Selasa, 22 Mei 2012


ASPEK METODOLOGIS TAFSIR MAUĎU’IY SURAH
UPAYA PENELITIAN DAN PENELUSURAN
TAFSIR MAUĎU’IY  SURAH
oleh : Abu Izzat

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ( Q.47, Muhammad : 24 )


I. PENDAHULUAN
Al-Qur’ân merupakan kalam Allah yang dibahasakan dengan bahasa yang mendekati bahasa manusia karena peruntukannya memang sebagai hudan li al-nas. Dengan bahasa inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa maksud al-Qur’ân ketika bertutur dengan ayat-ayatnya. Pada saat awal al-Qur’ân diturunkan, Rasulullah berperan sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) tentang wahyu yang diterimanya. Rasulullah banyak menjelaskan arti dan maksud ayat yang tidak dipahami oleh para sahabat, khususnya menyangkut ayat-ayat yang mempunyai arti yang samar. Tugas sebagai mubayyin ini diemban Rasulullah sampai beliau wafat.
Sepeninggal Rasulullah, para sahabat yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni juga meneruskan tugas sebagai penjelas ayat-ayat Qur’an ini. Para sahabat banyak melakukan ijtihad tentang masalah-masalah yang dihadapi umat Islam saat itu. Mereka yang dikenal akrab dengan persoalan tafsir antara lain : ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud, sebagaimana dalam Hadith [1] Meskipun generasi kedua ini melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’ân, tetapi mereka tetap menggunakan hadis Nabi dan al-Qur’ân itu sendiri sebagai alat untuk menafsirkan kalam Allah.
Metode tafsir yang digunakan pada generasi sahabat juga tetap digunakan pada generasi berikutnya, yaitu generasi tabi’in. dan tafsir pada periode awal ini dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ma’thur dan dianggap sebagai tafsir yang paling tinggi tingkatannya. Periode Nabi, sahabat dan tabi’in adalah periode pertama dalam perkembangan tafsir yang berakhir pada sekitar tahun 150 H. Baru pada periode kedua, setelah zaman tabi’in, tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan ijtihad para ulama mulai berkembang mengingat banyaknya persoalan-persoalan yang muncul yang belum ada sebelumnya.
Pada perkembangannya corak dan metode tafsir juga menjadi beragam. Corak sastra, filsafat dan teologi, fiqih, tasawuf, dan juga corak sastra budaya kemasyarakatan. Begitu juga dengan metode penafsiran juga berkembang. Dari metode tahlilî (analisis) yang menjelaskan kandungan ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat sebagaimana yang ada dalam mushaf al-Qur’ân, sampai pada metode ijmalî, muqaran dan Mauđu’iy( tematik). [2]
 Metode yang terakhir inilah yang sekarang berkembang untuk menjawab persoalan-persoalan umat. Para ulama tafsir mencoba menjawab satu persoalan dengan menghimpun dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ân dari berbagai surat yang ada yang dianggap masih satu tema dengan persoalan tersebut. Dengan metode ini kita tidak perlu membuka semua lembar kitab tafsir untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan tertentu karena sudah dipilah-pilah dalam tema-tema yang terpisah baik berdasar ayat maupun surah.
II. PEMBAHASAN
Jika metode yang digunakan dalam tafsir selalu menggunakan urutan ayat-ayatnya dari awal hingga akhir surah, maka tafsir Mauđu’iy menggunakan tema per tema baik berdasar surah maupun ayat, sehingga tafsir tematik lebih fokus membahas sebuah tema tertentu dengan bimbingan dan pembahasan yang detail dan jelas. Begitu juga, bimbingan yang sangat jelas dan detail dalam upaya melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tematik berdasar surah al-Qur’an; dan (2) tematik berdasar subyek.
A.    Pengertian Metode Taafsir Mauđu’iy Surah
Kalimat “Metode Tafsir Mauđu’iy terdiri dari tiga rangkaian kata yaitu “Metode”, “Tafsir” dan “Maudu’y”, ketiga kata ini akan didefinisikan secara terpisah. Kata “Metode” secara etimologi berasal dari kata Yunani methodos, merupakan sambungan kata meta yang berarti menuju, melalui, atau mengikuti dan kata hodos yang berarti jalan, cara, atau arah. Dengan demikian maka kata methodos berarti: pengkajian, metode ilmiah, uraian ilmiah, yaitu cara bertindak menurut sistem aturan tertentu atau suatu cara dalam mengerjakan sesuatu obyek.
Kata Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang seacara morfologis berakar kata dengan huruf-huruf  ف  س dan ر yang bermakna “(بان) keadaan nyata dan jelas”. maka bentuk kata kerjanya adalah فَسَّرَ – يُفَسِّرُ yang bermakna memberikan penjelasan.
Kemudian kataموضوعي  adalah kata bentukan dari kata dasar وضع yang mempunyai beberapa arti, antara lain : meletakkan, merendahkan, menjatuhkan, menyusun/mengarang dan lain-lain. Kata موضوع sendiri adalah bentuk isim maf’ul dari وضع yang berarti “masalah atau pokok pembicaraan”. Dan yang dimaksud dengan Surah adalah salah satu surah dalam Alqur an.
Dari arti bahasan ini sudah bisa dipahami bahwa tafsir Mauđu’iy Surah adalah  menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud dengan cara membahas tentang beberapa hal yang terkait dengan Surah tersebut, seperti tempat, dan waktu turunnya,tujuannya dan hal-hal lain dengan menyertakan Nash yang mendukungnya .[3]
B.     Metode penelitian Tafsir Mauđu’iy Surah
Sebagaimana dijelaskan mengenai lahirnya metode Mauđu’iy sejak zaman Nabi, sebagai cikal bakalnya dan dari beberapa karya tafsir Mauđu’iy yang ada, maka Tafsir Mauđu’iy surah, yang merupakan penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur-an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, jadi mufasir membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksud surat baik yang umum dan yang khusus, dan menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang terkandung di dalamnya sehingga satu surat tersebut nampak membicarakan satu masalah yang utuh. Dengan demikian maka metode penelitian Tafsir Mauđu’iy surah dapat diringkas sebagai berikut :
1.                  Menetapkan surah tertentu yang akan dibahas dan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengannya, seperti latar belakang diturunkanya, Makkiyah atau Madaniyah, nama lain serta Melengkapi pembahasan dan uraian tema yang dipilih dengan hadis-hadis yang relevan. dan Hadis-hadis ini juga perlu ditakhrij untuk mengetahui darajat keshahihannya. Perlu juga dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dan tabi’in.[4]
2.                  Menjelaskan tujuan-tujuannya baik secara umum atau husus dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut serta kaitan antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut.
