PENDAHULUAN
Di antara sebab berkepanjangannya kontroversi cara menuju sujud dan menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud ataukah tidak, karena kedua cara tersebut masing-masing memiliki dalil yang saling bertentangan lalu dinilai dan dipahami secara berbeda oleh para kritikus hadith. Mohammad Nashiruddin Al-Albâni –seorang kritikus hadith kontemporermensahihkan sanad hadith menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud padahal ia telah mendaifkan sanad yang sama ketika membahas hadith mendahulukan kedua lutut. Tulisan ini akan membahas bagaimana sesungguhnya kualitas dua kelompok hadith tersebut berdasarkan standar kritik hadith.
A. Cara Sujud
Ada dua hadith yang seringkali diungkap ketika membahas mengenai gerakan menuju sujud dalam shalat. Hadith pertama menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut lebih dahulu sebelum kedua tangan, sedangkan hadith kedua menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut.
Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan didasarkan pada hadith dari Wâ’il bin Hujr ra bahwa ia melihat Nabi saw:
إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud)[1]
Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut didasarkan pada riwayat dari Abu Hurayrah ra.:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti mendekamnya onta, hendaklah meletakkan kedua tangannya lebih dahulu sebelum kedua lututnya. (HR. Abu Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan al-Dârimi)[2]
Bagi kita yang belum mengetahui kualitas dari hadith-hadith tersebut maka untuk sementara, tidak mengapa memilih salah satu dari keduanya, yang penting keduanya masih ada sandaran dalilnya. Dan yang lebih penting, jangan pernah mendahulukan kepala, karena sama sekali tidak ada dalilnya.
Menurut Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni bahwa hadith pertama dari Wâ'il berkualitas daif karena di samping Syarîk yang banyak kesalahannya ini sendirian dan jalur ‘Ashîm bin Kulayb dari Bapaknya bermasalah, juga karena bertentangan dengan riwayat Abu Hurayrah yang dipeganginya yang menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu dari pada kedua lutut.[3]
Sebaliknya, menurut Ibn al-Qayyim bahwa justru matan hadith dari Abu Hurayrah inilah yang kacau dan ada kesalahan (wahm) sehingga terjadi syâdz (kejanggalan) berupa keterbalikan (maqlûb) dan ketidaksinkronan pada kalimat awal dengan kalimat akhir. Pada kalimat awal melarang sujud seperti onta, sedangkan pada kalimat akhir justru menganjurkan supaya meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut, padahal jika dicermati, cara onta sujud dengan meletakkan dan menekuk kaki depannya baru kemudian kaki belakangnya. Inilah yang dikritik oleh Ibn al-Qayyim sebagai kejanggalan dalam matan hadith ini, seharusnya hadith ini berbunyi: hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan.[4]
Sayangnya redaksi usulan Ibn al-Qayyim inipun tidak ada hadithnya.[5] Tetapi ahli hadith lainnya mencoba mengkompromikannya dengan menyatakan bahwa itu tidaklah salah dan tidak bertentangan karena menurutnya lutut onta itu terdapat di kaki depannya. Di sinilah masalahnya menjadi kacau dan membingungkankarenaperdebatan selanjutnya beralih kepada struktur anatomi onta yakni mana sebenarnya yang disebut lutut onta dan mana tangan onta yang kemudian mana yang tidak boleh dilakukan oleh manusia karena menyerupai cara sujud onta.[6]
Bagi Imam Ahmad, karena kedua cara tersebut masing-masing ada dasar hadithnyamaka beliau mempersilahkan untuk dipilihsalah satunya dan tidak usah dipertentangkan satu sama lain. Memang bisa jadi Nabi saw melakukan keduanya, misal: beliau mendahulukan lututnya dari pada tangannya ketika masih muda dan kuat bertumpu pada lututnya, namun ketika sudah mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada kedua lututnya, maka beliau mendahulukan kedua tangannya dari pada kedua lututnya.
Bagaimana sesungguhnya kualitas kedua hadith tersebut?
