-Fathur Rabbani
XIV: 68 no: 220).
3. Al-Yaminul Mun’aqidah
(Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau
meninggalkan sesuatu.
Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya
dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia
melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah. Ini didasarkan
pada firman Allah swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin
Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 - 745.
H. SUMPAH BERGANTUNG PADA
NIAT
Dari Umar bin Khattab ra, ia pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.”
(Muttafaqun ’alaih: Shahih Bukhari I: 9 no: 1, Muslim III: 1515 no: 1907,
‘Aunul Ma’bud VI: 284 no: 2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413
no: 4227 dan Nasa’i I: 59).
Oleh karena itu, barangsiapa bersumpah untuk
melakukan sesuatu, lalu yang diucapkan berlainan dengan yang diniatkan, maka
yang teranggap adalah yang diniatkan, bukan yang diucapkan.
Dari Suwaid bin Hanzhalah ra, ia bercerita,
”Kami keluar hendak menemani Rasulullah saw bersama Wail bin Hujr ra, lalu ia
ditahan oleh musuhnya. Kemudian para sahabat keberatan untuk mengucapkan
sumpah, lalu saya mengucapkan sumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku, lalu ia
dilepaskan. Kemudian, kami datang menemui Rasulullah saw, lalu saya informasikan
kepada Beliau bahwa para shahabat merasa keberatan untuk bersumpah, lalu saya
bersumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Engkau
benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.” (Shahih, Shahih
Ibnu Majah no: 1722, Ibnu Majah I: 685 no: 2119 dan ’Aunul Ma’bud IX: 82 no:
3239). Niat seorang yang bersumpah hanyalah akan dianggap jika ia tidak
dimintai untuk bersumpah. Adapun jika ia diminta untuk bersumpah maka sumpah
itu tergantung pada niat orang yang meminta sumpah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Sesungguhnya sumpah itu hanya bergantung pada niat orang yang
meminta sumpah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1723, Ibnu Majah I: 685 no:
2120, Muslim LXXIII: 1274 no: 21 dan 1653 tanpa kata INNAMAA).
Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Sumpahmu bergantung pada apa yang dibenarkan oleh rekanmu.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah: no: 1724, Muslim III: 1274 no: 1653, Ibnu Majah I:
686 no: 2121, ‘Aunul Ma’bud IX: 80 no: 3238 dan Tirmidzi II: 404 no: 1365).
I. TIDAK DIANGGAP MELANGGAR
SUMPAH ORANG YANG MENYALAHI SUMPAHNYA KARENA LUPA ATAU KELIRU
Barangsiapa yang bersumpah tidak akan
mengerjakan sesuatu, lalu ternyata ia melakukannya karena lupa atau karena
keliru, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Hal ini didasarkan pada
firman Allah swt.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami bersalah.” (QS al-Baqarah: 286).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
Bahwasannya Allah menjawab, “Ya.” (Shahih:
Shahih Nasa’i no: 3588 dan Muslim I: 115 no: 125).
J. PENGECUALIAN DALAM SUMPAH
Barangsiapa bersumpah, lalu mengucapkan “INSYA
ALLAH”, berarti ia telah melakukan pengecualian, dan tidak dianggap
melanggarnya bila ia menyalahinya:
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau
bersabda: Nabiyullah Sulaiman bin Dawud berkata, “(Demi Allah), saya
benar-benar akan menggilir tujuh puluh isteri pada malam ini, yang kesemuanya
akan melahirkan seorang anak yang akan berperang di jalan Allah.” Kemudian
rekannya atau seorang malaikat berkata (kepadanya), “Ucapkanlah, INSYA ALLAH
(Jika Allah menghendaki).” Namun dia tidak mengucapkannya dan ia lupa, maka
tidak seorangpun di antara isteri-isterinya yang melahirkan seorang anak
kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang cacat. Kemudian Rasulullah
saw bersabda, “Andaikata dia mengucapkan INSYA ALLAH, maka ia tidak
(dianggap) melanggar sumpahnya, dan ia pasti akan memperoleh hajat
(permohonan)nya.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1275 no: 23 dan 1654 dan
lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 534 no: 6639 dan Nasa’i VII: 25).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa bersumpah dan mengucapkan pengecualian (insya Allah),
maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan tanpa
(dianggap) melanggar sumpahnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1711, Ibnu
Majah I: 680 no: 2105, ‘Aunal Ma’bud IX: 88 no: 3245, dan Nasa’i VII: 12).
