Jumat, 07 September 2012

SUMPAH DAN NADZAR


SUMPAH DAN NADZAR
Ditulisalih Oleh Abu Izzzat
A.    PENGERTIAN SUMPAH (AIMAN)
Kata aiman --huruf hamzah diharakati fathah-- adalah bentuk jama’ dari yamin (sumpah). Menurut bahasa, kata yamin asal artinya yad ‘tangan’. Kemudian digunakan untuk arti sumpah, karena kebiasaan orang Arab manakala bersumpah masing-masing dari mereka memegang tangan kanan rekannya.
Sedangkan menurut pengertian secara syar’i, kata yamin adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya.
B.    DENGAN APAKAH SUMPAH ITU MENJADI SAH?
Sumpah tidak teranggap, tidak sah, kecuali dengan menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu sifat-Nya.
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw pernah menjumpai Umar bin Khattab yang sedang bepergian di tengah kafilah bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lantas Beliau bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan (menyebut nama) bapak kalian; barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan (menyebut nama) Allah, atau diamlah!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 530 no: 6646, Muslim III: 1267 no: 3 dan 1646, ’Aunul Ma’bud IX: 77 no: 3233 dan Tirmidzi III: 45 no: 1573).
Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi saw bersabda, “Neraka Jahannam selalu bertanya, ’Apakah masih ada tambahan?’ hingga Rabb Yang Memiliki Keperkasaan meletakkan kaki-Nya padanya. Lalu Jahannam berkata, ‘Cukup-cukup, demi Keperkasaan-Mu’. Dan, Dia mengumpulkan sebagian api neraka itu pada sebagian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 545 no: 6661, Muslim IV: 2187 no: 2848 dan Tirmidzi V: 65 no: 3326).
C.    BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT SELAIN NAMA ALLAH ADALAH SYIRIK
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6204 dan Tirmidzi III: 45 no: 1574).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian bersumpah, lalu di dalam sumpahnya ia mengatakan, Demi Latta, maka hendaklah ia menyebut, LAA ILAAHA ILLALLAH. Dan barangsiapa berkata kepada rekannya, ’Mari kita main judi’, maka hendaklah ia bershadaqah.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1267 no: 1647, Nasa’i VII: 7, ’Aunul Ma’bud IX: 74 no: 3231 dengan tambahan ”FAL YATASHADDAQ BI SYAI-IN” (Maka hendaklah ia bershadaqah sesuatu), dan Fathul Bari XI: 536 no: 6650 dengan tambahan BILLAATA WAL ’UZZA (=dengan (menyebut nama) Latta dan ’Uzza).
D.    SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Sebagian orang ada yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah dengan dalih karena mereka khawatir berdusta dan merujuk pada firman-Nya:
“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan.” (QS al-Baqarah: 224).
Jawaban atas syubhat ini ialah sebagaimana yang tertuang dalam riwayat berikut.
Dari Mis’ar bin Kidam dari Wabirah bin Abdurrahman bahwa Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya bersumpah palsu dengan (menyebut nama) Allah lebih kusukai dari pada saya bersumpah secara jujur (dengan menyebut nama selain-Nya).” (ath-Thabrani dalam al-Kabir IX: 205 no: 8902).
Adapun ayat al-Baqarah itu, maknanya adalah sebagaimana yang diketengahkan Ibnu Katsir rahimahullah dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Janganlah sekali-kali kamu memposisikan sumpahmu sebagai penghalang agar kamu tidak berbuat kebajikan. Akan tetapi bayarlah kafarat untuk menebus sumpahmu, kemudian kerjakanlah kebajikan.”