Sebagaimana kaidah penelitian hadith bahwa sebelum membahas matan hadith, maka harus diawali dengan penelitian sanad, walaupun pemicu awal kenapa hadith tersebut diteliti muncul dari matan yang tidak singkron, tidak logis dan meragukan sebagai hadith Nabi saw.
Menurut penelitian bahwa jika al-Albâni menyatakan hadith dari Wâ’il bin Hujr yang menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut lebih dahulu adalah lemah sedangkan hadith dari Abu Hurayrah yang menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu adalah sahih, justru hasil penelitian lain membuktikan sebaliknya. Jalur hadith dari Wâ'il yang melalui Syarîk dari 'Âshim bin Kulayb dari Bapaknya dikritik habis dan didaifkan oleh al-Albâni, padahal berdasarkan penelitian terhadap jalur Syarîk dari 'Âshim dari Bapaknya masih bisa ditolerir jika ada pendukungnya dari jalur sanad yang lain. Periwayat Syarîk menurut Ahmad: ia jujur, Ibn Ma‘în: jujur terpercaya, Abu Dâwud: terpercaya namun kadang salah, Abu Hâtim al-Râzi dan Ibn Hajar adalah jujur namun cukup banyak kesalahannya. Sementara itu ‘Âshim ini dinilai tsiqah oleh Ibn Ma’în & al-Nasâi sehingga Muhammad bin Sa’ad menilainya bisa dijadikan hujjah.
Imam Ahmadmenyatakan Tidak ada masalah dengannya. Ibn Hajar menilainya shadûq/jujur meskipun dituduh murji’ah. Menurut al-Tirmidzi, hadith ini hasan gharîb (hasan namun hanya punya satu jalur), padahal ‘Ali bin al-Madini memberikan catatan penting tentang jalur ‘Âshim bahwa bila sendirian maka hadithnya tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi ternyata dalam Sunan Abi Dâwud: 383, selain menyebutkan jalur Syarîk dst., juga menyebutkan hadith senada:
فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ
"...maka tatkala sujud, beliau meletakkan kedua lututnya ke tanah sebelum meletakkan kedua telapaknya." (HR. Abu Dâwud)
Hadith ini melalui Hammâm, dari Muhammad bin Juhâdah, dari ‘Abd al-Jabbâr bin Wâ’il (w. 112 H), dari Bapaknya dengan sanad bersambung. Meskipun ‘Abd al-Jabbâr tidak mendengar langsung dari Wâil bapaknya karena Wâ’il wafat ketika ia masih kecil, namun ia mendengar hadith Wâ’il melalui keluarganya, seperti: ‘Alqamah kakaknya, Ummi Yahya ibunya dan mawlâ/pengasuhnya. Meskipun hadith ini juga ditolak al-Albâni karena menurutnya sanadnya lemah dan matannya bertentangan dengan hadith Abu Hurayrah yang dipeganginya, namun karena ada jalur lain yang bisa menjadi pendukungnya sehingga hadith ini maqbûl yakni bisa dijadikan hujjah.[7]
Adapun hadith Abu Hurayrah yang disahihkan al-Albâni tentang larangan sujud seperti onta dan menganjurkan untuk mendahulukan kedua tangan lebih dahulu (وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ), berdasarkan penelitian para ahli justru daif. Kedaifan hadith ini karena semua periwayatnya mesti melalui ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad bin ‘Ubayd al-Darâwurdi (w. 187 H) dari Muhammad bin ‘Abdullah. Menurut Al-Thabrâni: banyak hadith 'Abd al-'Azîz Al-Darâwurdi yang salah.[8].