K. ORANG YANG BERSUMPAH UNTUK
MELAKUKAN SESUATU, LALU MELIHAT ADA YANG LEBIH BAIK DARIPADA APA YANG
DISUMPAHKAN
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya
lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan
hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kafarah!” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 2004, Muslim III: 1272 no: 13 dan 1650 dan Tirmidzi III: 43 no:
1569).
L. DILARANG TERUS-MENERUS
BERSUMPAH
Allah swt berfirman:
“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam
sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan
islah diantara manusia. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 224).
Ibnu Abbas ra berkata, “Janganlah sekali-kali
kamu menjadikan sumpahmu sebagai penghalang untuk melakukan kebajikan; namun
tebuslah sumpahmu dengan membayar kafarah dan kerjakanlah segala kebajikan!”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw,
Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya seorang di antara kamu
terus-menerus bersumpah di tengah keluarganya adalah lebih besar dosanya
menurut pandangan Allah daripada membayar kafarahnya yang telah diwajibkan
Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XI: 517 no: 2625 dan Muslim III:
1276 no: 1655).
M. KAFARAH SUMPAH
Barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka
kafarahnya salah satu dari tiga alternatif ini:
- Memberi makan sepuluh orang miskin makanan yang biasanya kita berikan kepada keluarga kita.
- Atau memberi pakaian kepada mereka.
- Atau memerdekakan seorang budak.
Kemudian barangsiapa tidak mampu melaksanakan
salah satu dari tiga alternatif di atas, maka kafarahnya harus berpuasa tiga
hari. Tidak boleh membayar kafarah dengan jalan berpuasa selagi mampu
melaksanakan salah satu dari tiga alternatif itu.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar)
sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian
itu, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah
sumpah-sumpahmu, bila kamu bersumpah (lalu kamu melanggar).” (QS al-Maa-idah: 89).
N. BERSUMPAH DENGAN KATA
HARAM
Barangsiapa mengatakan, ”Makananku haram atas
diriku,” atau, ”Haram atas diriku masuk ke dalam rumah si Fulan,” dan
semisalnya yang sejatinya termasuk perbuatan yang tidak diharamkan Allah
atasnya, maka jika ia melanggar sumpah termaksud ia harus membayar kafarah
sumpah:
Allah swt berfirman:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang
Allah menghalalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan
Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekali membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS at-Tahriim: 1-2).
Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw
pernah meneguk madu di (rumah) Zainab binti Jahsy (salah satu isterinya) dan
tinggal (beberapa hari) bersamanya, kemudian saya dan Hafshah sepakat, (jika)
Rasulullah saw masuk ke rumah siapa saja di antara kami berdua, maka hendaklah
dia (juga) bertanya kepada Beliau, ”Apakah engkau sudah makan getah pohon?
Karena sesungguhnya aku mencium getah pohon padamu.” Maka jawab Beliau, ”Tidak,
namun saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan
minum lagi dan sungguh aku telah bersumpah janganlah engkau menceritakan hal
ini kepada siapapun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3553 dan Fathul Bari VIII:
656 no: 4912).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Tentang
(sumpah menggunakan kata) haram ada kafarahnya (kalau dilanggar), (lalu ia
membaca ayat), ’LAQAD KAANA LAKUM FII RASUULILLAHI USWATUN HASANAH
(=Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik).”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin
Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 737 - 751
1. PENGERTIAN NADZAR
Nudzur adalah
bentuk jama’ dari nadzar, berasal dari akar kata indzar
yang berma’na takhwif (memberi ancaman).
Sedang menurut istilah fiqh sebagaimana yang
ditegaskan oleh ar-Raghib, bahwa nadzar ialah mewajibkan sesuatu
yang tidak wajib karena terjadi suatu perkara.
2. PENSYARI’ATAN NADZAR
Allah swt berfirman:
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja
yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS
al-Baqarah: 270).
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan
kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan
nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah
yang tua itu (Baitullah).” (QS al-Hajj: 29).
Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang
menyempurnakan nadzarnya, Allah swt berfirman:
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu
hari yang adzabnya merana di mana-mana.” (QS al-Insaan: 7).
Dari Aisyah ra dari Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa
bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya, dan barangsiapa
bernadzar hendak durhaka kepada-Nya, maka janganlah ia durhaka kepada-Nya.”
(Shahih: Shahihul Jami’ no: 6565, Fathul Bari XI: 581 no: 6696, ’Aunul Ma’bud
IX: 113 no: 3265, Tirmidzi III: 41 no: 1564, Nasa’i VII: 17 dan Ibnu Majah I:
687 no: 2126).