Ibnu Katsir menulis, ”Masruq, asy-Sya’bi, Ibrahim, an-Nakha’i, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Athaa’, Ikrimah, Makhul, Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Rubayyi’ bin Anas, adh-Dhahhak, Atha’ al-Khurasan dan as-Sudi rahimahumullah memiliki penafsiran yang sama dengan Ibnu Abbas.” Selesai (Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
E.    BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT AGAMA SELAIN ISLAM
Dari Tsabit bin Dhahhak ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut) agama selain Islam dengan dusta dan sengaja, maka ia sebagaimana yang ia katakan.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim I: 105 no: 177 dan 110 dan lafadz ini miliknya, Fathul Bari XI: 537 no: 6652, ’Aunul Ma’bud IX: 83 no: 3240, Tirmidzi III: 50 no: 1583, Nasa’i VII: 6 dan Ibnu Majah I: 678 no: 2098.
Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Siapa saja yang menyatakan, ’Sesungguhnya saya berlepas diri dari Islam,’ Bila ia berdusta maka ia sebagaimana yang nyatakan; jika ia jujur maka dia tidak lagi kembali ke dalam Islam secara utuh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2576, ’Aunul Ma’bud IX: 85 no: 3241, Nasa’i VII: 6 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2100).
F.    ORANG YANG DISURUH BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH HARUS RIDHA
Dari Ibnu Umar ra, ia berceritera: Nabi saw pernah mendengar seorang shahabat bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lalu Beliau saw bersabda, ”Janganlah kamu bersumpah dengan (menyebut nama) bapak-bapakmu! Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka hendaklah ia jujur. Dan barangsiapa diminta bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka hendaklah ia ridha; barangsiapa yang tidak ridha kepada Allah, maka bukanlah ia termasuk orang yang dekat dengan Allah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1708 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2101).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Isa bin Maryam pernah melihat seorang laki-laki mencuri, lalu ia bertanya, ‘Apakah engkau telah mencuri?’ Jawab sang laki-laki, ‘Tidak. Demi Dzat yang tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Dia.’ Kemudian Isa berkata, ‘Saya beriman kepada Allah, dan saya mendustakan penglihatanku.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari VI: 478 no: 3444, Muslim IV: 1838 no: 2368, Nasa’i VIII: 249 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2102).
G. KLASIFIKASI YAMIN
Yamin (sumpah) terbagi menjadi tiga bagian:
  1. Al-Yaminul Laghwi (sumpah sia-sia).
  2. Al-Yaminul Ghamus (sumpah palsu).
  3. Al-Yaminul Mun’aqadah (sumpah yang sah).
1.    Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA'KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah.
Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan menghukm kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
Allah swt berfirman lagi:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maidah: 89).
Dari Aisyah ra (tentang firman Allah), “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah)”, ia berkata, ”Ayat ini turun pada perkataan orang Arab: LAA WALLAAHI, WA BALAA WALLAAHI (=tidak, demi Allah, dan tentu, demi Allah).” (Shahih Abu Daud no: 2789 dan Fathul Bari XI: 547 no: 6663).
2.    Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka.
Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan kafarah. Yamin, sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
Imam ath-Thabari ra menulis, ”Ma’na ayat ini ialah janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah yang kamu ucapkan itu, yang kamu berjanji hendak menyempurnakan perjanjian kepada rekan-rekanmu seperjanjian, janganlah kamu jadikan sebagai penipuan dan pengkhianatan supaya orang-orang percaya betul kepada kalian, sedangkan kalian menyembunyikan niat busuk hendak berlaku curang kepada mereka.” (Tafsir ath-Thabari XIV: 166).
Dari Abdullah bin Amr ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Dosa-dosa besar (di antaranya) ialah: menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (tak berdosa), dan sumpah palsu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4601, Fathul Bari XI: 555 no: 6675, Nasa’i VII: 89 dan Tirmidzi IV: 303 no: 5010).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada lima perkara (yang dosanya) tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, (pertama) menyekutukan Allah swt, (kedua) membunuh jiwa dengan cara yang tidak haq, (ketiga) merampas (harta) orang mukmin, (keempat) melarikan diri pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (kelima) sumpah palsu yang dimaksudkan untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar.” (Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3247 dan al-Fathur Rabbani XIV: 68 no: 220).
3.    Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.
Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah. Ini didasarkan pada firman Allah swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 - 745.