Ahmad dan Abu Zur‘ah juga menilai: hapalannya buruk, meragukan, dan kadang kebolak-balik dalam meriwayatkan hadith. Al-Nasa’i menilainya: bukan orang kuat, tapi di waktu lain ia & Ibn Ma‘în juga menilainya tidak ada masalah dengannya. Meskipun al-Albâni menilai hadith ini sahih, tapi melihat 'Abd al-'Azîz al-Darâwurdi yang kacau hapalannya dan cuma sendirian (gharîb), maka hadith ini harus ditolak sebagai hujjah. Inilah sebabnya hadith ini dinilai daif oleh Ibn al-Qayyim karena kebolak-balikmatannya, bahkan diduga kuat kalimat kedua sebagai tambahan. Hadithyang biasa dijadikan pendukung yakni hadith yang melalui ‘Abdullah bin Nâfi’ al-Shâ’igh (w. 206 H) --meskipun cukup kontroversial--,[9] ternyata tidak dapat dijadikan sebagai pendukung hadith di atas karena tidak merinci bagaimana cara sujud onta tapi Nabi saw hanya menyebutkan:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَيَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ
"Seorang di antara kalian telah bertopang dalam shalatnya lalu sujud seperti sujudnya onta." (HR. al-Nasâ'i, al-Tirmidzi, Abu Dâwud, al-Bayhaqi).
Demikian pula riwayat dari Nâfi' tentang Ibn 'Umar yang meletakkan kedua lututnya lebih dahulu, juga tidak dapat dijadikan sebagai saksi pendukung (syâhid) karena di samping hanya merupakan hadithmawqûf yang disandarkan pada Abdullah Ibn 'Umar,[10] juga Ibn 'Umar sendiri ada kendala pada kakinya sehingga beliau tidak bisa sujud dan duduk sebagaimana sunnah mestinya.[11] Sebaliknya, Ibn Abi Syaybah dalam Mushannaf-nya (juz 1/263) justru menyebutkan bahwa 'Umar, Ibn 'Umar, Abu Hurayrah, dan para tâbi'în lainnya mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.[12]
Penjelasan Matan Hadith
Rasulullah saw pada umumnya melarang sujud menyerupai binatang seperti onta, anjing, dan binatang lainnya karena kita adalah manusia yang memiliki struktur anatomi tersendiri. Lebih baik memilih dan melaksanakan yang lebih mudah dan lebih sesuai dengan struktur manusia dari pada menyerupai binatang. Jika dicermati, maka posisi berdiri binatang berkaki empat sudah siap menuju sujud, yakni kaki depan sebagai perlambang tangan sudah lebih dahulu menyentuh tanah, lalu menyusul lutut depan onta.
Kalaupun diartikan bahwa lutut onta ada di kaki depan maka pertanyaannya adalah mana bagian onta yang akan diposisikan sebagai kedua tangan manusia? Jika dijawab bahwa onta tidak bertangan, padahal manusia bertangan? Tetapi kalau diartikan bahwa kaki depan onta diumpamakan sebagai “tangan” manusia maka akan lebih mudah dipahami bahwa semua bagian kaki depan termasuk “lutut depan” (siku untuk manusia) adalah bagian dari tangan manusia. Dan Nabi saw melarang sujud seperti binatang, seperti onta yang mendahulukan “kedua tangan”nya (yakni kaki depan onta), melarang sujud seperti anjing yang menjadikan sikunya sebagai alas (firasy) menempel di tanah dan memasukkannya ke dalam kedua ketiak.
Posisi sepertiinilah yang dilarang karena lebih menyerupai posisi binatang berlutut. Sementara bagi manusia lebih mudah sujud jika menurunkan kedua lutut sebagai bagian anggota badan terdekat dengan tanah, lalu menyusul kedua telapak tangan baru kemudian wajah (yakni kening dan hidung). Cara seperti inilah yang ternyata lebih banyak dipilih para pengikut Mazhab Hanafiyah dan Syafi‘iyah dari pada tangan dahulu yang dipegangi Mazhab Maliki.
Posisi saat sujud yang benar adalah dengan menempelkan Tujuh tulang (sab'at a'dzum) di tanah yaitu wajah (yakni dahi dan hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kakinya (Muttafaq 'alayh). Kedua siku tidak masuk bagian yang menempel karena akan menyerupai binatang dan melanggar hadith yang hanya menyebutkanTuhuh tulang yang menempel di tanah. Kedua telapak tangan diletakkan sejajar dengan kedua telinga ( وَسَجَدَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ أُذُنَيْهِ. HR. Ahmad) atau dalam redaksi yang lain: wajahnya diletakkan di antara kedua telapak tangannya (وَضَعَ وَجْهَهُ بَيْنَ كَفَّيْهِ HR. Ibn Hibbân, atau: يَسْجُدُ بَيْنَ كَفَّيْهِ / سَجَدَHR. Ahmad, Muslim) di mana jari-jemarinya dirapatkan (ضَمَّ أصابِعَه HR. Ibn Hibbân, al-Thabrâni, Ibn Khuzaymah) dan dihadapkan ke arah qiblat (HR. Al-Bayhaqi dan Ibn Abi Syaybah).