3. DILARANG MENGUCAPKAN
NADZAR MU’ALLAQ (BERSYARAT)
Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Nabi saw
melarang bernadzar, dan Beliau bersabda, ”Sesungguhnya nadzar tidak bisa menolak sesuatu
apapun, namun dengannya dapat dikeluarkan (harta) orang yang bakhil.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 576 no: 6693, Muslim III: 260 no: 1639,
‘Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3263 dan Nasa’i VII: 16).
Dari Sa’id bin Harits bahwa ia pernah mendengar
Ibnu Umar ra berkata: Bukankah mereka telah dilarang dari bernadzar?
Sesungguhnya Nabi saw bersabda, ”Sejatinya nadzar itu tidak bisa memajukan
sesuatu dan tidak (pula) memundurkan (sesuatu); namun sesungguhnya (pemberian)
dari orang yang bakhil hanya bisa dikeluarkan melalui nadzar.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 575 no: 6692, Muslim III: 1261 no: 3 dan
1639 tanpa pernyataan Ibnu Umar itu).
4. KAPAN NADZAR DIANGGAP SAH
DAN KAPAN PULA DINILAI TIDAK SAH
Suatu nadzar akan menjadi sah dan berlaku
manakala ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala dan wajib dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini berpijak pada hadits riwayat
Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Nabi saw bersabda:
”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada
Allah, maka ta’atlah kepada-Nya!” (Takhrij haditsnya sudah termuat pada halaman
sebelumnya).
Adapun nadzar untuk suatu kemaksiatan tidak sah,
namun pelakunya wajib membayar kafarah sumpah:
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sama
sekali tidak ada nadzar dalam kedurhakaan, dan kafarahnya adalah kafarah
sumpah.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2590, ’Aunul Ma’bud IX: 115
no: 3267, Tirmidzi III: 40 no: 1562, Nasa’i VII: 26 dan Ibnu Majah I: 686 no:
2125).
Adapun nadzar yang mubah, misalnya seseorang
bernadzar hendak menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, atau hendak
berdiri di terik matahari, maka nadzar seperti itu tidak berlaku dan tidak
punya akibat hukum yang wajib dipenuhi.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah
saw pernah melihat seorang kakek tua renta berjalan berpapah pada kedua
puteranya, lalu Beliau bertanya, “Apa-apaan ini?” Jawab kedua puteranya, “Ya
Rasulullah, dia bernadzar (naik haji dengan jalan kaki). Kemudian Beliau saw
bersabda, “Wahai
kakek, naiklah kendaraan; karena sesungguhnya Allah tidak butuh kepadamu dan
tidak pula kepada nadzarmu ini.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:
1005 dan Muslim III: 1264 no: 1643).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw pernah
melewati seorang laki-laki di Mekkah sedang berdiri di terik matahari, lalu
Beliau bertanya, “Sedang apa orang ini?” Jawab mereka, “Dia bernadzar puasa dan
tidak berteduh pada bayangan hingga malam, tidak berbicara dan terus-menerus
berdiri.” Maka sabda Beliau, “Hendaklah ia berbicara, berteduh dan duduk dan
sempurnakanlah puasanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2591, Fathul
Bari IV: 276 dan ‘Aunul Ma’bud no: 3300).
5. ORANG YANG BERNADZAR
KEMUDIAN TIDAK MAMPU MELAKSANAKANNYA
Barangsiapa bernadzar hendak ta’at, kemudian
tidak mampu menyempurnakannya, maka ia harus membayar kafarah sumpah.
Dari Uqbah bin Amir ra dan dari Rasulullah saw,
Beliau bersabda, ”Kaffarah nadzar adalah kafarah sumpah.”
(Shahih: Shahihul Jami’ no: 4488, Muslim III: 1265 no: 1645 dan Nasa’i VII:
26).
6. ORANG YANG BERNADZAR
KEMUDIAN MENINGGAL DUNIA
Siapa saja yang bernadzar, lalu wafat sebelum
menyempurnakan nadzarnya, maka harus dilaksanakan oleh walinya.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: Sa’ad bin
Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah saw perihal ibunya yang mempunyai
tanggungan nadzar (lalu) wafat sebelum menyempurnakannya. Maka jawab Rasulullah
saw, ”Maka
hendaklah engkau menyempurnakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim
III: 1260 no: 1638 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 583 no: 6698, ’Aunul
Ma’bud IX: 134 no: 3283, Tirmidzi III: 51 no: 1586, Nasa’i VII: 21 dan Ibnu
Majah I: 689 no: 2132).