3.                  Menjelaskan bagian surat tersebut dari beberapa unsur ayatnya yang berkaitan dengan tujuan tertentu.
4.                  Menjelaskan korelasi antara beberapa unsur dan bagian dari surah tersebut serta hala-hal yang dapat diambil dari hasil gabungan itu. 
C. Cara Kerja dan tahapan Tafsir Mauđu’iy surah
Tafsir tematik ini mempunyai kekhasan tersendiri dari cara kerja atau langkah-langkah yang ditempuh  sebagai berikut:
1. Penafsiran menyangkut satu surah dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuannya secara umum dan yang merupakan tema utama, serta menghubungkan perkara-perkara yang beraneka ragam dalam surah tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surah tersebut dengan berbagai masalah-masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.[5] Hal tersebut dapat dilakukan dengan langkah pembahasan seputar surah yang meliputi mengetahui sebab diturunkannya baik secara keseluruhan surah maupun terpisah.
2. Mencari tahu tentang tujuan dasar dari diturunkanya surah tersebut dengan cara menelusuri keberadaan beberapa namanya, mengkaitkan dengan kejadian pada saat diturunkanya dan atau tahapan waktu diturunkanya. . [6]
3. Menjelaskan potongan ayat dari surah tersebut secara runtut sesuai dengan kronologi masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzûl-nya, karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini kadang tidak dicantumkan dikarena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode lain, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
4. Memahami dan menjelaskan munasabah (korelasi) antar ayat dalam surah tersebut.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka pembahasan yang sistematis. Agar tidak terpengaruh dengan pra-konsepsi yang dibawanya, maka dalam penyusunan kerangka pembahasan ini agar disusun berdasarkan bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya.
6. Mempelajari surah tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang secara lahir tampak kontradiktif, menjelaskan yang nasih dan mansuh, sehingga ayat-ayat tersebut bertemu dalam satu muara tanpa ada pemaksaan pemaknaan terhadap sebagian ayat dengan makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
D. Keistimewaan Tafsir Mauđu’iy
Setiap metode memang tidak luput dari kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Metode tafsir tematik ini juga mempunyai kelebihan dibanding dengan metode tafsir lainnya. Kelebihan metode ini antara lain dikemukakan oleh tokoh tafsir seperti Quraish Shihab, Abd al-Hayyi al-Farmawi juga ‘Ali Hasan al-‘Aridl yang mengutip al-Farmawiy, dapat dirangkum sebagai berikut :
- Hasil karya tafsir Mauđu’iy lebih mudah dipahami dibanding karya tafsir metode lain. Ini disebabkan karena Mauđu’iy  terfokus dalam satu tema permasalahan yang tidak terpecah-pecah. Dengan pembahasan per tema ini pesan al-Qur’ân menjadi lebih utuh sehingga lebih mudah diserap orang yang mempelajarinya.
- Kebenarannya relatif lebih dapat dipertanggungjawbkan karena dalam penafsirannya lebih menggunakan cara-cara tafsir bi al-Ma’thur (manfsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi).
- Metode ini memungkinkan mufasir untuk mengetahui suatu masalah dari berbagai aspeknya, sehingga mampu memberikan argumen yang kuat dan jelas dengan mengungkapkan rahasia ayat-ayat yang sedang ditafsirkan.
- Di samping lebih utuh dalam pembahasan dan mudah dalam pemahaman, tafsir ini juga dapat membuktikan bahwa persoalan yang dibahas dalam al-Qur’ân tidak hanya persoalan yang bersifat teoritis saja akan tetapi juga bisa membuktikan keistimewaan al-Qur’ân bahwa persoalan kekinian juga bisa dijawab oleh al-Qur’ân.
- Metode ini juga bisa membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Bahkan al-Qur’ân juga sejalan dengan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.[7][8]
E. Contoh Tafsir Mauđu’iy Surah seperti Tafsir Surah Quraisy
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2)
Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan suku Quraisy untuk menyembah Tuhannya sebagai tanda syukur mereka kepada yang menjadikan mereka kaum pedagang di negri yang tandus yang mempunyai dua jurusan perdagangan. Pada musim dingin ke arah Yaman untuk membeli rempah-rempah yang datang dari Timur Jauh melalui Teluk Persia dan yang kedua ke arah Syam pada musim panas untuk membeli hasil pertanian yang akan dibawa pulang ke negeri mereka yang tandus lagi kering itu.
Orang-orang penghuni padang pasir (Badwi) menghormati suku Quraisy karena mereka dipandang sebagai jiran Baitullah penduduk tanah suci dan berkhidmat untuk memelihara Ka’bah dan penjaga-penjaga Kakbah, oleh karena itu maka suku Quraisy berada dalam aman dan sentosa, baik ketika mereka pergi maupun ketika mereka pulang walaupun banyak terjadi perampokan dan penggarongan dalam perjalanan.
Karena rasa hormat kepada Baitullah itu merupakan suatu kekuatan jiwa dan berwibawa untuk memelihara keselamatan mereka dalam misi-misi perdagangannya ke utara atau ke selatan; sehingga timbullah suatu kebiasaan dan kegemaran untuk berniaga yang menghasilkan rezeki yang melimpah. Rasa hormat terhadap Baitullah yang memenuhi jiwa orang Arab itu adalah kehendak Allah semata, lebih-lebih lagi ketika mereka melihat bagaimana Allah menghancurkan tentara gajah yang ingin meruntuhkan Ka’bah, sebelum mereka sampai mendekatinya.
Sekiranya penghormatan terhadap Baitullah kurang mempengaruhi jiwa orang-orang Arab atau tidak ada sama sekali pengaruhnya niscaya orang-orang Quraisy tentu tidak mau mengadakan perjalanan-perjalanan perdagangan tersebut Maka dengan demikian akan berkuranglah sumber-sumber rezeki mereka sebab negeri mereka bukanlah tanah yang subur.
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan orang-orang Quraisy agar mereka menyembah Tuhan Pemilik Ka’bah yang telah menyelamatkan mereka dari serangan orang Ethiopia yang bergabung dalam tentara gajah, maka seyogianya mereka hanya menyembah-Nya dan mengagungkan-Nya. 
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْف (4)
Kemudian dalam ayat ini Allah menjelaskan sifat Tuhan Pemilik Ka’bah yang disuruh sembah itu, yaitu Tuhan yang membuka pintu rezeki yang luas bagi mereka dan memudahkan jalan untuk mencari rezeki itu.