Nabi saw juga tidak menjadikan kedua lengannya sebagai alas dan tidak pula menggemgam kedua tangannya ( وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا . HR. Al-Bukhâri, al-Bayhaqi), tapi menuntunkan agar mengangkat kedua siku dari lantai (وارْفَعْ مِرْفقَيْكَ. HR. Muslim, Ahmad, dan Abu ‘Awwânah) dan merenggangkan keduanya (فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ) dari ketiak dan lambungnya (Muttafaq ‘alayh), dan juga merenggangkan kedua pahanya (فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ), tapi tidak menempelkan perutnya pada kedua pahanya (HR. Abu Daud dan al-Bayhaqi, dari Abu Humayd).
Nabi saw menuntunkan supaya mengangkat pantatnya (رَفَعَ عَجِيزَتَه. HR. Ahmad, dari al-Barrâ’), namun tidak boleh berlebih-lebihan dengan memanjangkan sujud hingga perutnya mendekati lantai (جَخَّي).[13] Yang jelas, Nabi saw menganjurkan supaya proporsional pada saat sujud (اعْتَدِلُوا فيِ السُّجُود), dan jangan seperti binatang buas atau anjing (Muttafaq ‘alayh).
Adapun posisi kedua telapak kaki, ditegakkan di mana ujung jari kedua kaki dihadapkan ke qiblat (وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ. HR. Al-Bukhâri, al-Bayhaqi), tanpa dirapatkan.[14]
Untuk sujud perempuan, memang ada hadith riwayat Abu Dâwud dalam Kitab al-Marâsîl (87/117) dari Yazîd bin Abi Habîb bahwa Nabi saw pernah menyuruh seorang wanita untuk merapatkan tangannya ke lambungnya. Namun hadith ini munqathi‘ (terputus sanadnya) karena mursal.[15]
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri pada rakaat genap, disunnahkan untuk duduk istirahat sejenak[16] dengan cara iftirâsy[17]kemudian baru berdiri (HR. al-Jama`ah kecuali Muslim) dengan menekankan telapak tangan (tanpa dikepalkan)[18] pada tanah lalu berpegangan pada kedua paha untuk berdiri tanpa mengangkat tangan dan langsung sedekap.
Selanjutnya kerjakanlah raka'at kedua ini, seperti raka'at yang pertama, hanya saja tidak membaca doa iftitah.
B. Hadith menggerak-gerakkan jari telunjuk saat tasyahhud
Mengenai menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahhud atau tahiyyat didasarkan pada hadith dari Wâ’il yang berbunyi:ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا : “Kemudian beliau mengangkat telunjuknya lalu aku melihat beliau menggerak-gerakkannya (untuk) berdoa dengannya.” (HR. Al-Nasâ’i, Ahmad, dari Wâ’il bin Hujr).[19] Tetapi ada hadith yang berbunyi sebaliknya dari ‘Abdullah bin al-Zubayr bahwa justru Nabi saw tidak menggerak-gerakkan telunjuk saat tahiyyat:
كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلا يُحَرِّكُهَا : “Beliau menunjuk dengan telunjuknya bila berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya” (HR. Al-Nasâi, Abu Dâwud, al-Bayhaqi, 'Abd al-Razzâq, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr).[20]
Sebagian ulama berupaya menggabungkan kedua hadith tersebut.Al-Bayhaqi misalnya, berusaha menggabungkanhadith ini dengan membahas makna يُحَرِّكُهَا dalam hadith Wâ’il yang tidak selalu bermakna lit-tikrâr (untuk pengulangan) sehingga berarti menggerak-gerakkannya, tapi bisa juga berarti menggerakkannya saja yakni untuk menunjuk. Jika diartikan demikian maka –menurut al-Bayhaqi-- sudah tidak lagi bertentangan dengan hadith tidak menggerakkan telunjuknya riwayat ‘Abdullah bin al-Zubayr.[21]
Sementara itu Al-Albâni menilai hadithmenggerak-gerakkan telunjuk ini sahih padahal hadith ini melalui 'Âshim bin Kulayb dari Bapaknya yang telah ia daifkan saat menolak hadith sujud dengan mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan.[22]
Dari sini tampak jelas ketidakkonsistenan al-Albâni dalam menilai jalur sanad ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya. Setelah melakukan penelitian berulangkali terhadap sanad ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya ini, barangkali kita bisa sepakat dengan penilaian ‘Ali bin al-Madîni bahwa sanad ini bisa menjadi maqbûl jika memang ada pendukungnya.