H.    SUMPAH BERGANTUNG PADA NIAT
Dari Umar bin Khattab ra, ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ’alaih: Shahih Bukhari I: 9 no: 1, Muslim III: 1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no: 2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no: 4227 dan Nasa’i I: 59).
Oleh karena itu, barangsiapa bersumpah untuk melakukan sesuatu, lalu yang diucapkan berlainan dengan yang diniatkan, maka yang teranggap adalah yang diniatkan, bukan yang diucapkan.
Dari Suwaid bin Hanzhalah ra, ia bercerita, ”Kami keluar hendak menemani Rasulullah saw bersama Wail bin Hujr ra, lalu ia ditahan oleh musuhnya. Kemudian para sahabat keberatan untuk mengucapkan sumpah, lalu saya mengucapkan sumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku, lalu ia dilepaskan. Kemudian, kami datang menemui Rasulullah saw, lalu saya informasikan kepada Beliau bahwa para shahabat merasa keberatan untuk bersumpah, lalu saya bersumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Engkau benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.” (Shahih, Shahih Ibnu Majah no: 1722, Ibnu Majah I: 685 no: 2119 dan ’Aunul Ma’bud IX: 82 no: 3239). Niat seorang yang bersumpah hanyalah akan dianggap jika ia tidak dimintai untuk bersumpah. Adapun jika ia diminta untuk bersumpah maka sumpah itu tergantung pada niat orang yang meminta sumpah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sumpah itu hanya bergantung pada niat orang yang meminta sumpah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1723, Ibnu Majah I: 685 no: 2120, Muslim LXXIII: 1274 no: 21 dan 1653 tanpa kata INNAMAA).
Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sumpahmu bergantung pada apa yang dibenarkan oleh rekanmu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah: no: 1724, Muslim III: 1274 no: 1653, Ibnu Majah I: 686 no: 2121, ‘Aunul Ma’bud IX: 80 no: 3238 dan Tirmidzi II: 404 no: 1365).
I.    TIDAK DIANGGAP MELANGGAR SUMPAH ORANG YANG MENYALAHI SUMPAHNYA KARENA LUPA ATAU KELIRU
Barangsiapa yang bersumpah tidak akan mengerjakan sesuatu, lalu ternyata ia melakukannya karena lupa atau karena keliru, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (QS al-Baqarah: 286).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
Bahwasannya Allah menjawab, “Ya.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3588 dan Muslim I: 115 no: 125).
J.    PENGECUALIAN DALAM SUMPAH
Barangsiapa bersumpah, lalu mengucapkan “INSYA ALLAH”, berarti ia telah melakukan pengecualian, dan tidak dianggap melanggarnya bila ia menyalahinya:
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda: Nabiyullah Sulaiman bin Dawud berkata, “(Demi Allah), saya benar-benar akan menggilir tujuh puluh isteri pada malam ini, yang kesemuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berperang di jalan Allah.” Kemudian rekannya atau seorang malaikat berkata (kepadanya), “Ucapkanlah, INSYA ALLAH (Jika Allah menghendaki).” Namun dia tidak mengucapkannya dan ia lupa, maka tidak seorangpun di antara isteri-isterinya yang melahirkan seorang anak kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang cacat. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Andaikata dia mengucapkan INSYA ALLAH, maka ia tidak (dianggap) melanggar sumpahnya, dan ia pasti akan memperoleh hajat (permohonan)nya.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1275 no: 23 dan 1654 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 534 no: 6639 dan Nasa’i VII: 25).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dan mengucapkan pengecualian (insya Allah), maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan tanpa (dianggap) melanggar sumpahnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1711, Ibnu Majah I: 680 no: 2105, ‘Aunal Ma’bud IX: 88 no: 3245, dan Nasa’i VII: 12).
K.    ORANG YANG BERSUMPAH UNTUK MELAKUKAN SESUATU, LALU MELIHAT ADA YANG LEBIH BAIK DARIPADA APA YANG DISUMPAHKAN
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kafarah!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2004, Muslim III: 1272 no: 13 dan 1650 dan Tirmidzi III: 43 no: 1569).