Jika tidak demikian tentu mereka berada dalam kesempitan dan kesengsaraan. Dan Dia mengamankan jalan yang mereka tempuh dalam rangka mereka mencari rezeki, serta menjadikan orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan senang dengan mereka. Mereka tidak menemui kesulitan, baik terhadap diri maupun terhadap mereka. Kalau tidak, tentu mereka selalu berada dalam ketakutan yang mengakibatkan hidup sengsara dan papa.[9]

III. KESIMPULAN
Metodologi penelitian tafsir sebagaiamana metodologi penelitian disiplin ilmu lainnya akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan kebutuhan umat manusia dalam menemukan berbagai jawaban-jawaban Qur’any atas berbagai persoalan kehidupan.
Untuk saat ini metode Mauđu’iy dipandang sangat relevan dari metode-metode tafsir lainnya dalam menemukan petunjuk-petunjuk Ilahiyyah (al-Hidayah al-Ilahiyyah) diantara teks-teks al-Qur’an tentang berbagai problematika kontemporer, apalagi metode Mauđu’iy ditopang dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip penelitian ilmiah modern yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip Qur’aniyyah dan Risalah al-Nabawiyyah.
Wa-l-Hasil, siapapun yang hendak menemukan berbagai jawaban atas problematika yang dihadapinya dari teks-teks al-Qur’an seyogyanya dapat memahami dan menjalankan secara amanah dan ilmiah metode Mauđu’iy sebab metode ini tidak hanya dapat dijalankan oleh para peneliti tafsir yang mendedikasikan dirinya pada studi al-Qur’an secara akademis, tetapi juga dapat dijalankan dengan mudah oleh para peneliti muslim yang berkecimpung dalam bidang studi lainnya
Sebagai akhir makalah, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi yang bisa dijadikan kesimpulan dari isi tulisan ini.
1. Metode tafsir Mauđu’iy merupakan metode tafsir modern yang lahir dan berkembang untuk menjawab masalah-masalah kontemporer.
2. Metode Mauđu’iy mempunyai dua bentuk, yaitu dengan menjelaskan tema utama dari tema-tema kecil yang dibicarakan satu surat tertentu, dan dengan menghimpun seluruh ayat al-Qur’ân yang terkait dengan tema yang sama.
3. Karya tafsir yang menggunakan metode ini memiliki kekhasan yaitu lebih tuntas membicarakan satu tema tanpa terpotong oleh tema lain sehingga lebih mudah untuk memahami pesan-pesan yang dibawa oleh ayat-ayat al-Qur’ân.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.
2.      Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2.
3.      Abd Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, diterj. Rosihon Anwar. (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 6.
4.      Ahmad bin Faris bin Zakariya, Abu al-Husain, Mu’jam Maqayis al-Lughah. (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th), Jld. VI, 117.
5.       ‘Aly bin Muhammad al-Syarif al-Jurjany, Kitab al-Ta’rifat. (Beirut: Maktabah al-Bannan, 1985 M), 273.
6.      Muhammad al-Ghazaly, Kaifa Nata’amalu Ma’a al-Qur’an (Kairo: Dar al-Ma’arif, T.Th), 2.
7.      Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahammi Kandungan al-Qur’ân (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), 209-210.v  
8.      Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an (Jakarta: Intimedia, 2002), 327.
9.      Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’ân (Jakarta: Penamadani, 2003), 9.
10.  Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117. Juga dalam Al-Farmawiy, Metode Tafsir, hal. 52-53 dan dalam Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 94-95.
11.  Nadzm al durar fi tanasubil ayah wa al suwar- al biqo’I  1/17


[1]  Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.
اللهم أعط ابن عباس الحكمة وعلمه التأويل (أحمد ، والطبرانى ، وأبو نعيم فى الحلية ، وابن سعد ، والحاكم عن ابن عباس ، قال المناوى : بإسناد حسن) وأخرجه أحمد (1/269 ، رقم 2422) ، والطبرانى (11/213 ، رقم 11531) ، وأبو نعيم فى الحلية (1/316) ، وابن سعد (2/365) ، والحاكم (3/615 ، رقم 6280) وقال : صحيح الإسناد .

[2] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2.
عن ابن عباس قال : لأن أقرأ البقرة أرتلها أحب إلى من أن أهذ القرآن كله (عبد الرازق) [كنز العمال 4130] أخرجه عبد الرزاق (2/489 ، رقم 4187
[3]  Abd Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, diterj. Rosihon Anwar. (Bandung: Pustaka Setia,   2002), 6.
[4]  Shihab, “Membumikan” Al-Qur’ân, 117. Juga dalam Al-Farmawiy, Metode Tafsir, hal. 52-53 dan dalam Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi, 94-95.
[5]  Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’ân (Jakarta: Penamadani, 2003),
[6]  Nadzm al durar fi tanasubil ayah wa al suwar- al biqo’I  1/17
[7]  Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2.
[8] Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistemologis; Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu. (Orasi Pengukuhan Guru Besar dihadapan Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Ujungpandang, pada tanggal 28 April 1999), 2.

[9]  Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 2

KIAT
MENUJU SUKSES
 TELAAH TEMATIS  SURAH AL KAUTHAR
oleh : Abu Izzat

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS 91:8); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus): ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS 76:3).
PENDAHULUAN
Kajian terhadap al-Qur’an sesungguhya dapat dilakukan dengan melihat berbagai objek, mulai dari aspek sejarah kodifikasinya, qiraahnya, asbab nuzulnya sampai pada perkembangan penafsirannya. Dan Kajian terhadap sisi  penafsiran nampaknya justru yang sangat mengalami perkembangan cukup signifikan. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti.  Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena di satu sisi umat Islam  pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas, jelas dan mutawatir serta  konteks yang tidak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.
Jika kita dapat mencermati,  dari suatu generasi kepada generasi berikutnya penafsiran al-Qur’an memiliki corak dan karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah adanya perbedaan situasi sosio-historis di mana seorang mufassir hidup. Bahkan situasi politik  yang terjadi ketika mufassir melakukan kajian dan penafsiran terhadap Alqur an juga ikut mewarnai  penafsirannya.
Di samping itu memang cakupan makna yang terkandung dalam al-Qur’an memang sangat luas,  begitu pula perbedaan dan corak penafsiran juga disebabkan perbedaan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing mufassir. Al-Qur’an  memang merupakan kitab yang  mengandung kemungkinan banyak penafsiran. Sehingga adanya pluralitas penafsiran al-Qur’an adalah sah-sah saja, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Bahkan Penafsiran   dapat diibaratkan sebuah “organisme” yang selalu tumbuh dan berkembang. Ia akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring dan senafas dengan kemajuan tantangan yang dihadapi  manusia.