Karena itulah, al-Albâni mencari pendukung hadith menggerak-gerakkan tersebut dengan mengutip hadith aneh dalam Shifat al-Shalâh bahwa menggerak-gerakkan telunjuk saat duduk dalam shalat: لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِن الْحَدِيدِ: ”Sungguh hal ini lebih keras dirasakan Syaithan dari pada (cambukan) besi.”.[23]
Tapi hadith ini ternyata daif sekali karena selain matannya aneh dan mustahil, juga karena jalur hadith ini melalui Katsîr bin Zayd yang hampir semua ulama mendaifkannya kecuali Ibn Hibbân.[24]
Karena tidak ada jalur lain yang mendukungnya, maka hadith ini tetap daif karena syâdz (menyimpang). Al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad (juz 4/318, no: 18890) menilai hadith ini sahih kecuali kalimat يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا adalah syâdz karena hanya Zâ’idah bin Qudâmah (161 H) sendiri yang meriwayatkannya demikian.
Tetapi kalaupun hadith ini maqbûl khususnya bagi yang meyakini hadith ini sahih, maka pada matan al-Nasa’i yang kedua (no: 1268) setelah kalimat يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا akan ditemukan kalimat : مُخْتَصَرٌ(diringkas) karena memang sebenarnya hadith dari Wâ’il ini masih ada tambahan komentar dari Wa’il sendiri sebagaimana disebutkan Ahmad, al-Thabrâni, dan Ibn Hibbân. Kata Wa’il selanjutnya:
ثُمَّ جِئْتُ بَعْدَ ذَلِكَ فِي زَمَانٍ فِيهِ بَرْدٌ فَرَأَيْتُ النَّاسَ عَلَيْهِمْ الثِّيَابُ تُحَرَّكُ أَيْدِيهِمْ مِنْ تَحْتِ الثِّيَابِ مِنْ الْبَرْدِ
”...Kemudian setelah itu aku datang pada suatu musim yang dingin, lalu aku melihat orang-orang yang memakai kain menggerak-gerakkan tangan mereka dari bawah kain karena kedinginan.”[25]
Membaca lanjutan hadith di atas, tampaknya Wâ’il ingin mengatakan bahwa Nabi saw menggerak-gerakkan telunjuknya disebabkan karena kedinginan sebagaimana umumnya orang menggerak-gerakkan tangannya bila kedinginan, bukan sebagai tuntunan yang disyari'atkan.
Adapun hadith dari ‘Abdullah bin al-Zubayr yang mengatakan bahwa Nabi saw tidak menggerak-gerakkan telunjuk ssaat tahiyyat: كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلا يُحَرِّكُهَا : “Beliau menunjuk dengan telunjuknya bila berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya” (HR. Al-Nasâi, Abu Dâwud, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr)[26] adalah sahih. Semua ahli hadith –tanpa kecuali-- sepakat akan kesahihannya, sedangkan al-Albâni hanya menilainya hasan itupun dengan komentar: tidak menggerak-gerakkan adalah tambahan yang syâdz/munkar/menyimpang.[27]
Hanya saja al-Albâni tidak mampu membuktikan secara sahih bukti penyimpangannya. Inilah yang dikritik oleh al-Yamâni terhadap Shifat al-Shalâh-nya al-Albâni dalam al-Bisyârah fî Syudzûdz Tahrîk al-Ishba' fi al-Tasyahhud dengan disertai bukti yang rinci bahwa dari total 12 jalur sanad hadith yang menyebutkan tentang hal ini, 11 hadith menyebutkan tidak menggerak-gerakkan, dan hanya 1 hadith yang menyebutkan menggerak-gerakkan telunjuk yang ternyata satu inipun bermasalah.
