Minggu, 11 Maret 2012

KONTROVERSI HADITH TENTANG CARA SUJUD
oleh : Abu Izzat 

PENDAHULUAN

Di antara sebab berkepanjangannya kontroversi cara menuju sujud, anatara lain karena cara tersebut masing-masing memiliki dalil yang saling bertentangan lalu dinilai dan dipahami secara berbeda oleh para kritikus hadith. Mohammad Nashiruddin Al-Albâni –seorang kritikus hadith kontemporer ia telah mendaifkan sanad hadith mendahulukan kedua lutut. Tulisan ini akan membahas bagaimana sesungguhnya kualitas dua kelompok hadith tersebut berdasarkan standar kritik hadith.

A.   Cara Sujud

Ada dua hadith yang seringkali diungkap ketika membahas mengenai gerakan menuju sujud dalam shalat. Hadith pertama menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut lebih dahulu sebelum kedua tangan, sedangkan hadith kedua menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut.
Mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan didasarkan pada hadith dari Wâ’il bin Hujr ra bahwa ia melihat Nabi saw:
إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasâi, Abu Dâwud)[1]
Sedangkan tuntunan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut didasarkan pada riwayat dari Abu Hurayrah ra.:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti mendekamnya onta, hendaklah meletakkan kedua tangannya lebih dahulu sebelum kedua lututnya. (HR. Abu Dâwud, al-Nasâi, Ahmad dan al-Dârimi)[2]
Bagi kita yang belum mengetahui kualitas dari hadith-hadith tersebut maka untuk sementara, tidak mengapa memilih salah satu dari keduanya, yang penting keduanya masih ada sandaran dalilnya. Dan yang lebih penting, jangan pernah mendahulukan kepala, karena sama sekali tidak ada dalilnya.
Menurut Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni bahwa hadith pertama dari Wâ'il berkualitas daif karena di samping Syarîk yang banyak kesalahannya ini sendirian dan jalur ‘Ashîm bin Kulayb dari Bapaknya bermasalah, juga karena bertentangan dengan riwayat Abu Hurayrah yang dipeganginya yang menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu dari pada kedua lutut.[3]
Sebaliknya, menurut Ibn al-Qayyim bahwa justru matan hadith dari Abu Hurayrah inilah yang kacau dan ada kesalahan (wahm) sehingga terjadi syâdz (kejanggalan) berupa keterbalikan (maqlûb) dan ketidaksinkronan pada kalimat awal dengan kalimat akhir. Pada kalimat awal melarang sujud seperti onta, sedangkan pada kalimat akhir justru menganjurkan supaya meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum kedua lutut, padahal jika dicermati, cara onta sujud dengan meletakkan dan menekuk kaki depannya baru kemudian kaki belakangnya. Inilah yang dikritik oleh Ibn al-Qayyim sebagai kejanggalan dalam matan hadith ini, seharusnya hadith ini berbunyi: hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan.[4]
Sayangnya redaksi usulan Ibn al-Qayyim inipun tidak ada hadithnya.[5] Tetapi ahli hadith lainnya mencoba mengkompromikannya dengan menyatakan bahwa itu tidaklah salah dan tidak bertentangan karena menurutnya lutut onta itu terdapat di kaki depannya. Di sinilah masalahnya menjadi kacau dan membingungkankarenaperdebatan selanjutnya beralih kepada struktur anatomi onta yakni mana sebenarnya yang disebut lutut onta dan mana tangan onta yang kemudian mana yang tidak boleh dilakukan oleh manusia karena menyerupai cara sujud onta.[6]
          Bagi Imam Ahmad, karena kedua cara tersebut masing-masing ada dasar hadithnyamaka beliau mempersilahkan untuk dipilihsalah satunya dan tidak usah dipertentangkan satu sama lain. Memang bisa jadi Nabi saw melakukan keduanya, misal: beliau mendahulukan lututnya dari pada tangannya ketika masih muda dan kuat bertumpu pada lututnya, namun ketika sudah mulai tua, dan tidak lagi kuat bertumpu pada kedua lututnya, maka beliau mendahulukan kedua tangannya dari pada kedua lututnya.
Bagaimana sesungguhnya kualitas kedua hadith tersebut? 
Sebagaimana kaidah penelitian hadith bahwa sebelum membahas matan hadith, maka harus diawali dengan penelitian sanad, walaupun pemicu awal kenapa hadith tersebut diteliti muncul dari matan yang tidak singkron, tidak logis dan meragukan sebagai hadith Nabi saw.
Menurut penelitian bahwa jika al-Albâni menyatakan hadith dari Wâ’il bin Hujr yang menuntunkan untuk meletakkan kedua lutut lebih dahulu adalah lemah sedangkan hadith dari Abu Hurayrah yang menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu adalah sahih, justru hasil penelitian lain membuktikan sebaliknya. Jalur hadith dari Wâ'il yang melalui Syarîk dari 'Âshim bin Kulayb dari Bapaknya dikritik habis dan didaifkan oleh al-Albâni, padahal berdasarkan penelitian terhadap jalur Syarîk dari 'Âshim dari Bapaknya masih bisa ditolerir jika ada pendukungnya dari jalur sanad yang lain. Periwayat Syarîk menurut Ahmad: ia jujur, Ibn Ma‘în: jujur terpercaya, Abu Dâwud: terpercaya namun kadang salah, Abu Hâtim al-Râzi dan Ibn Hajar adalah jujur namun cukup banyak kesalahannya. Sementara itu ‘Âshim ini dinilai tsiqah oleh Ibn Ma’în & al-Nasâi sehingga Muhammad bin Sa’ad menilainya bisa dijadikan hujjah.
Imam Ahmad menyatakan Tidak ada masalah dengannya. Ibn Hajar menilainya shadûq/jujur meskipun dituduh murji’ah. Menurut al-Tirmidzi, hadith ini hasan gharîb (hasan namun hanya punya satu jalur), padahal ‘Ali bin al-Madini memberikan catatan penting tentang jalur ‘Âshim bahwa bila sendirian maka hadithnya tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi ternyata dalam Sunan Abi Dâwud: 383, selain menyebutkan jalur Syarîk dst., juga menyebutkan hadith senada:
فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ
"...maka tatkala sujud, beliau meletakkan kedua lututnya ke tanah sebelum meletakkan kedua telapaknya." (HR. Abu Dâwud)
Hadith ini melalui Hammâm, dari Muhammad bin Juhâdah, dari ‘Abd al-Jabbâr bin Wâ’il (w. 112 H), dari Bapaknya dengan sanad bersambung. Meskipun ‘Abd al-Jabbâr tidak mendengar langsung dari Wâil bapaknya karena Wâ’il wafat ketika ia masih kecil, namun ia mendengar hadith Wâ’il melalui keluarganya, seperti: ‘Alqamah kakaknya, Ummi Yahya ibunya dan mawlâ/pengasuhnya. Meskipun hadith ini juga ditolak al-Albâni karena menurutnya sanadnya lemah dan matannya bertentangan dengan hadith Abu Hurayrah yang dipeganginya, namun karena ada jalur lain yang bisa menjadi pendukungnya sehingga hadith ini maqbûl yakni bisa dijadikan hujjah.[7]
Adapun hadith Abu Hurayrah yang disahihkan al-Albâni tentang larangan sujud seperti onta dan menganjurkan untuk mendahulukan kedua tangan lebih dahulu (وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ), berdasarkan penelitian para ahli justru daif. Kedaifan hadith ini karena semua periwayatnya mesti melalui ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad bin ‘Ubayd al-Darâwurdi (w. 187 H) dari Muhammad bin ‘Abdullah. Menurut Al-Thabrâni: banyak hadith 'Abd al-'Azîz Al-Darâwurdi yang salah.[8].