L.    DILARANG TERUS-MENERUS BERSUMPAH
Allah swt berfirman:
“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah diantara manusia. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 224).
Ibnu Abbas ra berkata, “Janganlah sekali-kali kamu menjadikan sumpahmu sebagai penghalang untuk melakukan kebajikan; namun tebuslah sumpahmu dengan membayar kafarah dan kerjakanlah segala kebajikan!” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya seorang di antara kamu terus-menerus bersumpah di tengah keluarganya adalah lebih besar dosanya menurut pandangan Allah daripada membayar kafarahnya yang telah diwajibkan Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XI: 517 no: 2625 dan Muslim III: 1276 no: 1655).
M.    KAFARAH SUMPAH
Barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka kafarahnya salah satu dari tiga alternatif ini:
  1. Memberi makan sepuluh orang miskin makanan yang biasanya kita berikan kepada keluarga kita.
  2. Atau memberi pakaian kepada mereka.
  3. Atau memerdekakan seorang budak.
Kemudian barangsiapa tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif di atas, maka kafarahnya harus berpuasa tiga hari. Tidak boleh membayar kafarah dengan jalan berpuasa selagi mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif itu.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu, bila kamu bersumpah (lalu kamu melanggar).” (QS al-Maa-idah: 89).
N.    BERSUMPAH DENGAN KATA HARAM
Barangsiapa mengatakan, ”Makananku haram atas diriku,” atau, ”Haram atas diriku masuk ke dalam rumah si Fulan,” dan semisalnya yang sejatinya termasuk perbuatan yang tidak diharamkan Allah atasnya, maka jika ia melanggar sumpah termaksud ia harus membayar kafarah sumpah:
Allah swt berfirman:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekali membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS at-Tahriim: 1-2).
Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah meneguk madu di (rumah) Zainab binti Jahsy (salah satu isterinya) dan tinggal (beberapa hari) bersamanya, kemudian saya dan Hafshah sepakat, (jika) Rasulullah saw masuk ke rumah siapa saja di antara kami berdua, maka hendaklah dia (juga) bertanya kepada Beliau, ”Apakah engkau sudah makan getah pohon? Karena sesungguhnya aku mencium getah pohon padamu.” Maka jawab Beliau, ”Tidak, namun saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan minum lagi dan sungguh aku telah bersumpah janganlah engkau menceritakan hal ini kepada siapapun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3553 dan Fathul Bari VIII: 656 no: 4912).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Tentang (sumpah menggunakan kata) haram ada kafarahnya (kalau dilanggar), (lalu ia membaca ayat), ’LAQAD KAANA LAKUM FII RASUULILLAHI USWATUN HASANAH (=Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik).”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 737 - 751

1.    PENGERTIAN NADZAR
Nudzur adalah bentuk jama’ dari nadzar, berasal dari akar kata indzar yang berma’na takhwif (memberi ancaman).
Sedang menurut istilah fiqh sebagaimana yang ditegaskan oleh ar-Raghib, bahwa nadzar ialah mewajibkan sesuatu yang tidak wajib karena terjadi suatu perkara.
2.    PENSYARI’ATAN NADZAR
Allah swt berfirman:
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS al-Baqarah: 270).
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS al-Hajj: 29).
Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang menyempurnakan nadzarnya, Allah swt berfirman:
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merana di mana-mana.” (QS al-Insaan: 7).
Dari Aisyah ra dari Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya, dan barangsiapa bernadzar hendak durhaka kepada-Nya, maka janganlah ia durhaka kepada-Nya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6565, Fathul Bari XI: 581 no: 6696, ’Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3265, Tirmidzi III: 41 no: 1564, Nasa’i VII: 17 dan Ibnu Majah I: 687 no: 2126).
3.    DILARANG MENGUCAPKAN NADZAR MU’ALLAQ (BERSYARAT)
Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Nabi saw melarang bernadzar, dan Beliau bersabda, ”Sesungguhnya nadzar tidak bisa menolak sesuatu apapun, namun dengannya dapat dikeluarkan (harta) orang yang bakhil.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 576 no: 6693, Muslim III: 260 no: 1639, ‘Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3263 dan Nasa’i VII: 16).
Dari Sa’id bin Harits bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar ra berkata: Bukankah mereka telah dilarang dari bernadzar? Sesungguhnya Nabi saw bersabda, ”Sejatinya nadzar itu tidak bisa memajukan sesuatu dan tidak (pula) memundurkan (sesuatu); namun sesungguhnya (pemberian) dari orang yang bakhil hanya bisa dikeluarkan melalui nadzar.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 575 no: 6692, Muslim III: 1261 no: 3 dan 1639 tanpa pernyataan Ibnu Umar itu).
4.    KAPAN NADZAR DIANGGAP SAH DAN KAPAN PULA DINILAI TIDAK SAH
Suatu nadzar akan menjadi sah dan berlaku manakala ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan wajib dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini berpijak pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Nabi saw bersabda:
”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya!” (Takhrij haditsnya sudah termuat pada halaman sebelumnya).
Adapun nadzar untuk suatu kemaksiatan tidak sah, namun pelakunya wajib membayar kafarah sumpah:
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sama sekali tidak ada nadzar dalam kedurhakaan, dan kafarahnya adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2590, ’Aunul Ma’bud IX: 115 no: 3267, Tirmidzi III: 40 no: 1562, Nasa’i VII: 26 dan Ibnu Majah I: 686 no: 2125).
Adapun nadzar yang mubah, misalnya seseorang bernadzar hendak menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, atau hendak berdiri di terik matahari, maka nadzar seperti itu tidak berlaku dan tidak punya akibat hukum yang wajib dipenuhi.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah melihat seorang kakek tua renta berjalan berpapah pada kedua puteranya, lalu Beliau bertanya, “Apa-apaan ini?” Jawab kedua puteranya, “Ya Rasulullah, dia bernadzar (naik haji dengan jalan kaki). Kemudian Beliau saw bersabda, “Wahai kakek, naiklah kendaraan; karena sesungguhnya Allah tidak butuh kepadamu dan tidak pula kepada nadzarmu ini.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1005 dan Muslim III: 1264 no: 1643).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw pernah melewati seorang laki-laki di Mekkah sedang berdiri di terik matahari, lalu Beliau bertanya, “Sedang apa orang ini?” Jawab mereka, “Dia bernadzar puasa dan tidak berteduh pada bayangan hingga malam, tidak berbicara dan terus-menerus berdiri.” Maka sabda Beliau, “Hendaklah ia berbicara, berteduh dan duduk dan sempurnakanlah puasanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2591, Fathul Bari IV: 276 dan ‘Aunul Ma’bud no: 3300).
5.    ORANG YANG BERNADZAR KEMUDIAN TIDAK MAMPU MELAKSANAKANNYA
Barangsiapa bernadzar hendak ta’at, kemudian tidak mampu menyempurnakannya, maka ia harus membayar kafarah sumpah.
Dari Uqbah bin Amir ra dan dari Rasulullah saw, Beliau bersabda, ”Kaffarah nadzar adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 4488, Muslim III: 1265 no: 1645 dan Nasa’i VII: 26).
6.    ORANG YANG BERNADZAR KEMUDIAN MENINGGAL DUNIA
Siapa saja yang bernadzar, lalu wafat sebelum menyempurnakan nadzarnya, maka harus dilaksanakan oleh walinya.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah saw perihal ibunya yang mempunyai tanggungan nadzar (lalu) wafat sebelum menyempurnakannya. Maka jawab Rasulullah saw, ”Maka hendaklah engkau menyempurnakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1260 no: 1638 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 583 no: 6698, ’Aunul Ma’bud IX: 134 no: 3283, Tirmidzi III: 51 no: 1586, Nasa’i VII: 21 dan Ibnu Majah I: 689 no: 2132).