Jika langsung menggunakan metode tarjîh, maka hadith yang tidak menggerak-gerakkannya-lah yang harus dipegangi, sedangkan hadith yang menggerak-gerakkan karena menyimpang dan bermasalah harus ditolak (mardûd).
KESIMPULAN
Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa setelah duduk dengan tenang, Nabi saw menggerakkan telunjuknya untuk menunjuk satu kali di awal duduk saat mulai membaca tasyahhud: al-tahiyyâtu..., dantidak menggerak- gerakkannya termasuk saat menyebut illa-llâh, karena tidak ada hadithnya, dan tidak juga menggerak-gerakkannya secara keseluruhan karena di samping hadithnya syâdz (menyimpang & lain sendiri) juga menyalahi prinsip thuma’ninah (tenang) dalam shalat.والعلم عندالله سبحانه
DAFTAR PUSTAKA
- Sunan al-Nasâ’i, tahqîq: Abu Ghuddah, juz 3
- al-Albâni, Silsilat al-Ahâdîts al-Dla'îfah wal-Mawdlû'ah, juz 12
- Dla'îf Abi Dâwûd, juz 1/368-369
- Musnad, tahqîq al-Arna’ûth, juz 2, & al-Bazzâr: juz 2
- al-Haytsami, Majma‘., juz 2, .
- al-Thabrâni, al-Mu'jam al-Kabîr, juz 22
- Ibn Hibbân, Shahîh, juz 5
- Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 2,
- Ibn Khuzaymah, tahqiq: al-A’dzami juz 1
- Ibn al-Mundzir, al-Awsath, juz 4,
- Mu‘jam Ibn al-Muqri’, juz 2,
- Mahmûd ‘Abd al-Lathîf, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Shalâh, juz 2
- Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Cara Shalat Rasulullah saw, Jakarta: Pustaka Al-Akbar
- Syakir Jamaluddin (2009), Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw
[2]HR. Abu Dâwud: 840; al-Nasâ’i: 1091; Ahmad: 8732: al-Dârimi: 1321. Sebagian riwayat (seperti: Abu Ya‘la & Ibn Abi Syaybah) menggunakan lafal al-fahl yang berarti kuda jantan, tapi jalur ini sanadnya dla‘îf (Ibn Hajar, Rawdlat al-Muhadditsîn, 1/hlm 370). Menurut al-Tirmidzi hadith ini gharîb karena semua periwayat hadith ini melalui ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad,dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan (w.145 H), dari Abu al-Zinâd (w. 130 H), dari al-A’raj dari Abu Hurayrah ra. Al-Bukharidalam al-Târîkh al-Kabîr mengatakan tidak mengetahui persis apakah Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan mendengarkan hadith dari Abu al-Zinâd. Tetapi melihat keduanya hidup sezaman dan sama-sama orang Madinah maka diduga kuat mereka sangat mungkin bertemu. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah periwayat yang meriwayatkan hadith dari Muhammad bin ‘Abdullah yakni ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad bin ‘Ubayd al-Darâwurdi (w. 187 H) yang semua periwayat hadith ini melalui dirinya. Pembahasan mengenai 'Abd al-'Azîz ini akan dibahas secara rinci kemudian.
[5]Ada hadith yang disebutkan oleh Ibn al-Atsîr (wafat 606 H) dalam Jâmi' al-Ushûl fi Ahâdîts al-Rasûl (juz 5/378 no: 3518) dari Abu Hurayrah ra yang justru menjelaskan sifat sujud onta yang meletakkan kedua tangan lebih dulu sebelum kedua lutut yakni:
(د ت س)أبو هريرة - رضي الله عنه - قال : قال رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- : «إذا سجد أحدكم فلا يْبرُكْ كما يَبْرُكُ البعير ، يضعُ يديه قبل ركبتيه».