Ahmad dan Abu Zur‘ah juga menilai: hapalannya buruk, meragukan, dan kadang kebolak-balik dalam meriwayatkan hadith. Al-Nasa’i menilainya: bukan orang kuat, tapi di waktu lain ia & Ibn Ma‘în juga menilainya tidak ada masalah dengannya. Meskipun al-Albâni menilai hadith ini sahih, tapi melihat 'Abd al-'Azîz al-Darâwurdi yang kacau hapalannya dan cuma sendirian (gharîb), maka hadith ini harus ditolak sebagai hujjah. Inilah sebabnya hadith ini dinilai daif oleh Ibn al-Qayyim karena kebolak-balikmatannya, bahkan diduga kuat kalimat kedua sebagai tambahan. Hadithyang biasa dijadikan pendukung yakni hadith yang melalui ‘Abdullah bin Nâfi’ al-Shâ’igh (w. 206 H) --meskipun cukup kontroversial--,[9] ternyata tidak dapat dijadikan sebagai pendukung hadith di atas karena tidak merinci bagaimana cara sujud onta tapi Nabi saw hanya menyebutkan:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَيَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْجَمَلُ
"Seorang di antara kalian telah bertopang dalam shalatnya lalu sujud seperti sujudnya onta." (HR. al-Nasâ'i, al-Tirmidzi, Abu Dâwud, al-Bayhaqi).
Demikian pula riwayat dari Nâfi' tentang Ibn 'Umar yang meletakkan kedua lututnya lebih dahulu, juga tidak dapat dijadikan sebagai saksi pendukung (syâhid) karena di samping hanya merupakan hadithmawqûf yang disandarkan pada Abdullah Ibn 'Umar,[10] juga Ibn 'Umar sendiri ada kendala pada kakinya sehingga beliau tidak bisa sujud dan duduk sebagaimana sunnah mestinya.[11] Sebaliknya, Ibn Abi Syaybah dalam Mushannaf-nya (juz 1/263) justru menyebutkan bahwa 'Umar, Ibn 'Umar, Abu Hurayrah, dan para tâbi'în lainnya mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.[12]
Penjelasan Matan Hadith
Rasulullah saw pada umumnya melarang sujud menyerupai binatang seperti onta, anjing, dan binatang lainnya karena kita adalah manusia yang memiliki struktur anatomi tersendiri. Lebih baik memilih dan melaksanakan yang lebih mudah dan lebih sesuai dengan struktur manusia dari pada menyerupai binatang. Jika dicermati, maka posisi berdiri binatang berkaki empat sudah siap menuju sujud, yakni kaki depan sebagai perlambang tangan sudah lebih dahulu menyentuh tanah, lalu menyusul lutut depan onta.
Kalaupun diartikan bahwa lutut onta ada di kaki depan maka pertanyaannya adalah mana bagian onta yang akan diposisikan sebagai kedua tangan manusia? Jika dijawab bahwa onta tidak bertangan, padahal manusia bertangan? Tetapi kalau diartikan bahwa kaki depan onta diumpamakan sebagai “tangan” manusia maka akan lebih mudah dipahami bahwa semua bagian kaki depan termasuk “lutut depan” (siku untuk manusia) adalah bagian dari tangan manusia. Dan Nabi saw melarang sujud seperti binatang, seperti onta yang mendahulukan “kedua tangan”nya (yakni kaki depan onta), melarang sujud seperti anjing yang menjadikan sikunya sebagai alas (firasy) menempel di tanah dan memasukkannya ke dalam kedua ketiak.
Posisi sepertiinilah yang dilarang karena lebih menyerupai posisi binatang berlutut. Sementara bagi manusia lebih mudah sujud jika menurunkan kedua lutut sebagai bagian anggota badan terdekat dengan tanah, lalu menyusul kedua telapak tangan baru kemudian wajah (yakni kening dan hidung). Cara seperti inilah yang ternyata lebih banyak dipilih para pengikut Mazhab Hanafiyah dan Syafi‘iyah dari pada tangan dahulu yang dipegangi Mazhab Maliki.
          Posisi saat sujud yang benar adalah dengan menempelkan Tujuh tulang (sab'at a'dzum) di tanah yaitu wajah (yakni dahi dan hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kakinya (Muttafaq 'alayh). Kedua siku tidak masuk bagian yang menempel karena akan menyerupai binatang dan melanggar hadith yang hanya menyebutkanTuhuh tulang yang menempel di tanah. Kedua telapak tangan diletakkan sejajar dengan kedua telinga ( وَسَجَدَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ أُذُنَيْهِ. HR. Ahmad) atau dalam redaksi yang lain: wajahnya diletakkan di antara kedua telapak tangannya (وَضَعَ وَجْهَهُ بَيْنَ كَفَّيْهِ  HR. Ibn Hibbân, atau: يَسْجُدُ بَيْنَ كَفَّيْهِ / سَجَدَHR. Ahmad, Muslim) di mana jari-jemarinya dirapatkan (ضَمَّ أصابِعَه HR. Ibn Hibbân, al-Thabrâni, Ibn Khuzaymah) dan dihadapkan ke arah qiblat (HR. Al-Bayhaqi dan Ibn Abi Syaybah).
Nabi saw juga tidak menjadikan kedua lengannya sebagai alas dan tidak pula menggemgam kedua tangannya ( وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا . HR. Al-Bukhâri, al-Bayhaqi), tapi menuntunkan agar mengangkat kedua siku dari lantai (وارْفَعْ مِرْفقَيْكَ. HR. Muslim, Ahmad, dan Abu ‘Awwânah) dan merenggangkan keduanya (فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ) dari ketiak dan lambungnya (Muttafaq ‘alayh), dan juga merenggangkan kedua pahanya (فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ), tapi tidak menempelkan perutnya pada kedua pahanya (HR. Abu Daud dan al-Bayhaqi, dari Abu Humayd).
Nabi saw menuntunkan supaya mengangkat pantatnya (رَفَعَ عَجِيزَتَه. HR. Ahmad, dari al-Barrâ’), namun tidak boleh berlebih-lebihan dengan memanjangkan sujud hingga perutnya mendekati lantai (جَخَّي).[13] Yang jelas, Nabi saw menganjurkan supaya proporsional pada saat sujud (اعْتَدِلُوا فيِ السُّجُود), dan jangan seperti binatang buas atau anjing (Muttafaq ‘alayh).
Adapun posisi kedua telapak kaki, ditegakkan di mana ujung jari kedua kaki dihadapkan ke qiblat (وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ. HR. Al-Bukhâri, al-Bayhaqi), tanpa dirapatkan.[14]
          Untuk sujud perempuan, memang ada hadith riwayat Abu Dâwud dalam Kitab al-Marâsîl (87/117) dari Yazîd bin Abi Habîb bahwa Nabi saw pernah menyuruh seorang wanita untuk merapatkan tangannya ke lambungnya. Namun hadith ini munqathi‘ (terputus sanadnya) karena mursal.[15]
          Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri pada rakaat genap, disunnahkan untuk duduk istirahat sejenak[16] dengan cara iftirâsy[17]kemudian baru berdiri (HR. al-Jama`ah kecuali Muslim) dengan menekankan telapak tangan (tanpa dikepalkan)[18] pada tanah lalu berpegangan pada kedua paha untuk berdiri tanpa mengangkat tangan dan langsung sedekap.
Selanjutnya kerjakanlah  raka'at  kedua ini, seperti raka'at yang pertama, hanya saja tidak membaca doa iftitah.


                [1]Hadith riwayat Al-Tirmidzi: 268; Al-Nasâ’i: 1089, 1154; Abu Dâwud: 838 semuanya melalui Syarîk bin ‘Abdillâh (wafat 177 H), dari ‘Âshim bin Kulayb, dari Bapaknya, dari Wâ’il bin Hujr ra.
                [2]HR. Abu Dâwud: 840; al-Nasâ’i: 1091; Ahmad: 8732: al-Dârimi: 1321. Sebagian riwayat (seperti: Abu Ya‘la & Ibn Abi Syaybah) menggunakan lafal al-fahl yang berarti kuda jantan, tapi jalur ini sanadnya dla‘îf (Ibn Hajar, Rawdlat al-Muhadditsîn, 1/hlm 370). Menurut al-Tirmidzi hadith ini gharîb karena semua periwayat hadith ini melalui ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad,dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan (w.145 H), dari Abu al-Zinâd (w. 130 H), dari al-A’raj dari Abu Hurayrah ra. Al-Bukharidalam al-Târîkh al-Kabîr mengatakan tidak mengetahui persis apakah Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan mendengarkan hadith dari Abu al-Zinâd. Tetapi melihat keduanya hidup sezaman dan sama-sama orang Madinah maka diduga kuat mereka sangat mungkin bertemu. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah periwayat yang meriwayatkan hadith dari Muhammad bin ‘Abdullah yakni ’Abd al-‘Âziz bin Muhammad bin ‘Ubayd al-Darâwurdi (w. 187 H) yang semua periwayat hadith ini melalui dirinya. Pembahasan mengenai 'Abd al-'Azîz ini akan dibahas secara rinci kemudian.

[3]Al-Albâni, al-Silsilat al-Dla‘îfah, juz 2 hlm 426; al-Albâni, Tamâm al-Minnah, juz 1/193-199.
                [4] Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Cara Shalat Rasulullah saw, Jakarta: Pustaka Al-Akbar, Bab: Cara Sujud; al-Shan‘âni, Subul al-Salâm, juz 2, hlm 164.
[5]Ada hadith yang disebutkan oleh Ibn al-Atsîr (wafat 606 H) dalam Jâmi' al-Ushûl fi Ahâdîts al-Rasûl (juz 5/378 no: 3518) dari Abu Hurayrah ra yang justru menjelaskan sifat sujud onta yang meletakkan kedua tangan lebih dulu sebelum kedua lutut yakni:
(د ت س)أبو هريرة - رضي الله عنه - قال : قال رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- : «إذا سجد أحدكم فلا يْبرُكْ كما يَبْرُكُ البعير ، يضعُ يديه قبل ركبتيه».
Kode ( د ت س ) menunjukkan hadith ini bersumber pada Abu Dâwud, al-Tirmidzi dan al-Nasâ'i yang ternyata setelah diteliti pada kitab Sunan asli milik mereka, tidak ada redaksi seperti yang dikutip dalam Jâmi' al-Ushûl. Tampaknya hadith inilah yang dikutip dalam HPT Muhammadiyah (1976, cet-3, hlm 92) yang ternyata tidak ada sumbernya pada kitab sumber utama (kitab primer) manapun kecuali disebutkan dalam HPT dikutip dari Kitab Taysîr al-Wushûl yang belum berhasil ditemukan kitabnya namun pasti bukan kitab primer.
                [6] Lihat perdebatan panjang lebar mengenai mana lutut onta dalam al-Fatâwa al-Hadîtsiyah oleh al-Huwayni, juz 1 hlm 54-57.
                [7]Syakir Jamaluddin (2009), Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw, hlm 81. Mengenai 'Abd al-Jabbâr bin Wâ'il, lihat Ibn Hajar al-'Asqalâni, Tahdzîb, juz 6 hlm 95.
[8]al-Thabrâni, al-Thabaqât al-Kubra, juz 5 hlm 424- Ibn Hajar, Tahdzîb, juz 6, hlm 315)
[9]Kontroversi tentang ‘Abdullah bin Nâfi’ al-Shâ’igh karena Ahmad menilainya bukan ahli hadith, tapi murid fanatik dan pembela Imam Malik; Abu Hâtim menilai hapalannya lemah tapi tulisannya lebih baik dari pada hapalannya; Al-Bukhâri menilai ada masalah pada hapalannya, tapi Abu Zur‘ah & al-Nasâ’i menilai tidak ada masalah dengannya, bahkan Ibn Ma‘în menilainya tsiqah. Lihat: Ibn Abi Hâtim, al-Jarh., juz 5, hlm 183, no: 856; al-Dzahabi, al-Kâsyif, juz 1 hlm 602, no 3017;  al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubalâ’, juz 10 hlm 371-373.
[10] Al-Bukhâri dalam Shahîh-nya(1/hlm 276)mengutip hadithmawqûf ini secara mu'allaq dari Nâfi' bahwa Ibn 'Umar يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ : meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Tapi al-Bayhaqi (2/100, no: 2744), al-Hâkim (1/348: 821), Ibn Khuzaymah (1/318: 617) menyebutkannya secara marfû' bahwa Nabi saw melakukan hal itu, padahal sanad hadith Ibn 'Umar ini melalui 'Abd al-'Azîz al-Darâwurdi yang terkenal kacau hapalannya sehingga hadith ini sesungguhnya lemah. Sayangnya hadith ini dikutip pula oleh al-Hâfidz Ibn Hajar dalam Bulûgh al-Marâm sebagai pendukung yang menguatkan hadith Abu Hurayrah tentang larangan sujud seperti onta.
[11]HSR. al-Bukhâri, 1/284: 793; Mâlik, 1/89: 201
                [12]Syakir Jamaluddin, Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw, hlm 82-83, footnote 29.
                [13] HR. Ibn Khuzaymah, tahqiq: al-A’dzami juz 1, hlm 326 no: 647; Ibn al-Mundzir, al-Awsath, juz 4, hlm 396, no: 1397. Jakhkha berarti: tidak memanjangkan ruku‘ dan sujud. Dalam  Mu‘jam Ibn al-Muqri’, juz 2, hlm 316 no: 808, jakhkha berarti mengangkat perut dari tanah.
                [14]Mahmûd ‘Abd al-Lathîf, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Shalâh, juz 2, hlm 252-256; al-Albâni, Shifat al-Shalâh, hlm 141; Himpunan Putusan Majlis Tarjih, hlm 91-93. Sebagian HR. al-Bayhaqi, al-Hâkim & Ibn Hibbân yang menceritakan bahwa pada suatu malam ‘Aisyah kehilangan Rasulullah & menemukan beliau sujuddengan merapatkan kedua tumit (سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ)ternyata janggal & daifkarena hanya Yahya bin Ayyûb al-Ghâfiqi sendiri yang meriwayatkannya demikian, yang lainnya tidak (Lihat komentar al-Hâkim, 1/353: 832; Abu Zayd, Bakr bin ‘Abdillâh, Lâ Jadîda fî Ahkâm al-Shalâh, cet ke-3, hlm 36-41). Mengenai Yahya bin Ayyûb, hanya al-Albâni yang menilainya tsiqah, sementarayang menilainya jujur&shâlihhadithnya hanya datang dari Ibn 'Addi & Ibn Ma'în, tapi al-Nasâ'i, Ahmad & al-Dâruquthni menilainya bukan orang kuat, jelek/kacau hapalannya serta meriwayatkan banyak hadithmunkar, Ibn al-Qaththân & Abu Hâtim: tidak boleh dijadikan hujjah. Lihat al-Dzahabi, Mîzân al-I'tidâl, juz 7/160-162). Muslim (2/51: 1118) & Ahmad (6/201) misalnya, hanya meriwayatkan bahwa ‘Aisyah menyentuh atas bagiandalam kedua kaki Nabi saw (عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ) saat sujud, tanpa menyebutkan merapatkan kedua kaki.Dengan demikian, jarak antar kaki saat sujud sama dengan jarak antar kaki saat berdiri, yakni tidak dirapatkan dan tidak pula terlalu dilebarkan, tapi proporsional saja sebagaimana yang diharapkan oleh sunnah Nabi saw.
                [15] Lihat Bab Penutup dalam Agung Danarto, Cara Shalat Menurut HPT., danAl-Albâni, Shifat al-Shalât. Hadithmursal adalah hadith yang diriwayatkan tâbi’în langsung pada Nabi saw.
                [16] Duduk istirahat sejenak ini dilakukan setelah bangkit dari sujud kedua sebelum bangkit berdiri menuju rakaat kedua dan rakaat keempat. Duduk istirahat ini termasuk sunnah Nabi saw berdasarkan hadith: فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلاَتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِداً : “Apabila berada pada rakaat ganjil dari shalatnya, beliau tidak langsung bangkit hingga duduk tegak.” (HSR. Al-Bukhâri, al-Tirmidzi dan Abu Dâwud). Dan hadith dari Abu Qilâbah bahwa Mâlik bin al-Huwayrits mencontohkan tata cara shalat Nabi saw yakni: وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجَدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ قَام: “Dan apabila mengangkat kepalanya dari sujud kedua, ia duduk dan bertumpu ke tanah lalu berdiri.” (HSR. al-Bukhâri, juz 1, 283 no: 790; al-Bayhaqi, juz 2, hlm 135, no: 2631)
                [17]Iftirâsy berasal dari kata fa-ra-sya (membentang) dan firâsy (alas tikar, kasur). Iftirâsy adalah sebuah istilah yang menjelaskan cara duduk dengan beralaskan bentangan kaki kiri.
[18] Tuntunan mengepalkan tangan ke tanah saat bangkit untuk berdiri didasarkan pada perbedaan interpretasipada kata يَعْجِنُyang bersumber pada hadithgharîb/asing dan daif riwayat al-Thabrâni (al-Awsath, juz 4/213 no: 4007). Kata tersebut disalahartikan dengan mengepalkan tangan seperti الْعَاجِنُ/pembuat roti saat membuat adonan roti, padahal hadith ini daif, bâthilbahkan tidak ada sumbernya. Menurut Ibn al-Shalâh, inilah yang diamalkan oleh kebanyakan orang Non-Arab dan dianggap sebagai syari‘at dalam shalat padahal tidak ada pesan tersebut berdasar hadith yang kuat. Kalaupun hadith ini kuat, maka maksud al-‘âjin di sini adalah orang tua lemah yang bertopang pada bagian dalam kedua telapak tangannya di tanah untuk berdiri, dan ini sangat mirip dengan pembuat roti yang menekankan kedua tangannya di lantai, bukan dengan mengepalkannya. Lihat Ibn al-Mulaqqin, Badr al-Munîr, juz 3 hlm 678-681; Ibn Hajar, Talkhîsh.,  juz 1 hlm 625-626; Ibn Rajab, Fath al-Bâri li Ibn Rajab,  juz 5/148.

SEJARAH BANGSA ARAB
UPAYA PENELITIAN DAN PENELUSURAN TERHADAP
ASAL USUL DAN PERKEMBANGAN BANGSA ARAB
oleh : Abu Izzat 
بسم الله الرحمن الرحيم

I. PENDAHULUAN
Setiap masyarakat pasti mememiliki kebudayaan dan kebudayaa itu memiliki beberapa unsur yang merupakan bagian dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya.
Dalam berbagai literatur terdapat bebrapa istilah yang semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan.Term kultur berasal dari bahasa latin cultura (kata kerjanya colo, colere) yang berarti memelihara, mengerjakan atau mengelola.[1].Istilah kedua yang semakna  dengan kebudayaan adalah silivilisasi. Silivilisasi (civilization) juga berasal dari kata latin, yaitu civis yang berarti warga negara (civitas = negara kota, dan civilitas = kewarganegaraan). Oleh karaena itu, sivilisasi berhubungan dengan kehidupan yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam bahasa Indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata cilivization.
Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengelola dan mengembangkan alam.
II. PEMBAHASAN
ASAL USUL  BANGSA ARAB
Orang Arab ialah “orang yang memiliki kebangsaan Arab, bahasa Arab dan pengetahuan tentang Arab secara keseluruhan”. Sementara itu, Liga Arab pada tahun 1946 menyatakan, orang Arab ialah “yang memiliki kebangsaan negara di dunia Arab, berbahasa dan menuturkan bahasa Arab dan peduli terhadap nasib bangsa Arab.
Bangsa Arab -bangsa Semit- pada awalnya membangun peradaban di Mesopotamia dan Shiria, kemudian perlahan-lahan mereka kehilangan dominasi politik disebabkan serangan dari bangsa non Semit. Bangsa Aram, Asiria dan Minean berbicara dalam bahasa yang hampir sama dengan bahasa Semit.Akhirnya bangsa Semit kehilangan kekuasaannya  pada serangan Persia dan kedatangan bangsa Yunani pada 330 SM.Setelah penyerangan itu, bangsa Semit berpecah.Kebanyakkan dari mereka berpindah ke daerah selatan dan daerah utara, dimana bangsa Arab kemudian berkembang. Bangsa Arab di Utara membangun sebuah peradaban yang dinamakan peradaban Arab Nabatea. Kemudian Arab bahagian selatan membentuk kafilah yang tersebar.Kafilah-kafilah ini kemudian membentuk sebuah kerajaan di daerah Yaman, yang disebut bangsa Yunani sebagai Arabia Felix yang bererti “kawasan Arab yang beruntung” Pada masa Sassanid,  Kekaisaran Romawi menguasai daerah Sham yang kemudian disebut Arab Perta. Bangsa Romawi menyebut daerah gurun di Timur ini sebagai Arabi. Pada awal abad pertama masehi, Kaum Ghassan dari Yaman berpindah ke daerah Sham. Kaum Ghassan dan Kindi menjadi kabilah-kabilah yang terakhir kali berpindah ke Arab Petra.Kabilah Ghassan kemudian berpindah ke daerah Shiria dan tinggal dikawasan Hurran dan deerah Lebonon dan Palaestina. Bangsa Ghassan menguasai Shiria sampai kedatangan kaum Muslimin disana.
Sementara itu, kaum Lakhm bermukim di daerah pertengahan Sungai Tigris.Mereka bersekutu dengan Sassanid untuk melawan Kekaisaran Bizantium dan Kabilah Ghassan.Mereka kemudian mengawal Daerah Arab bagian Tengah. Kabilah Kindi bermingrasi ke Utara , tapi mereka kemudian berpindah ke Bahrain dan tetap bermukim di Yaman.Kaum Muslimin yang bermukim di Madinah mengacu pada kabilah gurun dan mereka disebut A’raab. Sebagaimana Al-Quran juga menyebutkanya dan tidak memakai kata “arab, seperti  pada surat A-Taubah, al a’rabu ashaddu kufran waninifaqan”. Mereka ( suku Quraish ) semakin kafir dan nifaq.
A. WILAYAH ARAB
Arab saudi yang kita kenal sekarang secara georafis terletak di semenanjung Arabia. Sebelah Utara berbatasan dengan Yordania, Irak, dan Kuwait.Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Persia, Bahrain dan Uni Emirat Arab.Sebelah selatan berbatasan dengan Oman dan Yaman.Sebelah barat berbatasan dengan laut merah dan teluk Aqoba dengan jumlah penduduk: kurang lebih 12.778.000. Ibu kota: Riyadh, Bentuk negara: Monarki, Bahasa resmi: Arab, Agama: Islam dan Mata uang: riyal.
Arabia merupakan wilayah padang pasir yang terletak di bagian barat Asia. Arabia merupakan wilayah strategis  dalam peta zaman kuno, ketika benua Australia dan Amerika belum dikenal orang, karena letaknya berada pada posisi pertemuan ketiga benua : Asia, Eropa dan Afrika. Wilayah bagian utara, berbatasan dengan lembah gurun Shiria, sebelah timur dengan lembah gurun persia, sedangkan bagian barat berbatasan dengan laut merah. Karena dikelilingi laut pada sisinya, maka wilayah ini dikenal sebagai “jazirah Arabia” (kepulauan pulau Arabia).[2] Wilayah Arabia terbagi menjadi beberapa propinsi, seperti propinsi Hijaz, Najd, Yaman, Hadramaut, dan Oman.Semua propinsi tersebut menempati posisi yang sangat penting dalam lintas sejarah Islam. Makkah, Madinah, dan Thaif merupakan tiga kota besar di propinsi Hijaz. Bagian utara Arabia merupakan wilayah tandus. Sepertiga lebih luas dari wilayah ini berupa padang pasir. Adapun bagian selatan Arabia merupakan wilayah subur yang padat pendudknya.Mata pencaharian mereka adalah bertani dan berdagang. Hidramaut dan Yaman merupakan wilayah tersubur di Arab Selatan.
B. MAKKAH  KOTA SUCI
Ada suatu kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berkenaan dengan telaga Zamzam dengan  ringkasan sebagai berikut :
Ibrahim datang membawa anaknya yang masih bayi, yaitu Ismail, serta ibunya.Mereka keduanya ditempatkan pada suatu tempat didekat telaga Zamzam yang sekarang.Untuk jadi bekal bagi kedua orang itu ditinggalkan oleh Ibrahim sebuah karung kecil berisi buah korma, dan sebuah kendi berisi air, dan diapun berangkatlah hendak kembali. Maka berserulah ibu Ismail "Hendak ke mana engkau, hai Ibrahim?Akan engkau tinggalkalah kami berdua di lembah ini?"Karena Ibrahim tidak menoleh, maka ibu Ismail bertanya lagi: "Apakah Tuhan yang menyuruhmu berbuat begini !""Betul !" jawab Ibrahim."Kalau begitu tentu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami ?" ujar ibu Ismail lagi.
Setelah beberapa hari berselang, habislah makana dan air yang ditinggalkan Nabi Ibrahim dan air susu ibu Ismail menjadi kering. Ibu Ismail lalu berlari-lari  antara bukit Safa dan bukit Marwa, untuk melihat kalau-kalau ada orang yang dapat memberi mereka makanan dan minuman.Tujuh kali dia berlari-lari itu. Untuk memperingati peristiwa ibu Ismail ini maka orang yang mengerjakan ibadah haji berlari-lari tujuh kali antara dua bukit itu. Pada kali yang ketujuh kelihatan oleh ibu Ismail malaikat menjelma sebagai burung yang sedang mematuk-matuk tanah dengan paruhnya.Maka keluarlah air di tempat itu. Menurut riwayat lain air memancar di dekat kaki Ismail, tempat itu dihantam-hantaminya dengan kakinya ketika ia menangis.
Itulah telaga yang menjadi sebab utama kemakmuran tempat ini. Sebagai diketahui air di padang pasir adalah sumber hidup. Di mana ada air disana ada hidup dan disana ada kemakmuran. Apalagi timbulnya air dengan cara yang disebutkan. Mereka berdatangan ke tempat itu untuk menyaksikan anak kecil yang dibawah telapak kakinya memancar mata air.Tidak jauh dari tempat itu terletak kota Makkah. Kota ini terletak kira-kira di tengah-tengah Jazirah Arab.sehingga menjadi tempat perhentian bagi kafilah-kafilah perniagaan. Setelah mata air mamncar dari telaga Zam-zam, rumah-rumah kota Makkah telah sampai ke dekat telaga itu.
Kemudian datanglah Ibrahim ke Hijaz untuk melihat puteranya. Maka kelihatanlah olehnya betapa puteranya menjadi penghormatan yang besar, dan betapa orang dari segenap penjuru Jazirah Arab berdatangan ke sana. Oleh karena itu Ibrahim bersama puteranya membangun Ka’bah, agar dapat dijadikan tempat mengerjakan shi’ar agama Ibrahim, Ka’batul musyarrafah itu ialah Bailtullah atau disebut juga Baitul ‘Atiq, yaitu sebuah bangunan bebentuk kubus.Dibangun di bagian yang paling luas dilembah itu.Tingginya 15 meter.Panjang didingnya yang sebelah barat masing-masing kira-kira 12 meter.Pada didingnya yang sebelah timur disitulah pintu Ka’bah. Di pojok Ka’bah yang sebelah tenggara  terdapat Hajar Aswad. Dari Hajarul Aswad itulah dimulai thawaf.Tatkala Nabi Ibrahim telah selesai mendirikan Ka’bah berserulah dia kepada Tuhan :
"Ya Tuhan kami !Aku telah menempatkan sebagian dari keturunanku pada suatu lembah yang tiada bertanam-tanama, di dekat rumah-Mu yang dihormati.Ya tuhan kami, agar mereka mendirikan sembahyang. Maka jadikanlah hati manusia cenderung kepada mereka, dan beri rezekilah mereka dengan buah tanam-tanaman." (Ibrahim 37)
Tuhan telah memperkenankan do’a Nabi Ibrahim ini, dan ditunjukakanlah oleh Tuhan kepadanya begaimana caranya agar maksud itu terlaksana.
"Beritahukanlah kepada kami manusia untuk mengerjakan haji niscaya mereka datang kepada engkau dengan berjalan kaki, atau menunggu kendaraan yang kurus – karena jauhnya perjalanan dari tiap-tiap negeri yang jauh." (Al Hajj 27).
Maka diberitahukan dan diserulah manusia oleh Nabi Ibrahim untuk mengerjakan haji. Maka semenjak itu berdatanganlah manusia dari segenap penjuru dan dari bermacam-macam negeri didunia ini ke Makkah untuk mengerjakan Ibadah Haji. Dulu upacara keagamaan dilakukan di dalam Ka’bah. Akan tetapi, banyaknya orang yang datang ke Makkah, maka tempat yang kecil itu menjadi sempit.Oleh karena itu bangsa Arab sepakat untuk mempergunakan sebagian dari tanah di sekeliling Ka’bah untuk tempat mengadakan upacara keagamaan, kemudian tempat itu mereka sebut "Haram", Yakni tempat yang dimuliakan. Setelah datang agama Islam dan sembahyang disyari’atkan, maka di temapat itulah sembahyang dikerjakan dan disebut  "Masjidul Haram".
Pemerintah di Makkah
Kota makkah adalah satu tempat yang dipandang suci oleh seluruh bangsa Arab. Bangsa Arab dari seluruh penjuru Jazirah Arab berdatangan ke kota Makkah untuk mengerjakan Haji atau umrah. Mereka sepakat melarang berperang dalam bulan-bulan haji, yaitu Zulkaidah, Zulijjah, dan Muharram.Begitu juga di bulan Rajab, karena di bulan Rajab itu banyak dikerjakan umrah.Bulan-bulan yang disebutkan itu mereka namai "Ashhrul Hurum" (Bulan-bulan yang terlarang). Demikian pula mereka sepakat untuk melarang berperang di Haram Makkah. Sikap ini adalah semacam persetujuan yang dibuat oleh badan-badan yang memegang pemerintah di Tanah Arab berkenaan dengan kota Makkah.
Kota Makkah sendiri semenjak masa itu telah mengenal pemerintahan. Diantara suku-suku yang telah memegang kekuasaan di Makkah yang terkenal ialah suku Amaliqah, yaitu sebelum Nabi Ismail dilahirkan.Kemudian datang pula ke Makkah suku Jurhum dan mereka menetap di Makkah, dan suku Jurhum kemudian dapat mengalahkan dan mengusir suku Amaliqah dari Makkah. Dimasa Jurhum berkuasa Ismail datang ke Makkah. Sehingga Ismail terdidik dalam lingkungan Jurhum, dan kemudian kawin dengan salah seorang putri dari Jurhum.Karena kota Makkah telah menjadi tempat yang dipandang suci oleh segenap bangsa Arab, maka berdirilah di sana pemerintahan untuk melindungi jemaah haji dan menjamin keamanan, keselamatan dan ketentraman mereka.[3]
Kemudian terjadi pembagian kerja antara orang-orang Jurhum dan Ismail, yaitu : urusan politik dan peperangan dipegang oleh orang-orang Jurhum, sedang Ismail mencurahkan tenaganya untuk berkhidmat kepada Baitullah dan urusan keagamaan.Orang-orang Jurhum kemudian menjadi kaya, karena itu mereka telah tenggelam dalam kenikmatan hidup, dan melupakan kewajibannya. sehingga terpikirlah oleh suku Khuza’ah yang juga telah menetap di Makkah hendak merebut kekuasaan dari Jurhum. Mudhadhim ibnu ‘Amr al Jurhumi salah seorang pemimpin Jurhum tidak mampu untuk menginsafkan orang-orang Jurhum, dan dirasanya bahwa mereka lemah, maka berangkatlah dia meninggalkan Makkah bersama kaumnya.Ikut pula bersama mereka putra-putra Ismail. Sebelum meninggalakn Makkah telaga Zam-zam oleh Mudhadhim ditimbuni tanah. Setelah Jurhum meninggalkan Makkah berpindahlah kekuasaan ke tangan Khuza’ah pada tahun 440 M.
Kemudian Qushai mendirikan Darun Nadwah, untuk tempat bermusyawarah bagi penduduk Makkah di bawah pengawasan Qushai. Dia pulalah yang mengatur urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah, yaitu:
  1. As Siqayah (Menyediakan air minum).Karena telaga Zam-zam telah ditimbun dengan tanah, maka amat sulitlah memperoleh air (sebelum telaga Zam-zam itu digali kembali oleh Abdul Mutthalib) Sebab itu air untuk diminum oleh jemaah haji haruslah didatangkan oleh orang yang memegang urusan siqayah dari perigi-perigi yang berada di tempat-tempat yang jauh.
  2. Ar Rifadah (Menyediakan makanan)Untuk jemaah haji yang tidak mampu haruslah disediakan makanan. Biasanya Quraisy memberikan sebagian dari harta mereka kepada Qushai, agar dipergunakannya untuk menyediakan makanan bagi jemaah haji yang kurang mampu.
  3. Al Liwa’ (Bendera)Yaitu menjaga Ka’bah, dan memegang anak kuncinya.
Quraish berkuasa di Makkah sampai datang agama Islam. Selama itu urusan yang tiga macam itu dipegang oleh putera-putera Qushai secara bergantian, sampai akhirnya dipegang oleh Abdul Mutthalib kakek Raullah SAW.[4]
Tahun Gajah
Beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad dilahirkan, negeri Habashah berhasil menaklukan negeri Yaman. Diantara gubernur yang pernah memerintah di Yaman  seorang bernama Abrahah. Dikala Abrahah ini memperhatikan betapa bangsa Arab memuliakan negeri Makkah, dan memeperhatikan mereka berdatangan dari segenap penjuru tanah Arab untuk mengerjakan haji di Ka’bah, terpikir olehnya hendak mendirikan sebuah bangunan yang lebih besar dari Ka’bah dan hendak menyeru bangsa Arab agar berkunjung ke tempat itu. Lalu didirikannyalah sebuah gereja besar, dan dianjurkannya agar bangsa Arab mengerjakan Haji ke sana. Akan tetapi perbuatan dan anjurannya itu menimbulkan amarah di kalangan bangsa Arab.
Seorang dari Bani Malik Ibnu Kinanah bangkit, seraya bersumpah bahwa dia akan menghancurkan gereja itu. Maka datanglah orang ini ke Yaman, dan masuklah dia berpura-pura hendak beribadat.Diwaktu hari telah malam dan orangpun tidak ada lagi di gereja itu, dirusaknyalah perabot-perabot gereja itu, dan diubarnya dinding-dindingnya dengan kotoran. Abrahah mengetahui apa yang terjadi, pada keesokan harinya. Dikatakan, bahwa ada seorang Arab bermalam di sana dan dialah yang disangka mengerjakan perbuatan-perbuatan itu, maka bersumpahlah ia hendak meruntuhkan Ka’bah. Lalu berangkatlah ia dengan pasukan besar didahului oleh tentara bergajah. Kemudian dia berhenti tidak  jauh dari kota Makkah.
Yang berkuasa di Makkah saat itu ialah Abdul Mutthalib Ibnu Hashim, kakek dari Nabi Muhammad SAW.Abrahah merampas unta kepunyaan Abdul Mutthalib yang sedang dilepaskan ditempat Abrahah berhenti itu. Oleh Abrahah dipanggil Abdul Mutthalib, supaya datang menghadapnya, setelah Abdul Mutthalib datang, Abrahah berkata : "Saya datang ke Makkah ini bukanlah untuk memerangi kamu, hanya hendak merubuhkan Ka’bah. Maka kalau kamu menghalangi maksudku ini barulah kamu saya perangi. Dan bilamana kamu tiada menghalangi, saya pun tiada akan menumpahkan darah, "Perkataan Abrahah ini dijawab oleh Abdul Muthhalib : "Kami tiada mampu untuk menghalangi maksudmu. Hanya saya minta kepadamu agar engkau mengembalikan semua untaku yang engkau rampas itu." Abrahah lalu berkata : "Tadinya aku amat segan padamu di waktu mula-mula melihatmu. Akan tetapi sekarang sesudah engkau berbicara denganku, tak ada lagi hargamu dalam pandanganku.Apakah hanya unta yang engkau bicarakan, dan melupakan Ka’bah, sedang dia adalah agamamu, dan agama nenek moyangmu?" Abdul Mutthalib menjawab :"Adapun unta itu, akulah yang punya, adapun Baitullah itu ada Tuhan yang memiliki dan memeliharanya."
Dalam pada itu Abdul Mutthalib mengajukan kepada Abrahah sepertiga harta Tihamah, asal dia kembali dan tidak jadi meneruskan maksudnya. Akan tetapi Abrahah tetap hendak merubuhkan Ka’bah itu. Maka kembalilah Abdul Mutthalib ke Makkah, dan tawaf di sekeliling Baitullah seraya menyebut beberapa bait Shair, dan orang-orang yang bersama dengan dia pun turut mengulang-ulang Shair itu, yaitu :
"Hai Tuhan! Tak ada yang kami harapakan selain Mu!
Hai Tuhan! Slamatkanlah dari serangan mereka rumah Mu!
Musuh rumah Mu ialah orang yang memusuhi Mu."
Doa Abdul Mutthalib diperkenankan oleh Tuhan. sebagaimana  Al Quran telah menceritakan bagaimana akibat yang diderita Abrahah dan tentara gajahnya dalam :
"Tiadalah engkau tahu, bagaimana Tuhanmu telah bebuat terhadap balatentara yang mempunyai gajah itu? Tiadakah dijadikan-Nya tipu-daya mereka menjadi sia-sia belaka? Dan dikirim-Nya kepada mereka burung yang berbondong-bondong: yang melempar meeka dengan batu dari tanah keras. Maka dijadikan-Nyalah mereka hancur luluh, laksana daun tanaman yang telah dimamah."(Surat Al Fil)
Peristiwa tentara bergajah ini adalah suatu peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa Arab, karena itu mereka menjadikan peristiwa-peristiwa yang penting dengan tahun gajah, dan di tahun gajah itulah dilahirkan Nabi Muhammad.[5]
Kehidupan Sosial
Pembahasan di atas menjelaskan kehidupan politik di bangsa Arab.Tetapi di dalamnya pun telah terselip tinjauan penting berkenaan dengan kehidupan social. Di bawah ini akan mengkhususkan pembicaraan mengenai segi-segi terpenting dalam kehidupan sosial bangsa Arab sebelum Islam, pembahasan ini amat penting untuk memahami pendirian bangsa Arab terhadap agama Islam, dikala mereka diseru kepada agama ini.
 
Shair Arab
       Ada dua cara, dalam mempelajari Shair Arab di masa Jahiliah, yaitu:
  1. Mempelajari Shair sebagai  kesenian, yang oleh bangsa Arab amat dihargai.
  2. Mempelajari Shair itu dengan maksud, supaya kita dapat mengetahui adat istiadat dan budi pekerti bangsa Arab.
Shair adalah salah satu seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab.Mereka amat gemar berkumpul mengelilingi penyair-penyair, untuk mendengarkan Shair-Shair mereka. Begitu pula terdapat beberapa pasar tempat penyair berkumpul, seperti:pasar ‘Ukas, Majinnah, Zul Majaz. Dipasar-pasar itu para penyair memperdengarkan Shairnya yang sudah dipersiapkannya untuk maksud tertentu, dengan dikelilingi oleh warga sukunya; yang memuji dan merasa bangga dengan penyair-penyair mereka.Kemudian dipilihlah di antara Shair-Shair itu yang terbagus, lalu digantungkan di Ka’bah tidak jauh dari patung  pujaan mereka.
Seorang penyair mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam masyarakat bangsa Arab. Bila pada suatu kabilah muncul seorang penyair maka berdatanganlah utusan dari kabilah-kabilah lain, untuk mengucapkan selamat kepada kabilah itu. Untuk itu kabilah tersebut mengadakan perhelatan dan jamuan besar-besaran, dengan menyembelih binatang-binatang ternak.Wanita-wanita kabilah ke luar untuk menari, dan menyanyi. Semua ini diadakan untuk menghormati penyair. Karena penyair membela dan mempertahankan kabilah dengan Shair-Shairnya, ia melebihi seorang pahlawan yang membela kabilahnya dengan ujung tombaknya. Disamping itu penyair dapat juga mengabadikan berbagai peristiwa dan kejadian dengan Shairnya. Dan bilamana ada penyair-penyair kabilah lain mencela kabilahnya, maka dialah yang akan membalas dan menolak celaan-celaan itu dengan Shair-Shairnya pula.
Salah satu dari pengaruh Shair pada bangsa Arab ialah : Bahwa Shair itu dapat meninggikan derajat yang tadinya hina,atau sebaliknya, dapat menghina seseorang yang tadinya mulia. Bilamana seorang penyair memuji seorang yang tadinya dipandang hina, maka dengan mendadak orang itu menjadi mulia; dan bilamana seorang penyair mencela atau memaki seorang yang tadinya dimuliakan, maka dengan serta merta orang itu menjadi hina.
Sebagai contoh Abdul ‘Uzza ibnu ‘Amir.Dia adalah seorang yang mulanya hidup melarat. Puteri-puterinya banyak, akan tetapi tidak ada pemuda-pemuda yang mau memperistri mereka. Kemudian dia dipuji oleh Al A’sha seorang penyair ulung. Shair Al A’sha yang berisi pujian itu tersiar kemana-mana.Dengan demikian menjadi mashurlah Abdul ‘Uzza itu; penghidupannya menjadi baik, maka berebutanlah para pemuda meminang puteri-puterinya.
Demikian pula ada sekumpulan manusia dicela oleh penyair Hassan ibnu Thabit, maka menjadi hinalah mereka. Penyair Al Huthaiah memuji sekelompok manusia.Mereka merasa bangga dengan pujian Al Huthaiah itu, seakan-akan pujian Al Huthaiah itu suatu ijazah yang mereka dapat dari salah satu perguruan tinggi. Itulah Shair dan pengaruhnya, sebagai suatu seni yang telah menggambarkan kehidupan, budi pekerti dan adat istiadat bangsa Arab. Menurut para pembahas, Shair-Shair dari penyair yang hidup dimasa Jahiliah menjadi sumber yang terpenting bagi sejarah bangsa Arab sebelum Islam.Shair-Shair dapat menggambarkan kehidupan bangsa Arab dimasa Jahiliah, sebagai sumber bagi sejarah bangsa Arab, sebagai piramida, candi-candi, dan tulisan-tulisan yang ada juga menjadi sumber bagi sejarah bangsa Mesir purbakala.
Orang yang membaca Shair Arab, akan melihat kehidupan bangsa Arab tergambar dengan jelas pada Shair itu. Dia akan melihat padang pasir, kemah-kemah, tepat-tempat permainan, dan sumber-sumber air. Dia akan mendengar tutur kata pemimpin-pemimpin laki-laki dan wanita. Dia akan mendengar bunyi kuda dan gemerincing pedang.Shair akan mengisahkan kepadanya peperangan-peperangan, adat istiadat dan budi pekerti bagsa Arab.
Dari Shair pula kita akan mengetahui bahwa di antara bangsa Arab ada orang-orang yang telah mengetahui "Allah", kendati pun kepercayaan wathani-lah yang berkembang di waktu itu. Ada orang mengharamkan atau mencela minum chamar (tuak).Dan bahwa salah satu adat kebiasan mereka ialah mengawini istri bapa sesudah bapa itu meninggal.Dan bahwa mereka telah mengenal thalaq, dan banyak lagi hal lain, yang Shair Arab Jahiliah itu adalah sumber untuk mengetahuinya.[6]
C. ARAB PRA ISLAM
Pada umumnya bangsa Arab sebelum Islam datang tidak memeluk agama tertentu, kecuali penyembahan berhala.Berhala yang paling dikenal adalah Manat, Laata, dan Uzza.Tradisi lain, mereka berkumpul setiap bulan zulhijjah dengan mengelilingi Ka’bah dan menyembelih hewan kurban yang darahnya dipersembahkan untuk Tuhan.Dalam aspek peradaban Arab golongan Qahtaniyun pernah mendirikan kerajaan Saba’ dan Himyar di Yaman.Kerajaan ini mampu membangun bendungan raksasa yang menjadi sumber air untuk seluruh wilayah kerajaan.
Di Mekkah sebelum Islam datang, selain jabatan tersebut di atas, telah terdapat jabatan-jabatan penting yang dipimpim oleh Qushai bin Kilab pada pertengahan abad ke-V M. Ketika itu suku Quraish mendominasi masyarakat Arab. Maka dibentuklah jabatan suku Quraish, yaitu Hijabah: penjaga kunci Ka’bah, Siqayah: pengawas mata air zam-zam untuk para peziarah, Diyat: Kekuasaan hakim sipil dan kriminal, Sifarah: kuasa usaha negara atau duta, Liwa: jabatan ketentaraan, Rifadah: pengurus pajak untuk orang miskin, Nadwah: jabatan ketua dewan, Khaimmah: pengurus balai musyawarah, Khazinah: jabatan keuangan, dan Zalam: penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Masyarakat Arab Pra-Islam sesungguhnya memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, kekuatan fisik yang perima, daya ingatan yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia tehadap suku dan pemimpinnya, pola kehidupan sederhana, ramah-tamah, dan mahir dalam ber shair. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti mereka, yakni ketidak adilan, kepercayaan terhadap tahayul.[7]
Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanajang sejarah umat manusia.Masyarakat Arab Pra-Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan, atau bahkan lebih hina. Mereka sama sekali tidak mendapat penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya. Bila mana seorang ayah diberitahukan atas kelahiran seorang anak perempuan, seketika wajahnya berubah pasi lantaran malu, bahkan tidak jarang  meraka tega mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup. Mereka membunuhnya lantaran rasa malu dan khawatir akan menimbulakan kemiskinan. Kondisi semacam ini dinyatakan oleh Al Quran :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيم يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوء مَا بُشِّرَ بِهِأَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Al-Nahl : 58-59)[8]
Pada masa itu, tidak hanya poligami yang berkembang di kalangan masyarakat Jahiliah, tetapi juga praktek poliandri.Seorang laki-laki di samping mempunyai banyak istri, mereka juga memiliki sejumlah gundik.Suami seringkali mengijinkan istrinya “bargaul” dengan laki-laki lain untuk menambah penghasilan. Wanita-wanita lajang biasanya pergi ke luar kota untuk menjalin pergaulan bebas dengan pemuda kampung. Seorang ibu tiri bisa saja dikawini oleh anaknya dan bahkan sering terjadi perkawain sesama saudara sekandung.Pada saat itu perempuan tidak memiliki hak warisan terhadap kekayaan ayah dan suaminya, atau kerabatnya.[9]
Demikianlah, sungguh rendah dan hina kedudukan wanita sebelum Nabi Muhammad lahir.Nabi berjuang untuk mengentaskan jurang kehinaan wanita kepada keduduakan yang mulia dan terhormat. Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1. Arab Ba’idah, kaum Arab terdahulu yang tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2. Arab Aribah, yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
1. Sistem Politik Dan Kemasyarakatan
a. Kondisi Politik
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional.Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah.Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.
Kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing.Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah. Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja.Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah.Baik itu seruan damai ataupun perang.Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator.Banyak hak yang terabaikan.Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah.Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya.Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi.Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
b. Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita. Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti.
Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita. Para wanita dan laki-laki bebas bergaul, untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat dan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur dengan laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berkumpul dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran.Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun istri yang dikehendaki.Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya. Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari mereka yang masih memiliki keagungan jiwa. Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. [10]
Secara garis besar, kondisi masyarakat dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.
2. Sistem Kepercayaan Dan Kebudayaan
Terdapat beberapa agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Arab sebelum agama Islam lahir. Bangsa Arab Qahthan di Yaman, misalnya, mereka menganut kepercayaan Ash-Shabiah, yaitu suatu kepercayan yang berkembang di kalangan masyarakat Qahthan tentang adanya kekuatan pada bintang-bintang dan matahari sebagai kekuatan maha pencipta. Mereka menganggap bintang dan matahari sebagai tuhan. Tetapi setelah hancurnya bendungan Maa’rib, masyarakat saba yang bermukim di Yaman terpencar, dan mereka mencari tempat tinggal baru di jazirah Arab, maka terjadilah perubahan pola dan sikap kepercayaan mereka.
Bagi mereka yang masih tinggal di Yaman, kepercayaan Ash-Shabiah terus dianut.Tetapi kemudian karena mereka mendapat seruan dari para rahib Yahudi yang datang dari Yatsrib (madinah) agama Yahudi dijadikan sebagai agama baru.Salah seorang pimpinan mereka yang pertama kali menerima agama itu adalah Yusuf Zu Nuas.Kemudian mereka pindah ke Arabia Utara Ghassanah menganut agama Nasrani, karena mereka berdekatan dengan bangsa Romawi yang beragama Kristen, begitu juga yang pindah ke Manazirah (Mesopotamia).[11]
Di antara penduduk Najran ada yang beragama Kristen, karena negara itu sudah di kunjungi oleh kaum missionaris Kristen yang diutus oleh kaisar Romawi pada tahun 343 M. Di antara suku Aus dan Khazraj yang pindah ke Yasrib setelah hancurnya bendungan Maa’rib, ada yang menganut agama Yahudi, karena di kota itu mereka berdekatan dengan kaum Yahudi Khaibar, Bani Quraizhah, dan Bani Nadhir. Di samping adanya kepercayaan dan penyembahan berhala yang dilakukan masyarakat Arab pra-Islam, terdapat kepercayaan lain yang mereka anut seperti :
1. Menyembah Malaikat. Sebagian di antara masyarakat Arab Jahiliyyah ada yang menyembah dan menuhankan Malaikat.Bahkan ada yang beranggapan bahwa para Malaikat itu putra Tuhan.
2. Menyembah Jin, ruh atau hantu. Sebagian lagi ada yang menyembah jin, hantu, dan ruh leluhur mereka. Bahkan ada suatu tempat jin yang terkenal dengan nama Darahim. Mereka selalu mengorbankan binatang agar terhindar dari bencana.
Pada saat menjelang kelahiran agama Islam, tumbuh sekelompok orang dari kalangan masyarakat Arab yang berusaha ingin melepaskan bangsanya dari kepercayaan yang sesat, dan berusaha mengembalikan kepercayaan agama tauhid yang di ajarkan Nabi Ibrahim A.S, Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Qus Saidah, Utsman bin Khuwairis Abdullah bin Jahsy, dan yang lain.[12] Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka.Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah).Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya.
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Sham. Disana dia melihat penduduk Sham menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Sham adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci. Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka tempatkan di Mushallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz.Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim. Ada beberapa  penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :
  1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
  2. Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya.
  3. Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala.
Banyak lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya, mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu.dan mereka berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta memberikan manfaat di sisi-Nya.
Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal.Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum. Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial. Ada juga yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.
Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Semua gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu.Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab.Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab.Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah selalu berkembang pesat.
Agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi penyembah berhala, dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan social, politik dan yang lain.[13]
Jadi semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka serupa.
Hukum Yang Belaku Sebelum Islam
Hamka berpendapat, hukum jahiliyah juga diistilahkan sekarang dengan hukum rimba, yaitu menegakkan yang salah dan mengalahkan yang benar.Hukum bukan berdasarkan kepada keadilan, tetapi kepada kekuatan.Siapa yang kuat dialah yang dimenangkan meskipun dipihak yang salah.Yang lemah dikalahkan meskipun berada di pihak benar.Hukum jahilliyah dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh kedudukan.Orang Yahudi mau masuk Islam jika mereka dimenangkan.Di zaman jahiliyah sangatlah tepat kalau praktek hukumnya dikatakan memakai hukum rimba, sebab tidak ada perlindungan dari yang kuat terhadap yang lemah.Hal ini mengakibatkan seringnya perang antar suku.[14]  Berikut ini beberapa praktek hokum lain yang dilakukan oleh orang jahiliyah sebelum Islam. kemudian semua hukum  tersebut direform oleh Islam menjadi hukum yang Islami.
1. Dalam Hal Riba
Riba nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, disebut juga riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba.Juga disebut dengan riba jali atau qat’i, sebab jelas dan pasti diharamkannya oleh Alquran.Praktek riba nasiah ini pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang biasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu  pembayaran. Sebagian tokoh sahabat nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, pernah mempraktekkannya, sehingga turun ayat yang mengharamkannya. Ayat pengharaman riba ini membuat heran orang musyrik terhadap larangan riba, karena telah menganggap jual beli itu sama dengan riba, sebagaimana firman Allah dalam Surah al baqarah : 275
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
2. Dalam hal Anak Angkat
Sebelum Islam datang, orang-orang Arab Jahiliyah telah mempraktekkan mengangkat anak.Namun praktek pengangkatan anak ketika itu merupakan sebuah budaya yang jauh dari norma-norma Islam.Orang Jahiliyah mengangkat anak dengan menjadikannya sebagai anak sendiri, menghilangkan nasab aslinya dan menggantikan nasabnya kepada dirinya (Bapak Asuh).Dengan demikian tidak ada batasan pergaulan atara anak angkatnya yang laki-laki dengan anak asli perempuan. Orang jahiliyah menyamakan hak anak angkat dengan anak aslinya dalam hal warisan dan mengharamkan kawain dengan anak perempuan aslinya atau dengan istrinya jika ia sudah mati. Budaya seperti ini, sebelum Islam datang sudah kebiasaan yang ramai dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Sampai-sampai sebelum ada hukum yang ditegaskan oleh Islam Nabi Muhammad saw pernah mengangkat Zaid bin Harithah. Maka ketika itu orang-orang jahiliyah memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. [15]ketika itulah Allah swt memerintahkan kepada Nabi untuk menerapkan hukum Islam yang baru dan menghilangkan kebiasaan mengangkat anak pada zaman jahiliyah yang menisbatkan nasab kepada bapak angkatnya, sebagaimana Firman Allah dalam Surah al ahzab : 05
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
3. Dalam hal Warisan
Warisan dalam zaman jahiliyah tidak memiliki aturan.Adakalanya harta warisan diwasiatkan kepada orang yang dikehendaki.Anak perempaun tidak mendapatkan bagian sedikit pun dari harta warisan.Maka turunlah ayat yang mengharuskan wasiat yang dilakukan orangtua atau kerabat tanpa batas. Setelah itu turunlah ayat yang menetapkan pembagian harta warisan secara adil, yaitu“Bagi perempuan ada bagian harta pusaka…”sebagaimana Firman Allah dalam surah annisaa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُس
PENUTUP 
Haruslah kita ketahui keadaan bangsa Arab sebelum datang agama Islam, karena bangsa Arablah bangsa yang mula-mula menerima agama Islam.Sebelum datang agama Islam, mereka telah mempunyai berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Agama baru ini pun datang membawa akhlak, hukum-hukum dan peraturan-peraturan hidup.
Jadi agama baru ini datang kepada bangsa yang bukan bangsa baru.Maka bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah, peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian terjadilah pertarungan yang banyak memakan waktu.Pertarungan-pertarungan ini baru dapat kita dalami, kalau kita telah ada pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan bangsa Arab, sebelum datangnya Islam. Kemudian dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
والعلم عند الله واليه المرجع والمأّب

DAFTAR PUSTAKA
-          Ali, K, Prof, 2000, Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
-          Asyarie, Sukmadjaja dan Yusuf, Rosy, 2003, Indeks Al-Qura’an, Bandung, Pustaka.
-          Bucaille, Maurice, 2000, Bibel Al Quran dan Sains Modern, Jakarta, Bulan Bintang.
-          Departemen Agama RI, 1998, Al Quran dan Terjemahannya, Semarang, CV Asy Syita.
-          I.M, Thoyib, dan Sugiyanto, 2002, Islam dan Pranata Sosial, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
-          Kusumamihardja, Supan, H, DRH, dkk, 1985, Studia Islamica, Bandung, PT. Giri Mukti Pasaka.
-          MA, Hakim, Abd, Atang, Drs, dan Mubarok, Jaih, Dr, 2003, Metodelogi Studi Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
-          Sj, Bakker, J.W.M, 1990, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Jakarta, Pustaka Filsafat.


[1]S. Takdir Alisyahbana, 1986: 205)
[2]  Ali, K, Prof, 2000, Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
[3]  I.M, Thoyib, dan Sugiyanto, 2002, Islam dan Pranata Sosial, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
[4]Kusumamihardja, Supan, H, DRH, dkk, 1985, Studia Islamica, Bandung, PT. Giri Mukti Pasaka.
[5](Ibnul Qayyim al jauziyah : Zadul Ma’ad I : 17)
[6]  Sj, Bakker, J.W.M, 1990, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Jakarta, Pustaka Filsafat.
[7]MA, Hakim, Abd, Atang, Drs, dan Mubarok, Jaih, Dr, 2003, Metodelogi Studi Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
[8]Departemen Agama RI, 1998, Al Quran dan Terjemahannya, Semarang, CV Asy Syita.
[9]Sj, Bakker, J.W.M, 1990, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Jakarta, Pustaka Filsafat.
[10]Kusumamihardja, Supan, H, DRH, dkk, 1985, Studia Islamica, Bandung, PT. Giri Mukti Pasaka
[11]I.M, Thoyib, dan Sugiyanto, 2002, Islam dan Pranata Sosial, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
[12]Kusumamihardja, Supan, H, DRH, dkk, 1985, Studia Islamica, Bandung, PT. Giri Mukti Pasaka
[13]Prof. Dr. A. Syalabi
[14]Hamka, tafsi al-Azhar : 272).
[15]MA, Hakim, Abd, Atang, Drs, dan Mubarok, Jaih, Dr, 2003, Metodelogi Studi Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.