Alquran merupakan sumber ilmu. Banyak sekali ilmu yang berkaitan dengan Alquran. Hal itu karena para pengkaji Alquran bermaksud merealisasikan banyak tujuan dan memandang Alquran dari segi yang berbeda. 
Ketika Rosulullah masih hidup, para sahabat menanyakan semua persoalan mereka kepada beliau, atau melihat sikap dan perilaku beliau. Setelah rosulullah wafat tidak ada orang yang mempunyai otoritas kenabian untuk menjelaskan berbagai masalah yang selalu datang, dan para sahabat selalu berupaya menyampaikan dan mengedepankan Alqur an untuk menjawab. [1]
Sehingga dimasa sahabat, banyak dipelajari hal yng terkait dengan alqur an untuk mengetahui penafsiran sebuah ayat demi mendekati penafsiran Rosulullah. karena itu mereka “haus” untuk mengetahui sebab-sebab turunnya sebuah ayat, sebagai alat bantu dalam memahami dan menafsirkan ayat tersebut secara berurutan yang kemudian beerkembang menjadi penafsiran per surah atau per tema.
PEMBAHASAN
Penafsiran terhadap surah-surah tertentu dariAlqur an telah banyak ditulis oleh para Ulama mulai dari surah yang terpanjang sampai pada surah yang pendek-pendek, di bawah ini akan dibahas mengenai penafsiran salah satu surah Alqur an yang pendek yaitu surah Al Kauthar.

A.    Tek Ayat surah Al Kauthar dan Terjemahanya
Pembahasan mengenai satu surah secara menyeluruh dan utuh, dengan menjelaskan arti umum dan khususnya, menguraikan munasabah atau korelasi antar berbagai tema yang dikandungnya, sehingga menjadi jelas bahwa surat itu merupakan satu kesatuan yang kokoh dan ia seakan-akan merupakan satu rantai emas yang setiap gelang-gelang darinya bersambung satu dengan lainnya, sebagaimana pembahasan surah Al Kauthar berikut ini.
انا أعطيناك الكوثر (1) فصل لربك وانحر (2) ان شانئك هو الأبتر (3)
Innâ a‘thainâ ka al-kauthar fashalli lirabbika wanhar inna syâni’aka huwa al-abtar
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al Kauthar.Maka shalatlah kamu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya pembenci-mu itulah yang akan binasa. (QS Al Kauthar ,1-3).
B.     Waktu diturunkan dan Korelasi dengan surah sebelumnya
Terdapat perbedaan di antara para Ulama mengenai tempat dan waktu turunya surah Al Kauthar :
1-                  Surah Al Kauthar adalah termasuk salahsatu surah Makkiyah, [2] terdiri dari tiga ayat, berada setelah surah Al-Maa’un dalam urutan surah alqur an.
Adapun hubungan surah ini dengan surah sebelumnya (surah Al-Ma‘un), adalah : bila Allah telah menjelaskan dalam surah sebelumnya tentang orang yang mendustakan agama dengan empat macam sifat, yaitu al-bukhl (bakhil), tidak mau melakukan shalat, riya, dan tidak mau memberikan pertolongan, maka dalam surah Al Kauthar  ini Allah menyebutkan sifat-sifat yang dikaruniakan kepada Rasulullah Saw. berupa kebaikan dan keberkahan. Disebutkan bahwa beliau diberi Al Kauthar , yang berarti kebaikan yang banyak, dorongan untuk melakukan shalat dan membiasakan-nya, ikhlas dalam melakukannya dan bersedekah kepada kaum fakir miskin.[3]
2-    Anas bin Malik mengatakan bahwa kami berada di sekeliling Rasul, tiba-tiba Beliau terlena sebentar kemudian Beliau mengangkat kepala dan bersabda,’Diturunkan kepadaku tadi satu surah’. Lalu Beliau membaca surah al Kauthar dan bersabda,’Tahukah kalian apa al Kautsar?. Kami menjawab,’Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. Lalu Beliau melanjutkan,’ Ia adalah sungai yang dijanjikan Tuhan kepadaku. Disana terdapat banyak kebajikan. Ia adalah telaga yang banyak didatangi (untuk diminum) ummatku pada hari kiamat[4]
Berdasar hadith ini banyak juga para ulama yang mengatakan bahwa surah al Kauthar diturunkan di Madinah, karena Anas bin Malik baru masuk Islam pada masa awal hijrah nabi Muhammad saw ke Madinah. [5]
C.     Latar belakang sejarah diturunkanya
Surah ini murni untuk Rasulullah sebagaimana dikatakan Syyid Quthb dalam Tafsirnya yang menggambarkan kehidupan Dakwah dan juru dakwah terutama pada tahap awal. [6] Terdapat beragam riwayat yang menceritakan tentang latar belakang sejarah diturunkanya surah ini, salah satu diantaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Ketika putera Rasulullah saw (Al Qasim) meninggal, al ’Ash bin Wail berkata bahwa Muhammad telah terputus keturunannya, maka turunlah surah al Kautsar (Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah orang yang terputus). Riwayat yang senada dikatakan bahwa ’Uqbah bin Abi Mua’ith berkata,’Tidak seorang anak laki-lakipun yang hidup bagi nabi saw, sehingga keturunannya terputus’. Maka Surah al Kauthar turun sebagai bantahan terhadap ucapan tersebut.[7]
Ada riwayat lain menyebutkan bahwa Surah ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang musyrik Mekkah dan orang-orang munafik Madinah mereka mencela dan mengejek Nabi Saw. dengan beberapa hal. Pertama, orang-orang yang mengikuti beliau adalah orang-orang dhu‘afa, sementara orang-orang yang tidak mengikutinya adalah para pembesar dan pejabat. Andaikan agama yang dibawakan itu benar, tentu pembela-pembelanya itu ada dari kelompok orang pandai yang memiliki kedudukan di antara rekan-rekannya.[8]
Pernyataan seperti itu bukanlah hal baru yang hanya terjadi pada Nabi Muhammad, kaum para Nabi terdahulu juga berkata hal serupa kepada nabi mereka. Seperti dikisahkan dalam Al-Quran: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hinadina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud, 11:27).
Atas dasar latar belakang itu, surah Al Kauthar turun untuk menegaskan kepada Rasul Saw. bahwa apa yang diharapkan oleh orang-orang kafir itu merupakan harapan yang tidak ada kebenarannya; untuk menggoncangkan jiwa orang-orang yang tidak mau menyerah dalam pendiriannya, orang-orang yang berkepala batu; untuk menolak tipuan orang-orang musyrik dengan sebenar-benarnya; dan untuk mengajarkan kepada mereka bahwa Rasul akan ditolong, dan pengikut-pengikut-nya -yang dianggap lemah oleh merekapun- akan memperoleh kemenangan. [9]
Memang sudah begitu adanya, orang yang paling cepat memenuhi dakwah Rasul adalah para dhu‘afa. Itu disebabkan, di antaranya, karena mereka tidak memiliki harta sehingga tidak perlu takut hartanya akan tersia-siakan. Orang-orang dhu‘afa juga tidak memiliki pangkat atau kedudukan yang menyebabkan mereka takut akan kehilangan pangkat atau kedudukannya.
Keberadaan dan kebersamaan para dhu‘afa itu seringkali tidak disenangi oleh para pembesar. Karena itu seringkali terjadi perdebatan antara mereka dan para rasul. Mereka berusaha untuk melenyapkan dan mengganggu pengikut-pengikut Rasul –yang mereka anggap lemah- Namun Allah menolong rasul-Nya, memperkuat dan memperkokoh pengikutnya.
Sikap para pembesar seperti itu terjadi pula pada Rasul Saw.Sungguh para pembesar telah menentang beliau karena kedengkian mereka kepada Rasul dan para pengikutnya yang ber-kedudukan rendah menurut mereka. Kemudian, ketika mereka melihat putra-putra Rasulullah meninggal, mereka pun berkata: “Terputuslah keturunan Muhammad, dan dia menjadi abtar.” Mereka menganggap hal itu sebagai aib, sehingga mereka mencela beliau dan berusaha memalingkan orang lain dari mengikutinya. Apabila mereka melihat kesulitan yang turun dan menimpa orang-orang Mukmin, mereka senang dan menunggu kekuasaan itu bergeser kepada mereka.
D.    Makna  Al Kauthar
Al-Bukhari dan Ahmad meriwayatkan bahwa pada suatu saat sekian banyak orang akan digiring nanti di surga dan akan diberi minum dari telaga yang bernama Al Kauthar.Yang diberi minum dari telaga hanyalah umat Rasulullah Saw. Tetapi ketika sudah mendekat ke telaga Al Kauthar , mereka diusir oleh para malaikat. Lalu Rasulullah berteriak, “Sahabatku, sahabatku.” Kemudian Allah berfirman, “Tidak. Mereka bukan sahabatmu. Engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Rasulullah pun berkata, “Celakalah orang yang mengganti ajaran-ajaran agamaku setelah aku meninggal.[10]
Adapun makna dari Al Kauthar ulama menyebutkanya sangat banyak bahkan sampai diriwayatkan ada dua puluh enam pendapat tentang apa yang dimaksud dengan Al Kauthar, antara lain :
- Telaga di Surga
- Kebaikan yang banyak
- KeturunanRasulullahSaw
- Sahabat-sahabat dan pengikut Rasul hingga hari kiamat.
- Ulama di kalangan umat Muhammad Saw
- Al-Quran dengan segala keutamaannya yang banyak
- Nubuwwah;
- Dimudahkannya Al-Quran;
- Islam;
- Tauhid;
- Ilmu;
- Hikmah;
- bekal atau belanja dalam jumlah yang banyak.
- yang banyak memberi dan sebagainya.[11]
Di sini perlu kita mengambil tharîqah al-jam‘i (teori penggabungan). Kita mengambil yang umum, Al Kauthar  adalah kenikmatan yang banyak, yang dikaruniakan kepada Muhammad Saw. dan umatnya. Dan kenikmatan itu bisa berupa Al-Quran, atau petunjuk Allah, atau bertambah-nya pengikut beliau sampai akhir zaman hingga tidak terputus setelah beliau meninggal dunia, dan atau bisa juga telaga di surga. [12]
E.     Pemahaman Ulama dan korelasi antara ayat-ayatnya
Islam lahir dalam konteks merespon budaya dan pandangan hidup dalam masyarakat Arab pada saat itu. Mekkah saat itu mengalami kehancuran tatanan, struktursosial, dan krisis kemanusiaan yang muncul dalam bentuk perbudakan, pengusaan kekayaan yang dimonopoli oleh segelintir orang. Hingga kemudian orang-orang yang lemah dan miskin semakin tidak berdaya. Dalam konteks demkianlah Islam lahir sebagai agama pembebas manusia dari perbudakan, kemiskinan, dan diskriminasi, baikras, ekonomi dan hak hidup dan membela kaum tertindas.
Adanya keniscayaan fenomena lemah-kuat, kaya-miskin dan pintar-bodoh saja tidak masalah selagi tidak ada kedzaliman, penganiayaan dan penindasan yang terjadi sebagai akibatnya. Dalam kenyataanya kita sering menyaksikan orang atau pihak lemah dianiaya oleh pihak kuat. Akibatnya yang lemah makin lemah, yang kuat makin kuat. Sebagai umat Islam tentu kita akan kembalikan semuanya ke ajaran Islam. Lalu bagaimana Al-Qur’an melihat ketertindasan.
Dengan surah ini Allah  menegaskan bahwa telah memberikan kepada Nabi Muhammad pemberian yang banyak, telah mengaruniainya berbagai karunia, yang tidak mungkin sampai pada hakikatnya. Apabila musuh-musuhnya menganggap enteng dan kecil karunia itu, maka itu disebabkan karena kerusakan pikiran dan lemahnya persepsi mereka. Shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Jadikanlah shalatmu hanya kepada Tuhan saja, dan sembelihlah sembelihanmu yang merupakan pengorbananmu bagi Allah jua. Sebab, Allahlah yang memeliharamu dan melimpah-kan kepadamu segala nikmat-Nya.
Makna surah ini dapat diketahui melalui ayat penutupnya. Allah telah menghalangi kebaikan dari orang-orang yang membenciRasulNya.ان شانئك هو الأبتر terhalangi untuk mengingatNya, hartanya dan keluarganya, sehingga pada gilirannya, di akhirat ia akan merugi akibat dari semua perbuatan yang tidak terpuji tersebut, mereka tidak membekali diri dengan amalan shalih saat hidup di dunia, sebagai bekal di hari akhiratnya. Hatinya akan terhalangi dari kebaikan, sehingga dia tidak mengenali kebaikan, apalagi mencintainya, hati mereka penuh dengan kedengkian,  kebencian, kedzaliman dan memusuhi serta menindas orang-orang muslim terlebih kaum dlu’afaa yang pada ahirnya mendatangkan pertolongan Allah untuk membela kaum lemah tersebut.
Maka berhati-hatilah, jangan membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah atau menolaknya untuk memuaskan hawa nafsu, atau disibukkan dengan syahwat atau urusan dunia. Sesungguhnya Allah  tidak mewajibkan untuk taat kepada seseorang, kecuali taat kepada RasulNya, dan mengambil apa yang datang darinya. Maka barang siapa yang taat atau ditaati, sesungguhnya hal itu terjadi hanya dengan mengikuti Rasul. Seandainya diperintahkan dengan sesuatu yang menyelisihi Rasul, maka tidak perlu ditaati.
Setelah menggembirakan Rasul Saw. dengan sebesar-besarnya kabar gembira, dan meminta beliau untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat dan kesempurnaannya, lalu Allah menegaskan bahwa musuh-musuh beliaulah yang justru akan terkalahkan dan terhinakan, ان شانئك هو الأبتر. Sesungguhnya pembencimu, baik yang dulu maupun yang sekarang, akan terputus namanya dari kebaikan dunia dan akhirat, sehingga keturunanmu akan kekal dan akan kekal juga nama dan jejak-jejak keutamaanmu sampai hari kiamat.”
Sebenarnya para pembenci itu tidaklah membenci Rasul karena kepribadiannya. Mereka sebetulnya mencintai beliau lebih dari kecintaan kepada mereka sendiri. Namun, mereka marah kepada apa yang dibawa oleh beliau berupa petunjuk dan hikmah yang merendahkan agama mereka, mencela apa yang mereka sembah, dan menyeru mereka kedalam sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka lakukan selama ini.
Allah sudah menegaskan dan membuktikan kepada pembenci-pembenci Rasul  pada zaman beliau, mereka ditimpa kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka kecuali nama yang jelek. Dia juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi Saw. dan orang-orang yang mendapat petunjuk akan mendapatkan kedudukan di atas apa pun, sehingga kalimah mereka menjadi kalimah yang paling tinggi.[13] .
Karunia ini utuh dan berkesinambungan sebab kalimat pada ayat ini diawali dengan kata inna yang menunjukkan penegasan dan realisasi kandungan berita. Demikian juga, Allah menggunakan fi'il madhi  dalam kalimat ini, yang bertujuan sebagai penekanan kejadian peristiwa. Sebab obyek yang sifatnya harapan yang berasaldariDzat Yang MahaMulia, terhitung sebagai hal yang pasti terjadi.
Selanjutnya, kata nahr, juga memiliki beberapa makna. Salah satu arti kata nahr adalah berkurban. Arti yang lain adalah bagian dada sebelah atas. Sebagian mufassir menjelaskan yang dimaksud dengan nahr ialah mengangkat tangan lurus dengan bahu sebelah atas. Sehingga maknanya adalah, “Shalatlah kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu sambil mengangkat tangan selurus bahu.”
 Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hatim, Al-Hakim, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, dalam Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Ketika surah ini diturunkan Nabi bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud dengan nahr yang diperintahkan oleh Allah di sini?’ Jibril berkata: ‘Yang dimaksud di sini bukan berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat menghormat dalam shalat, saat takbir, ruku, dan mengangkat kepala dari ruku. Sebab, itulah shalat kami dan shalat malaikat yang berada di langit yang tujuh. Segala sesuatu itu memiliki perhiasan-nya. Dan perhiasan shalat adalah mengangkat tangan pada setiap takbir. [14]
Begitu pula mengenai al-abtar, ulamaTafsir menyebutkan beberapa hal, yaitu:
Dulu, pengikut-pengikut Rasul Saw. Yang pertama adalah kelompok dhu‘afa, fuqara dan orang miskin. Kebanyakan mereka bodoh-bodoh sehingga diejek dengan sebutan sufahâ’, orang-orang bodoh, walaupun kemudian Allah menegaskan, alâ innahum hum al-sufahâ’, mereka (para pembesar) itulah yang bodoh. Mereka (para pembesar) itu meng-anggap bahwa kalau agama yang dibawa oleh Muhammad itu benar, tentu pengikutnya adalah orang-orang pandai, orang-orang besar, dan orang-orang yang mengerti. Tetapi, mengapa para pengikutnya justru orang-orang bodoh? Karena itulah mereka menganggap bahwa agama itu akan cepat abtar, dan akan cepat lenyap, cepat terputus.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Mempunyai beberapa orang putra. Putra tertua bernama Al-Qasim. Kemudian Zainab, Abdullah, Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Fathimah. Al-Qasim meninggal. Setelah ia meninggal, Abdullah pun meninggal. Maka, berkatalah Al-‘Ash ibin Wail Al-Sahmi, salah seorang pembesar Quraisy: “Sudah terputus keturunan Muhammad; ia menjadiabtar, orang yang terputus keturunannya.” Sebab itulah Allah menurunkan ayat, Inna syâni’aka huwa al-abtar (Sesunguhnya pembencimulah yang akan binasa). Itulah pula sebabnya sebagian ulama men-jelaskan bahwa yang dimaksud al­kautsar dalam surah ini adalah keturunan Rasulullah Saw., yakni janji Allah bahwa keturunan Muhammad tidak akan terputus, melainkan beranak pinak dalam jumlah yang banyak. Dahulu, orang Arab menyebut seorang anak dengan nama bapaknya. Jadi, jika seseorang tidak mem-punyai anak, maka namanya tidak akan disebut-sebut orang. Dan ternyata, nama Rasulullah dan para pengikutnya terus berlanjut dengan kenangan yang baik, hingga sekarang. [15]
Orang-orang musyrik disebut abtarantara kain karena tujuan mereka terputus sebelum mereka mencapainya. Menurut asal katanya, al­abtar adalah binatang yang terpotong ekornya. Adapun yang dimaksud al-abtar di sini ialah orang yang namanya tidak berlanjut dan jejaknya tidak kekal. Pengumpamaan kekalnya sebutan yang baik dan berlanjutnya jejak yang indah dengan ekor binatang karena ekor binatang itu mengikuti binatangnya dan menjadi perhiasan baginya. Sehingga, orang yang tidak memiliki sebutan yang kekal dan jejak indah yang berlanjut diibaratkan sebagai orang yang ekornya terlepas atau terputus.[16]
Demikianlah sunnatullah bahwa pengikut dakwah para Nabi pada umumnya berasal dari kelompok dhu‘afa, dan bahwa para nabi dan pengikutnya selalu memilih bergaul dengan kelompok dhu‘afa. Bahkan di banyak tempat Islam berkembang pesat karena para ulama dan tokohnya mendekati kelompok orang yang lelemah.  Islam memiliki daya tarik yang besar bagi kelompok dhu‘afa dan orang-orang lemah. Hal ini kiranya perlu diteegaskan berkali-kali. Karena, selama ini orientasi dakwah kita hanya tertuju kepada kelompok elit saja, atau kelompok menengah yang sedang bangkit. Sementara orang-orang miskin, dhu‘afa didekati oleh agama lain, sehingga beberapa tempat telah banyak yang mengikuti ajakan mereka. Begitu pula yang dimaksud dhu‘afa dalam alquran bukan saja lemah dalam arti materi, tapi juga ilmu sekalipun titik beratnya adalah dhu‘afa dari segi materi. Orang yang lemah dari sisi kekayaan, biasanya lemah juga dari sisi ilmu pengetahuan, kehidupan politik, dan kehidupan sosial.


PENUTUP
Al Kauthar  adalah pemberian Allah yang tiada terhitung, yang dikaruniakan kepada Muhammad Saw. Dan kenikmatan itu bisa berupa Al-Quran, atau petunjuk Allah, atau bertambah-nya pengikut beliau sampai akhir zaman hingga tidak terputus setelah beliau meninggal dunia, dan atau bisa juga telaga di surga.
Jadi walaupun al Kauthar pada konteks surat al Kauthar ditujukan kepada Rasulullah saw (karena menggunakan kata ganti ka/kamu), namun tidak berlebihan kiranya jika kita juga berharap untuk memperolehnya. Apalagi jika dikaitkan dengan makna al kauthar yang dapat bermakna sangat luas sesuai dengan makna harfiyah. Semoga kita juga memperoleh al kauthar –dapat minum telaga di surga, mempunyai keturunan shalih/shalihah, dan karunia Allah lainnya, tentu saja dengan ketekunan melaksanakan Shalat serta ibadah yang lain dan dengan kerelaan berkorban di jalan Allah Subhaanahu wata'alaaفصل لربك وانحر ) ).
Karena dari seluruh pilihan hidup manusia, intinya hanya dua: kebaikan dan kejahatan. Kedua pilihan itu telah ditiupkan secara inspiratif (ilham) dalam setiap jiwa manusia. Secara fitrah, setiap orang mampu membedakan kebaikan dari kejahatan, setidaknya secara universal, sebagaimanadiisyaratkan Alqur an: “Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan” (QS 90:10); “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS 91:8); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus): ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS 76:3).
Sangatlah kurang tepat kalau ada orang menyatakan bahwa seorang penjahat tidak berpotensi menjadi baik, juga tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa seorang alim tidak mempunyai bakat jadi orang jahat. Setiap orang berpotensi atau berbakat untuk menjadi satu di antara dua: baik, atau jahat, dzalim atau didzalimi... dan islam memerintah pemelukmya untuk selalu menolong orang yang dzalim dengan mencegah kedzalimanya dan membela orang yang didzalimi dan tertindas
والعلم عند الله واليه المرجع والمأّب


[1]عن محمد بن كعب القرظى قال : جمع القرآن فى زمان النبى  - صلى الله عليه وسلم -  خمسة من الأنصار : معاذ بن جبل ، وعبادة بن الصامت ، وأبى بن كعب ، وأبو أيوب ، وأبو الدرداء ، فلما كان زمان عمر بن الخطاب كتب إليه يزيد بن أبى سفيان ، إن أهل الشام قد كثروا وربلوا وملأوا المدائن ، واحتاجوا إلى من يعلمهم القرآن ، ويفقههم فأعن يا أمير المؤمنين برجال يعلمونهم ، فدعا عمر أولئك الخمسة ، فقال لهم : إن إخوانكم من أهل الشام قد استعانونى بمن يعلمهم القرآن ويفقههم فى الدين ، فأعينونى رحمكم الله بثلاثة منكم ، إن أحببيم ، فاستهموا ، وإن انتدب منكم ثلاثة فليخرجوا ، فقالوا : ما كنا لنساهم ، هذا شيخ كبير لأبى أيوب ، وأما هذا فسقيم لأبى بن كعب ، فخرج معاذ بن جبل وعبادة وأبو الدرداء ، فقال عمر ابدؤا بحمص ، فإنكم ستجدون الناس على وجوه مختلفة ، منهم من يلقن فاذا رأيتم ذلك فوجهوا إليه طائفة من الناس فإذا رضيتم منهم فليقم بها واحد ، وليخرجواحد إلى دمشق ، والآخر إلى فلسطين ، فقدموا حمص فكانوا بها حتى إذا رضوا من الناس أقام بها عبادة ، ورجع أبو الدرداء إلى دمشق ، ومعاذ إلى فلسطين ، فأما معاذ فمات عام طاعون عمواس ، وأما عبادة فسار بعد إلى فلسطين فمات بها وأما أبو الدرداء فلم يزل بدمشق حتى مات (ابن سعد ، وابن عساكر) كنز العمال 4765 وأخرجه ابن سعد (2/357) ، ابن عساكر (26/194


1 - أخرج البزار وغيره بسند صحيح عن ابن عباس قال: قدم كعب بن الأشرف مكة، فقالت له قريش: أنت سيدهم، ألا ترى هذا المنصبر المنبتر من قومه، يزعم أنه خير منا، ونحن أهل الحجيج، وأهل السقاية، وأهل السدانة! قال:أنتم خير منه، فنزلت: إِنَّ شانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.وأخرج ابن أبي شيبة في المصنف وابن المنذر عن عكرمة قال: لما أوحي إلى النبي صلّى اللَّه عليه وسلّم قالت قريش: بتر محمد منا، فنزلت: إِنَّ شانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.وأخرج ابن أبي حاتم عن السّدّي قال: كانت قريش تقول إذا مات ذكور الرجل: بتر فلان، فلما مات ولد النبي صلّى اللَّه عليه وسلّم، قال العاصي بن وائل: بتر محمد، فنزلت. وأخرج البيهقي في الدلائل مثله عن محمد بن علي، وسمى الولد:
القاسم، وأخرج عن مجاهد قال: نزلت في العاصي بن وائل، وذلك أنه قال: أنا شانئ محمد
[2]. تفسير القرطبيالكوثر" وهيمكيةفيقولابنعباسوالكلبيومقاتل
[3]نظمالدررفيتناسبالآياتوالسور المؤلف : برهانالدينأبيالحسنإبراهيمبنعمرالبقاعي  دارالنشر :دارالكتبالعلمية - بيروت - 1415
[4]أنزلت على آنفا سورة بسم الله الرحمن الرحيم إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر إن شانئك هو الأبتر أتدرون ما الكوثر فإنه نهر وعدنيه ربى ، عليه خير كثير ، هو حوضى ترد عليه أمتى يوم القيامة ، آنيته عدد النجوم ، فيختلج العبد منهم فأقول يا رب إنه من أمتى ، فيقول ما تدرى ما أحدث بعدك (أبو داود ، والنسائى عن أنس
[5]. تفسير القرطبيقولالحسنوعكرمةومجاهدوقتادة  هي مدنية
[6]Tafsir surah al kautharSayyidQuthb Fi Dzilalalqur an
[7]قال ابن عباس : نزلت هذه السورة في العاص بن وائل ابن هشام بن سعيد بن سهم أنه رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج من المسجد وهو يدخل فالتقيا عند باب بني سهم وتحدّثا وأناس من صناديد قريش في المسجد جلوس ، فلما دخل العاص قالوا له : من الذي كنت تحدث؟ قال : ذاك الأبتر ، يعني النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد توفى قبل ذلك عبد الله ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان من خديجة ، وكانوا يسمّون من ليس له ابن أبتر ، فسمّته قريش عند موت إبنه أبتر وصنبوراً فأنزل الله سبحانه  إِنَّآ أَعْطَيْنَاكَ الكوثر
[8] قال الامام الطبري حدثنا ابن المثنى، قال: ثنا عبد الوهاب، قال: ثنا داود، عن عكرمة، في هذه الآية:( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا ) قال: نزلت في كعب بن الأشرف، أتى مكة فقال لها أهلها: نحن خير أم هذا الصنبور  المنبتر من قومهونحن أهل الحجيج، وعندنا منحر البدن، قال: أنتم خير. فأنزل الله فيه هذه الآية، وأنزل في الذين قالوا للنبي صلى الله عليه وسلم ما قالوا:( إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ
[9]asbabunnuzul surah al Kautsar, Qomaruddinshaleh, dkk

[10]قال: "هل تدرون ما الكوثر؟ "، قالوا: الله ورسوله أعلم. قال: "هو نهر أعطانيه ربي، عز وجل، في الجنة، عليه خير كثير، تردُ عليه أمتي يوم القيامة، آنيته عدد الكواكب، يُخْتَلَج العبد منهم فأقول: يا رب، إنه من أمتي. فيقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك". (1)هكذا رواه الإمام أحمد بهذا الإسناد الثلاثي، تفسير ابن كثير
[11]أعطيت الكوثر نهر فى الجنة عرضه وطوله ما بين المشرق والمغرب لا يشرب منه أحد فيظمأ ولا يتوضأ منه أحد فيشعث أبدا لا يشربه إنسان أخفر ذمتى ولا قتل أهل بيتى (ابن مردويه عن أنس) وأخرجه أيضا : الطبرانى (3/126 ، رقم 2882) ، وعزاه المصنف أيضا فى الدر المنثور
واخرجه البخارى ، والترمذى وقال  - حسن صحيح - وابن حبان عن أنس)أخرجه البخارى (4/1900 ، رقم 4680) ، والترمذى (5/449 ، رقم 3360) وقال : حسن صحيح . وابن حبان (14/391 ، رقم 6474) . وأخرجه أيضا : أحمد (3/207 ، رقم 13179) ، وعبد بن حميد (ص 359 ، رقم 1189) ، وأبو يعلى (5/257 ، رقم 2876) .
[12]روي عنه صلّى اللَّه عليه وسلّم فيما رواه الإمام أحمد ومسلم ومن معهما في الحديث المتقدم عن أنس: أنه «نهر في الجنة، وعدنيه ربي، فيه خير كثير، أحلى من العسل، وأبيض من اللبن، وأبرد من الثلج، وألين من الزّبد، حافتاه الزبرجد، وأوانيه من فضة، لا يظمأ من شرب منه
[13]قال الإمام أبو جعفر بن الزبير : لما نهى عباده عما يلتذ به من أراد الدنيا وزينتها من الإكثار والكبر والتعزز بالمال والجاه وطلب الدنيا ، أتبع ذلك بما منح نبيه مام هو خير مما يجمعون ، وهو الكوثر وهو الخير الكثير ، ومنه الحوض الذي ترده أمته في القيامة ، لا يظمأ من شراب منه ، ومنه مقامه المحمود الذي يحمده فيه الأولون والآخرون عند شفاعته العامة للخلق وإراحتهم من هول الموقف ، ومن هذا الخير ما قدم له في دنياه من تحليل الغنائم والنصر بالرعب والخلق العظيم إلى ما لا يحصى من خير الدنيا والآخرة مما بعض ذلك خير من الدنيا وما فيها إذ لا تعدل الدنيا وما فيها واحدة من هذه العطايا...
نظم الدرر في تناسب الآيات والسور : برهان الدين أبي الحسن إبراهيم بن عمر البقاعيدار النشر : دار الكتب العلمية - بيروت – 1415هـ - 1995 م
[14]عن على قال : لما نزلت إنا أعطيناك الكوثر . فصل لربك وانحر  قال النبى  - صلى الله عليه وسلم -  لجبريل ما هذه النحيرة التى أمرنى بها ربى قال ليست بنحيرة ولكنه يأمرك إذا تحرمت للصلاة أن ترفع يديك إذا كبرت وإذا ركعت وإذا رفعت رأسك من الركوع فإنه من صلاتنا وصلاة الملائكة الذين فى السماوات السبع إن لكل شىء زينة وزينة الصلاة رفع الأيدى عند كل تكبيرة وقال النبى  - صلى الله عليه وسلم -  رفع الأيدى فى الصلاة من الاستكانة قلت فما الاستكانة قال ألا تقرأ هذه الآية فما استكانوا لربهم وما يتضرعون هو الخضوع (ابن أبى حاتم ، وابن حبان فى الضعفاء ، والحاكم ولم يصححه ، وابن مردويه ، والبيهقى وقال : ضعيف ، وقال ابن حجر : إسناده ضعيف جدا وأورده ابن الجوزى فى الموضوعات) كنز العمال 4721أخرجه الحاكم (2/586 ، 3981) ، والبيهقى (2/75 ، 2357
[15]  Fi dzilalalqur an – SayyidQuthb
[16]SayyidQuthb – Fi Dzilalalqur an – tafsir surah al kauthar