Kode ( د ت س ) menunjukkan hadith ini bersumber pada Abu Dâwud, al-Tirmidzi dan al-Nasâ'i yang ternyata setelah diteliti pada kitab Sunan asli milik mereka, tidak ada redaksi seperti yang dikutip dalam Jâmi' al-Ushûl. Tampaknya hadith inilah yang dikutip dalam HPT Muhammadiyah (1976, cet-3, hlm 92) yang ternyata tidak ada sumbernya pada kitab sumber utama (kitab primer) manapun kecuali disebutkan dalam HPT dikutip dari Kitab Taysîr al-Wushûl yang belum berhasil ditemukan kitabnya namun pasti bukan kitab primer.
[8]al-Thabrâni, al-Thabaqât al-Kubra, juz 5 hlm 424- Ibn Hajar, Tahdzîb, juz 6, hlm 315)
[9]Kontroversi tentang ‘Abdullah bin Nâfi’ al-Shâ’igh karena Ahmad menilainya bukan ahli hadith, tapi murid fanatik dan pembela Imam Malik; Abu Hâtim menilai hapalannya lemah tapi tulisannya lebih baik dari pada hapalannya; Al-Bukhâri menilai ada masalah pada hapalannya, tapi Abu Zur‘ah & al-Nasâ’i menilai tidak ada masalah dengannya, bahkan Ibn Ma‘în menilainya tsiqah. Lihat: Ibn Abi Hâtim, al-Jarh., juz 5, hlm 183, no: 856; al-Dzahabi, al-Kâsyif, juz 1 hlm 602, no 3017; al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubalâ’, juz 10 hlm 371-373.
[10] Al-Bukhâri dalam Shahîh-nya(1/hlm 276)mengutip hadithmawqûf ini secara mu'allaq dari Nâfi' bahwa Ibn 'Umar يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ : meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Tapi al-Bayhaqi (2/100, no: 2744), al-Hâkim (1/348: 821), Ibn Khuzaymah (1/318: 617) menyebutkannya secara marfû' bahwa Nabi saw melakukan hal itu, padahal sanad hadith Ibn 'Umar ini melalui 'Abd al-'Azîz al-Darâwurdi yang terkenal kacau hapalannya sehingga hadith ini sesungguhnya lemah. Sayangnya hadith ini dikutip pula oleh al-Hâfidz Ibn Hajar dalam Bulûgh al-Marâm sebagai pendukung yang menguatkan hadith Abu Hurayrah tentang larangan sujud seperti onta.
[11]HSR. al-Bukhâri, 1/284: 793; Mâlik, 1/89: 201
[14]Mahmûd ‘Abd al-Lathîf, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Shalâh, juz 2, hlm 252-256; al-Albâni, Shifat al-Shalâh, hlm 141; Himpunan Putusan Majlis Tarjih, hlm 91-93. Sebagian HR. al-Bayhaqi, al-Hâkim & Ibn Hibbân yang menceritakan bahwa pada suatu malam ‘Aisyah kehilangan Rasulullah & menemukan beliau sujuddengan merapatkan kedua tumit (سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ)ternyata janggal & daifkarena hanya Yahya bin Ayyûb al-Ghâfiqi sendiri yang meriwayatkannya demikian, yang lainnya tidak (Lihat komentar al-Hâkim, 1/353: 832; Abu Zayd, Bakr bin ‘Abdillâh, Lâ Jadîda fî Ahkâm al-Shalâh, cet ke-3, hlm 36-41). Mengenai Yahya bin Ayyûb, hanya al-Albâni yang menilainya tsiqah, sementarayang menilainya jujur&shâlihhadithnya hanya datang dari Ibn 'Addi & Ibn Ma'în, tapi al-Nasâ'i, Ahmad & al-Dâruquthni menilainya bukan orang kuat, jelek/kacau hapalannya serta meriwayatkan banyak hadithmunkar, Ibn al-Qaththân & Abu Hâtim: tidak boleh dijadikan hujjah. Lihat al-Dzahabi, Mîzân al-I'tidâl, juz 7/160-162). Muslim (2/51: 1118) & Ahmad (6/201) misalnya, hanya meriwayatkan bahwa ‘Aisyah menyentuh atas bagiandalam kedua kaki Nabi saw (عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ) saat sujud, tanpa menyebutkan merapatkan kedua kaki.Dengan demikian, jarak antar kaki saat sujud sama dengan jarak antar kaki saat berdiri, yakni tidak dirapatkan dan tidak pula terlalu dilebarkan, tapi proporsional saja sebagaimana yang diharapkan oleh sunnah Nabi saw.
[16] Duduk istirahat sejenak ini dilakukan setelah bangkit dari sujud kedua sebelum bangkit berdiri menuju rakaat kedua dan rakaat keempat. Duduk istirahat ini termasuk sunnah Nabi saw berdasarkan hadith: فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلاَتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِداً : “Apabila berada pada rakaat ganjil dari shalatnya, beliau tidak langsung bangkit hingga duduk tegak.” (HSR. Al-Bukhâri, al-Tirmidzi dan Abu Dâwud). Dan hadith dari Abu Qilâbah bahwa Mâlik bin al-Huwayrits mencontohkan tata cara shalat Nabi saw yakni: وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجَدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ قَام: “Dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud kedua, ia duduk dan bertumpu ke tanah lalu berdiri.” (HSR. al-Bukhâri, juz 1, 283 no: 790; al-Bayhaqi, juz 2, hlm 135, no: 2631)
[18] Tuntunan mengepalkan tangan ke tanah saat bangkit untuk berdiri didasarkan pada perbedaan interpretasipada kata يَعْجِنُyang bersumber pada hadithgharîb/asing dan daif riwayat al-Thabrâni (al-Awsath, juz 4/213 no: 4007). Kata tersebut disalahartikan dengan mengepalkan tangan seperti الْعَاجِنُ/pembuat roti saat membuat adonan roti, padahal hadith ini daif, bâthilbahkan tidak ada sumbernya. Menurut Ibn al-Shalâh, inilah yang diamalkan oleh kebanyakan orang Non-Arab dan dianggap sebagai syari‘at dalam shalat padahal tidak ada pesan tersebut berdasar hadith yang kuat. Kalaupun hadith ini kuat, maka maksud al-‘âjin di sini adalah orang tua lemah yang bertopang pada bagian dalam kedua telapak tangannya di tanah untuk berdiri, dan ini sangat mirip dengan pembuat roti yang menekankan kedua tangannya di lantai, bukan dengan mengepalkannya. Lihat Ibn al-Mulaqqin, Badr al-Munîr, juz 3 hlm 678-681; Ibn Hajar, Talkhîsh., juz 1 hlm 625-626; Ibn Rajab, Fath al-Bâri li Ibn Rajab, juz 5/148.
[19]HR. al-Nasâ’i: 889, 1268; Ahmad: 18391, 18890; al-Dârimi: 1357; Ibn Hibbân: 1860, melalui ‘Âshim bin Kulayb dari Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr. Hadith ini cukup kontroverisial sanad dan matannya. Analisis tentang periwayat ‘Âshim bin Kulayb ini sudah disinggung saat menjelaskan hadith tentang sujud dengan meletakkan lutut lebih dahulu.
[22]Lihat al-Silsilat al-Dla‘îfah, juz 2/426).
[23]HR. Ahmad, Musnad, tahqîq al-Arna’ûth, juz 2, no: 6000 & al-Bazzâr: 2/249)
[24]al-Haytsami, Majma‘., juz 2, hlm 334, no: 2850).
[25]HR. Ahmad, juz 4/318: 18890; al-Thabrâni, al-Mu'jam al-Kabîr, juz 22/35; Ibn Hibbân, Shahîh, juz 5/170-171)
[27]Sunan al-Nasâ’i, tahqîq: Abu Ghuddah, juz 3 hlm 37 no: 1270; al-Albâni, Silsilat al-Ahâdîts al-Dla'îfah wal-Mawdlû'ah, juz 12/ 136-138, no: 5572; Al-Albâni, Dla'îf Abi Dâwûd, juz 1/368-369.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar